Garuda Indonesia dan Ironi Patriotisme: Romansa Tragis di Negeri Khatulistiwa

Nada Ocha
Mahasiswa Universitas Brawijaya
Konten dari Pengguna
28 November 2021 11:51 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nada Ocha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pesawat Garuda Indonesia A330-900 neo. Foto : Nathania Zahwarian Prameswari
zoom-in-whitePerbesar
Pesawat Garuda Indonesia A330-900 neo. Foto : Nathania Zahwarian Prameswari
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“Miss management, biaya yang sangat tinggi untuk beroperasi dalam 6 tahun terakhir dari sertifikasi lisensi, mahal dan jauhnya impor dan biaya masuk, budaya korupsi, dan COVID-19.”
ADVERTISEMENT
--Susi Pudjiastuti.
Siapa yang tak kenal maskapai Garuda Indonesia? Sebagai orang yang jarang berpergian menggunakan transportasi udara pun, nama Garuda Indonesia selalu terdengar elegan di telinga saya. Melihat iklan maskapai tersebut yang dahulu sering tayang di televisi nasional tentunya membuat saya berpikir bahwa Garuda Indonesia ini merupakan maskapai mewah yang bukan sembarangan orang bisa menggunakannya. Namun sekiranya pada awal pandemi tahun 2020 silam, desas-desus bangkrutnya maskapai ini sudah ramai diperbincangkan di berbagai platform media massa. Tentu mendengar desas-desus kebangkrutan saya rasa bukanlah hal yang mengejutkan selama masa pandemi. Banyak perusahaan yang dikabarkan akan bangkrut atau pailit dan semacamnya, tetapi pada akhirnya fine-fine saja, bukan? Jawabannya, tidak untuk maskapai Garuda Indonesia.
ADVERTISEMENT
Maskapai penerbangan Garuda Indonesia merupakan perintis sekaligus maskapai penerbangan nasional pertama di Indonesia yang masih bertahan setidaknya sebelum diumumkan bangkrut secara teknis pada 9 November 2021 kemarin. Karena telah eksis selama kurang lebih 72 tahun, Garuda Indonesia tentunya memiliki sejarah yang panjang dan kontribusi yang besar bagi negara Indonesia. Mungkin pertanyaan terbesar banyak orang adalah, “Mengapa perusahaan besar yang eksis selama 72 tahun itu bisa bangkrut?” Penyebab khususnya tidak lain adalah pandemi COVID-19 yang tengah melanda dunia global. Tetapi, bukankah semua perusahaan maskapai mengalami hal yang serupa? Lalu mengapa hanya Garuda Indonesia yang bangkrut?
Ilustrasi Maskapai Garuda Air. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Ironi Patriotisme dan Berbagai Kejanggalan yang Tak Perlu Diperjelas
Satu hal yang membuat saya bingung ketika maskapai Garuda Indonesia berada di ambang kebangkrutannya adalah keikutsertaan mereka dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Garuda Indonesia gencar membantu kelancaran rantai ekspor produk Indonesia ke pasar internasional. Melihat kondisi Garuda Indonesia yang di ambang kebangkrutan itu, saya heran bagaimana mereka masih mampu untuk beroperasi. Namun, aksi mereka patut untuk diacungi jempol karena jika melihat dari kacamata nasionalisme, aksi yang dilakukan Garuda Indonesia itu mengusung nilai-nilai patriotisme yang tinggi.
ADVERTISEMENT
Di samping hal itu, ada beberapa kejanggalan di internal Garuda Indonesia. Salah satunya adalah biaya sewa pesawat yang mencapai empat kali lipat dari harga rata-rata. Banyak orang berspekulasi bahwa ada semacam “permainan” uang dari para stakeholder di Garuda Indonesia demi menguntungkan diri sendiri. Tanpa harus diperjelas, kita semua pastinya tahu bahwa spekulasi tersebut mengarah kepada budaya buruk yang diwariskan secara turun-temurun di negeri ini (baca: korupsi). Selain itu, ada berbagai macam bentuk miss management seperti manajemen rute penerbangan yang dinilai tidak efisien dan hanya membuat kerugian. Garuda Indonesia sendiri sebelumnya memiliki 437 rute dan akan dikurangi menjadi 140 rute. Selain hal-hal tersebut, tentunya masih banyak permasalahan lain di internal perusahaan.
ADVERTISEMENT
Akhir yang Tragis untuk Sebuah Awal yang Manis
Romansa maskapai kebanggaan Indonesia mungkin telah mencapai epilognya. Sebuah epilog yang amat tragis untuk prolog yang manis. Maskapai Garuda Indonesia, yang awalnya merupakan maskapai pemerintah kolonial Belanda, diserahkan kepada pemerintah Indonesia pasca-mendapat kedaulatan penuhnya di Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949. Sebuah simbol kemenangan dan kebanggaan rakyat yang perlahan-lahan menjadi pudar karena berbagai kelalaian segelintir rakyat.
Sejarah panjang maskapai Garuda Indonesia perlu menjadi pelajaran bagi banyak orang terutama sebagai pelajaran untuk merawat sebuah perusahaan. Sebuah perusahaan menjadi besar bukan hanya karena usianya yang panjang atau asetnya yang banyak, tetapi esensi dari perusahaan besar ialah budaya perusahaan yang baik dan ekosistem yang mendukung.
ADVERTISEMENT