Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Kisah Prim yang Memilih Berdamai dengan Rasa Sakit dari Autoimun
26 November 2023 10:33 WIB
Tulisan dari Nada Alifa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Prim (46), perempuan yang alami Autoimun selama 34 tahun, memilih untuk berhenti konsumsi obat penghilang rasa sakit dan berdamai dengan rasa sakit setiap harinya. Sampai sekarang, Autoimun masih belum bisa disembuhkan. Tak tanggung-tanggung, ada lebih dari 15 titik yang mengalami pembengkakan dan kekakuan, serta puluhan titik peradangan di kulit. Meskipun di pagi hari kekakuan sendi biasanya memburuk, Prim tetap rutin bangun pagi dan mempersiapkan sarapan untuk keluarganya.
ADVERTISEMENT
Kisahnya bermula di 1989, saat Prim masuk sekolah asrama di Solo. Disana ia mulai mengkonsumsi ayam potong secara rutin. Lambat laun, mulai muncul peradangan di kulit kepalanya berupa kulit yang terasa tebal, kering, dan bersisik. Ia mengira itu adalah ketombe yang muncul karena salah memilih shampo.
Puncaknya, di kelas 3 SMA, ia menggundul habis rambut di kepalanya karena ketombe itu memenuhi kulit kepala dan menimbulkan rasa gatal yang luar biasa. Hal itu dilakukan supaya lebih mudah dalam mengoleskan salep. Gejala lain yang ia rasakan adalah tubuh yang selalu meriang. Awalnya ia mengira hal itu karena terlalu lelah berkegiatan di asrama. Setiap malam ia selalu mengolesi tubuhnya dengan minyak kapak supaya bisa tidur dengan nyenyak.
ADVERTISEMENT
“Masih SMP tapi udah kayak nenek-nenek, yang dicari balsem. Temen tidurnya balsem sama minyak kapak,” ledek teman sebayanya dulu sewaktu di asrama.
Semakin berjalannya waktu, Prim semakin penasaran dengan kondisi tubuhnya. Namun hingga 20 tahun kemudian, ia masih belum menemukan penyebab di balik tingkah aneh tubuhnya. Ketika keluarga kecilnya dianugerahi buah hati pertama, timbul pembengkakan sendi di tubuhnya.
“Rasanya kayak orang keseleo terus. Bahkan bangun tidur itu sampe merangkak, ga bisa berdiri. Tapi harus tetap masak, kan.”
Ia pernah mencoba konsultasi ke dokter tapi hanya diberi vitamin. Dokter juga bilang kalau yang ia alami itu akibat dari stres. Baginya, pengorbanan yang paling berat adalah ketika berpuasa. Selain berpuasa, ia juga perlu mempersiapkan menu buka puasa. Meskipun dari kelas 4 SD ia sudah terbiasa memasak untuk orang rumah, memasak tetap menjadi kegiatan yang memerlukan dirinya berdiri 4-5 jam setiap hari dengan tubuh meriang dan jari-jari yang membengkak. Berbuka puasa yang menjadi momen riang bagi berpuasa, ia justru merasa mual dan pusing. Asupan makanan yang tidak sesuai keadaan tubuh juga menjadikan puasa menjadi hal yang berat.
“Kalo sekarang kan sudah tahu pantangannya, ga makan tepung-tepungan, cabe. Jadi puasanya bisa lebih fit.”
ADVERTISEMENT
Sebenarnya Prim sudah menjadi lebih lapang akan kondisinya seperti ruas-ruas jari, lutut, dan pundak yang membengkak dan muncul seperti ketombe di siku, lutut, telinga, serta kulit kepala.
Ketika suaminya, Joko (49), bertemu dengan seorang dokter yang bisa membantu ia sembuh dari saraf kejepit, ia disarankan untuk konsultasi dengan dokter lagi.
Akhirnya Prim mencoba periksa ke dokter tersebut dengan keluhan migrain dan vertigo. Ia pun dirujuk untuk melakukan Electroensephalogram (EEG), pemeriksaan aktivitas listrik di otak. Hasilnya, terdapat penyempitan pembuluh darah di leher akibat kelelahan.
