Konten dari Pengguna

Keyakinan Adat Bonokeling di Desa Pekuncen

Nabilla Mutiara Putri
Mahasiswa Teknologi Pangan Institut Teknologi Telkom Purwokerto
21 Desember 2022 12:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nabilla Mutiara Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hai kenalin nama aku Nabilla Mutiara Putri biasa dipanggil Nabilla. Aku berasal dari desa Gentawangi yang berdekatan dengan Desa Pekuncen sebuah desa yang terletak di wilayah Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas yang terkenal masih menjujung tinggi budaya dan keyakinan adat Jawa. Keyakinan ini sudah ada sejak zaman nenek moyang kita beberapa ratusan tahun silam, tetapi sampai zaman sekarang masih tetap dilestarikan oleh para pengikutnya. Desa pekuncen merupakan salah satu wilayah tradisi Jawa bernuansa mistis. Masyarakat di Desa Pekuncen menganut keyakinan Islam Aboge yang menggunakan dan mengamalkan kalender Jawa.
ADVERTISEMENT
Desa Pekuncen dikenal sebagai desa yang memiliki komunitas adat Kejawen. Kejawen berasal dari kata Jawa yang artinya di dalam Bahasa Indonesia yaitu segala yang berhubungan dengan adat dan kepercayaan Jawa. Mayoritas penduduk di Desa Pekuncen merupakan penghayat kejawen yang kehidupan sehari-harinya selalu berkaitan dengan ritual-ritual selametan. Ragam ritual yang dilakukan oleh komunitas adat kejawen yang mampu merekatkan kerukunan antar masyarakat di desa Pekuncen. Seorang tokoh yang diyakini masyarakat sebagai orang pertama penyebar ajaran kejawen adalah Kyai Bonokeling. Bonokeling adalah sebuah nama samaran, bukan nama asli sesungguhnya. Bonokeling yang berarti wadah hitam yang berasal dari kata Bono berarti wadah dan keeling berarti hitam. Berawal dari Kyai Bonokeling sebagai orang pertama yang menyebarkan ajaran kejawen yang bernuansa nilai-nilai keislaman di Desa Pekuncen.
Makam Bonokeling di Desa Pekuncen, Jawa Tengah (Foto: Dokumen Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Makam Bonokeling di Desa Pekuncen, Jawa Tengah (Foto: Dokumen Pribadi)
Masyarakat komunitas adat Bonokeling merupakan suatu kelompok masyarakat yang mengakui bahwa mereka beragama Islam, namun dalam praktek ibadah mereka berbeda dengan umat Islam pada umumnya. Hal tersebut terlihat pada saat pembacaan doa menggunakan bahasa Arab dan bahasa Jawa. Masyarakat komunitas adat Bonokeling memiliki keyakinan sendiri dalam aspek beribadah untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Masyarakat di Desa Pekuncen masih melakukan ritual yang di dalamnya terdapat berbagai macam kearifan lokal yang berfungsi sebagai elemen pembangun kerukunan dan perekat antar warga. Tradisi Turunan merupakan tradisi akan memanen padi, tapi karena dilaksanakan setelah puasa Ramadhan maka tradisi Turunan ini disebut juga dengan Rampung Puasa. Tradisi Perlon Rikat adalah ritual memberikan doa kepada leluhur masyarakat Bonokeling, tradisi ini diawali dengan melakukan Rikat atau membersihkan lingkungan, memperbaiki pagar bambu yang mengelilingi pemukiman, dan membersihkan makam. Tradisi Sedekah Bumi merupakan tradisi pemberian sesaji kepada Yang Kuasa karena telah memberikan banyak rezeki kepada masyarakat Bonokokeling dan masyarakat Desa Pekuncen pada umumnya. Tradisi Kupatan Senin Pahing yang dilaksanakan setiap senin pahing mulai pukul 07.00 - 12.00 WIB, tradisi ini berupa doa dengan sesaji yang berupa kupat slamet. Tradisi unggahan merupakan suatu tradisi yang dilakukan oleh ribuan anak putu dan masyarakat penganut Bonokeling Pekuncen untuk menunggu datangnya bulan puasa Ramadhan. Kegiatan pada bulan Ramadhan ini dikenal dengan sebutan sadran atau perlon uanggahan. Kegiatan ini dilaksanakan pada hari Jumat Kliwon atau jumat terakhir di bulan Ramadhan. Nilai-nilai kerukunan masyarakat desa pekuncen yaitu masyarakat bergotong-royong membawa hasil bumi dengan berjalan kaki yang kemudian dilakukan penyambutan dan serah terima barang bawaan oleh masyarakat. Masyarakat datang ke makam Eyang Bonokeling dengan jalan kaki untuk melestarikan tradisi budaya para leluhurnya mengenakan pakaian khas adat Jawa yaitu bagi
ADVERTISEMENT