Anak di Luar Pernikahan dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Perdata

Nabil Sayyida
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
2 Desember 2022 12:41 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nabil Sayyida tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pernikahan merupakan hal yang paling indah dan hanya dilakukan sekali dalam seumur hidup. Dan apa yang terjadi bila hubungan pernikahan itu dibalut oleh rasa takut dan terpaksa oleh anak yang sudah ada di dalam kandungan sebelum pernikahan akan berjalan harmonis?
ADVERTISEMENT
Pergaulan bebas di kalangan para remaja yang terjadi saat ini seringkali membawa kepada hal-hal yang tidak dikehendaki yakni terjadinya kehamilan di luar pernikahan. Apabila seorang anak dilahirkan secara tidak sah (di luar perkawinan) maka sebagai akibatnya ia tidak bisa dihubungkan dengan ayahnya, melainkan hanya kepada ibunya. Lalu bagaimana hukum Islam dan hukum perdata memandang hal tersebut?
Ilustrasi anak di luar pernikahan (sumber : https://pixabay.com)
Anak di luar nikah adalah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan yang tidak memiliki ikatan pernikahan yang sah dengan laki-laki yang telah membuahi anak di rahimnya. Anak tersebut tidak mempunyai kedudukan yang sempurna di mata hukum seperti anak sah pada umumnya.
Menurut Ahmad Rofiq, dalam buku Fiqh Mawaris berpendapat bahwa anak hasil luar nikah adalah anak yang lahir tidak sah menurut ketentuan agama. Berikut adalah yang termasuk dalam kategori anak yang tidak sah, yakni:
ADVERTISEMENT
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), anak luar nikah hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya, sehingga dalam hal ini tidak ada hukum waris antara keduanya. Akibat dari hukum tersebut, anak luar nikah tidak berhak memperoleh hubungan nasab, nafkah, hak-hak waris (pewarisan), hadhanah (pemeliharaan/pengasuhan anak) dan perwalian dari ayah yang membenihkannya, melainkan kepada ibunya.
ADVERTISEMENT
Undang-undang perkawinan Pasal 43 ayat 1 tahun 1947 menyebutkan bahwa, "Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya." Pasal tersebut dinilai bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, sehingga keluar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang menyatakan bahwa pasal tersebut harus dibaca "Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya."
Keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut menjadi titik terang dalam hal pewarisan anak luar nikah. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), anak luar nikah yang mendapat warisan adalah anak luar nikah yang telah diakui dan disahkan. Namun sejak adanya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, anak luar nikah diakui sebagai anak yang sah dan mempunyai hubungan waris dengan bapak biologisnya.
ADVERTISEMENT