Ia juga menyampaikan keluhan soal peradangan kulit dan sendi yang membengkak. Dokter tersebut langsung menyampaikan indikasi penyakit Autoimun dan merujuknya ke dokter yang ahli dalam peradangan kulit. Dari dokter tersebut, ia juga langsung dihubungkan dengan grup yang berisi para pengidap Autoimun. Ia jadi melihat ada banyak orang yang mengalami Autoimun lebih parah seperti ketika kambuh kukunya sampai lepas. Saat itu ia masih belum tahu jenis penyakit Autoimun yang ia alami.
Ketika ia dirujuk ke dokter untuk menangani pembengkakan di sendi, ia justru mendapat dosis obat penghilang rasa sakit terlalu tinggi. Ia mengkonsumsi obat Methylprednisolone sebanyak 3 tablet 3x sehari. Akibatnya, baru 3 hari ia langsung mual dan vertigo. Ia pun dirujuk lagi. Kali ini ke dokter ahli di rumah sakit lain. Namun pengobatan kali ini tidak bisa menggunakan BPJS karena banyak proses yang tidak di-cover. Kebetulan waktu itu mendapat fasilitas asuransi kesehatan dari kantor suami, ia pun mengiyakan.
ADVERTISEMENT
Proses pencarian jenis penyakit Autoimun ini dilakukan dengan melakukan tes darah sebanyak 5 kali dengan biaya yang tidak murah. Berbulan-bulan setelahnya, ia akhirnya mengetahui bahwa ia mengidap penyakit Psoriasis dan Rheumatoid Arthritis (RA).
Psoriasis adalah penyakit yang menyebabkan muncul peradangan di kulit yang terasa tebal, kering, dan bersisik. Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit yang menyebabkan ruas-ruas jari, lutut, dan pundaknya membengkak, termasuk yang menyebabkan ia harus merangkak di pagi hari. Autoimun merupakan penyakit yang belum ditemukan penyembuhnya. Obat yang dikonsumsi pun hanya untuk menghilangkan rasa sakit dan meningkatkan daya tahan tubuh.
Namun, perjalananya tidak berhenti disini. Setelah 2 tahun mengkonsumsi dosis obat yang sesuai, ia diharuskan melakukan Terapi Eradikasi Helicobacter Pylori (H. pylori), pengobatan dan pembasmian bakteri di lambung. Hal itu diperlukan karena efek samping dari obat yang dikonsumsi adalah iritasi lambung. Ditambah, terdapat infeksi bakteri yang dapat meningkatkan risiko terkena kanker lambung.
ADVERTISEMENT
Proses pengobatan ini membutuhkan kekuatan karna menggunakan racikan 5 antibiotik. Racikan tersebut juga memiliki efek samping yaitu membuat mual, muntah, pusing, hingga tubuh lemas. Dengan bantuan konsumsi ekstrak propolis, tubuhnya tidak drop seperti kebanyakan pasien lain. Racikan tersebut dibutuhkan untuk menghindari bakteri menjadi kebal terhadap antibiotik yang pada awalnya efektif mengobati. Semenjak itu, lambungnya menjadi sensitif dengan makanan yang pahit dan pedas seperti pare, daun pepaya, lombok, dan merica. Ketika mengkonsumsinya, perut langsung kembung.
“Ternyata konsumsi obat penghilang rasa sakit justru bikin organ lain sakit. Akhirnya mutusin untuk berhenti. Daripada organ lain jadi sakit, justru lebih berisiko. Terasa sakit, tapi juga udah biasa.”
Kini, di usianya yang paruh baya, Prim memilih untuk hidup dengan rasa sakit setiap harinya. Ia kadang mengkonsumsi obat penghilang rasa sakit dengan separuh dosis, ketika merasakan sakit yang amat sangat. Prim memilih hidup dengan lebih damai dan menikmati rasa sakit di sepanjang hidupnya. Baginya, kalau sholat berjam-jam itu ga akan kuat, tetapi kalau bisa ikhlas dengan hidup yang dijalani seperti sholat 24 jam di seumur hidupnya.
ADVERTISEMENT
“Jadi inilah ibadah saya dan menganggap rasa sakit ini bukan masalah. Ibadah dan ikhlas. Sudah itu saja,” tukasnya dengan senyuman.