Konten dari Pengguna

Keringat Pembakar Semangat

Nada Chryzelda
Hi I am a lover of jazz, classical, blues, ballads, celtic, r&b, pop, cats, reading books, playing games, mermaids, blue, swimming. Hybrid HR Admin and also teaching as an English teacher. Other than that, I am still studying at Universitas Pamulang.
14 Juni 2025 14:44 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Keringat Pembakar Semangat
Cerita ini mengajarkan bahwa martabat sejati bukan terletak pada harta atau status sosial, melainkan pada kemandirian dan keberanian untuk bertahan dalam kondisi terberat sekalipun.
Nada Chryzelda
Tulisan dari Nada Chryzelda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Koleksi Pribadi: Halaman rumah yang dihiasi oleh cuaca cerah disiang hari, di kota Tangerang
zoom-in-whitePerbesar
Koleksi Pribadi: Halaman rumah yang dihiasi oleh cuaca cerah disiang hari, di kota Tangerang
"Looka heah, Sykes, you done gone too fur. Ah been married to you fur fifteen years, and Ah been takin' in washin' for fifteen years. Sweat, sweat, sweat! Work and sweat, cry and sweat, pray and sweat!" — Zora Neale Hurston, Sweat
ADVERTISEMENT
Pernahkah kalian menyaksikan seorang perempuan yang tak henti berjuang, menghadapi badai demi menjaga martabat dan keluarganya? Kisah Delia Jones dalam cerpen "Sweat" karya Zora Neale Hurston bukan sekadar cerita fiksi, melainkan sebuah potret abadi tentang ketahanan, harga diri, dan pencarian keadilan di tengah kerasnya hidup. Meskipun berlatar masyarakat kulit hitam di Florida awal abad ke-20, esensi perjuangan Delia beresonansi kuat dengan realitas banyak perempuan di Indonesia yang gigih menghadapi berbagai tantangan untuk mempertahankan kehormatan dan kesejahteraan.
Cerpen "Sweat" memperkenalkan kita pada Delia Jones, seorang perempuan pekerja keras yang mencari nafkah sebagai pencuci pakaian. Setiap tetes keringatnya adalah simbol pengabdian untuk menjaga rumah tangga yang ia bangun, meskipun suaminya, Sykes, adalah sosok yang pemalas, kasar, dan pengkhianat. Sejak awal, Delia hidup dalam bayang-bayang kekerasan verbal dan fisik yang dilakukan Sykes, yang tak hanya menghabiskan uangnya untuk perempuan lain, tetapi juga terus-menerus merendahkan dirinya.
ADVERTISEMENT
Hidup Delia adalah cerminan dari ungkapan "keringat adalah roti". Ia bekerja siang dan malam, mencuci pakaian orang kulit putih untuk menopang kehidupannya dan rumahnya. Keringatnya bukan hanya tanda kelelahan fisik, tetapi juga bukti ketekunan dan martabatnya. Ia tidak mengeluh, ia terus bekerja. Ini adalah gambaran yang akrab di Indonesia, di mana banyak perempuan menjadi tulang punggung keluarga, berjuang di sektor informal atau pekerjaan rumah tangga, menghadapi beban ganda tanpa kehilangan semangat. Mulai dari ibu-ibu yang menjajakan dagangan di pasar, buruh pabrik dengan upah minim, hingga pekerja migran di negeri orang, keringat mereka adalah simbol harga diri yang tak ternilai, sebuah bentuk perlawanan terhadap keterpurukan.
Cerita ini mengajarkan bahwa martabat sejati bukan terletak pada harta atau status sosial, melainkan pada kemandirian dan keberanian untuk bertahan dalam kondisi terberat sekalipun. Delia, dengan segala keterbatasannya, adalah representasi kekuatan perempuan yang seringkali tersembunyi.
ADVERTISEMENT
Hubungan Delia dan Sykes adalah inti dari penderitaan yang ia alami. Sykes, yang seharusnya menjadi pelindung, justru menjadi sumber teror. Ia membawa ular berbahaya ke rumah untuk menakut-nakuti Delia, dan secara terang-terangan berselingkuh. Namun, alih-alih menyerah, Delia menunjukkan kekuatan batin yang luar biasa. Ia bertahan, tidak hanya secara fisik tetapi juga secara mental, dalam menghadapi perlakuan keji suaminya.
Situasi seperti ini, sayangnya, bukan hal asing di Indonesia. Banyak perempuan menghadapi tantangan serupa dalam rumah tangga, baik berupa kekerasan verbal, ekonomi, maupun fisik. Kisah Delia mengingatkan kita akan pentingnya dukungan sosial dan sistem yang kuat untuk melindungi perempuan dari kekerasan. Lebih dari itu, ia juga menyoroti kapasitas luar biasa perempuan untuk menanggung dan melewati ujian hidup, menemukan kekuatan dari dalam diri sendiri, bahkan ketika lingkungan terdekat justru menjadi ancaman.
ADVERTISEMENT
Pada puncaknya, "Sweat" mencapai klimaks yang mengguncang ketika Sykes, dalam upayanya untuk mencelakakan Delia dengan ular, justru menjadi korban dari niat jahatnya sendiri. Delia menyaksikan suaminya sekarat, namun ia memilih untuk tidak campur tangan. Tindakan ini, meskipun tampak kejam, sebenarnya adalah ekspresi dari keadilan yang sudah lama ia dambakan. Ini bukan tentang balas dendam, melainkan tentang pembebasan dari belenggu penindasan yang telah lama mencengkeramnya.
Pelajaran dari akhir cerita ini adalah tentang transformasi. Delia, yang tadinya terbiasa menjadi korban, akhirnya menemukan kemerdekaan dari siksaan. Ini bisa diartikan sebagai metafora bagi perjalanan banyak perempuan yang setelah sekian lama menghadapi penderitaan, akhirnya menemukan kekuatan untuk bangkit, menetapkan batasan, dan mengambil alih kendali atas hidup mereka. Di Indonesia, berbagai upaya pemberdayaan perempuan, penegakan hukum terhadap kekerasan dalam rumah tangga, dan kampanye kesadaran adalah langkah-langkah menuju keadilan serupa, membantu para perempuan menemukan jalan keluar dari situasi sulit dan membangun kembali hidup mereka dengan harga diri.
ADVERTISEMENT
"Sweat" adalah lebih dari sekadar cerita tentang penderitaan; ini adalah ode untuk ketahanan dan kemenangan jiwa. Melalui kisah Delia, kita belajar bahwa kekuatan sejati seringkali ditemukan dalam keheningan perjuangan sehari-hari, dalam setiap tetes keringat yang mengalir, dan dalam keberanian untuk mempertahankan harga diri.
Bagi kita di Indonesia, cerpen ini adalah pengingat untuk terus mendukung perempuan dalam setiap langkah perjuangan mereka. Ini sangatlah penting bagi kita untuk membangun lingkungan yang aman, adil, dan memberdayakan, di mana setiap perempuan dapat berkeringat untuk impiannya tanpa takut akan penindasan. Dengan begitu, setiap tetes keringat bukan lagi simbol kesusahan, melainkan fondasi bagi masa depan yang lebih cerah dan setara bagi semua.
Terima kasih sudah membaca.
ADVERTISEMENT