Malapraktik Medis: Di Mana Letak Tanggung Jawab Rumah Sakit?

Nadhifa Siti Syakirakhansa
Mahasiswa Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Konten dari Pengguna
29 April 2022 8:04 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nadhifa Siti Syakirakhansa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber foto: https://pixabay.com/id/photos/operasi-kamar-operasi-pembedahan-1807543/
zoom-in-whitePerbesar
Sumber foto: https://pixabay.com/id/photos/operasi-kamar-operasi-pembedahan-1807543/
ADVERTISEMENT
Hubungan antara dokter dan pasien tidak hanya berupa hubungan pemberian jasa pada umumnya, sebab keduanya tidak dalam kondisi yang sama. Pasien yang dalam keadaan sakit memerlukan pelayanan seorang dokter yang optimal dalam memberikan rasa aman dan nyaman bagi pasien (Indra Yudha Koswara: 2020).
ADVERTISEMENT
Untuk menghindari rasa tidak puas dari pasien, dokter sudah seharusnya memberikan penjelasan (informed consent) yang lengkap terkait penyakit yang dialami pasien dan kemungkinan risiko yang akan dialami pasien selama prosedur pengobatan berlangsung (Diah Widi Astuti: 2009).
Akan tetapi, masyarakat sering memiliki anggapan yang keliru bahwa segala tindakan medis yang menimbulkan kerugian dapat tersebut sebagai malapraktik medis (Sutan Remy: 2020). Padahal, hal tersebut sudah secara jelas berada di dalam informed consent bahwa kerugian tersebut termasuk ke dalam kemungkinan risiko yang akan dialami pasien.

Jadi Apa yang Termasuk ke dalam Malapraktik Medis?

Ngesti Lestari dan Soedjatmiko membedakan malapraktik medis menjadi dua bentuk yaitu malapraktik etika (ethical malpractice) dan malapraktik yuridis (yuridical malpractice), apabila meninjau dari segi etika profesi dan segi hukum (Anny Isfandyarie: 2005). Secara etimologi, malapraktik berasal dari kata “malpractice” yang artinya cara mengobati yang salah atau tindakan yang salah (Julius, dkk: 2020).
ADVERTISEMENT
Malapraktik merupakan tindakan tenaga medis profesional yang mengalami kegagalan ataupun kesalahan sehingga mengakibatkan kerugian pasien. Dalam norma hukum, malapraktik tidak memiliki definisi yang rinci, tetapi norma hukum melihat malapraktik ini dari hubungan (sebab-akibat) dari tindakan, seperti seseorang yang mengakibatkan matinya, atau lukanya orang lain.
Soedjatmiko membedakan malapraktik yuridis menjadi tiga bentuk, yaitu (1) malapraktik perdata (civil malpractice) yang terjadi apabila tidak terpenuhinya isi perjanjian (wanprestasi) karena proses pengobatan yang tidak sesuai sehingga mengakibatkan kerugian bagi pasien atau terjadi perbuatan melanggar hukum (onrechtmatigedaad); (2) malapraktik pidana (criminal malpractice) yang terjadi apabila terjadi suatu kelalaian yang menyebabkan kecacatan atau kematian pasien: dan (3) malapraktik administratif (administrative malpractice) yang merupakan segala tindakan yang tidak sesuai dengan prosedur pelayanan, menjalankan praktik tanpa izin, tidak memiliki surat izin praktik ataupun sudah daluwarsa (Soedjatmiko: 2001). Contoh perbedaan dari ketiga malapraktik ini dapat dilihat dengan berbagai kasus yang pernah terjadi sebelumnya.
ADVERTISEMENT

Apakah Rumah Sakit Dapat Bertanggung Jawab Secara Hukum?

Dalam kebanyakan kasus di Indonesia, tenaga medis lah yang menjadi target utama sebagai tergugat kasus malapraktik. Namun, sebenarnya korban juga dapat menjatuhkan gugatan pada rumah sakit tempat dokter itu berpraktik (Ratna Winahyu: 2013). Salah satu contohnya seperti kasus malapraktik perdata yang terjadi di Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI) di Jakarta Selatan pada tahun 2005, ketika terjadi miskonsepsi, miskomunikasi, dan sikap tidak profesional oleh para dokter RSPI yang menangani pasien kala itu sehingga berakibat fatal bagi pasien (Mawadattul Ummah: 2016). Dalam ranah perdata, RSPI sebagai badan hukum, telah melanggar Pasal 1365, Pasal 1366, dan Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer).
Pasien beberapa kali mengalami “pelemparan” tanggung jawab dan tidak mendapat informed consent yang layak. Hal itu mengakibatkan pihak keluarga, sebagai penggugat, mengajukan gugatan kepada pihak RSPI, yang dalam hal ini sebagai badan hukum PT. Guna Mediktama, selaku Tergugat I, yang telah menjanjikan untuk memberikan kompensasi. Kasus ini telah terputuskan oleh Putusan Mahkamah Agung pada 2 Februari 2012 dalam putusan PK Nomor 515 PK/Pdt/2011.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, sebenarnya masih terdapat kasus-kasus malapraktik yang menitikberatkan pertanggungjawaban pada dokter. Pun bila rumah sakit yang dimaksud telah “bertanggung jawab”, kiranya belum dapat terkatakan bertanggung jawab penuh secara hukum (Mudakir Iskandar Syah: 2019).
Hal ini dapat terlihat dalam kasus malapraktik pidana pada seorang ibu dan janinnya di Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) di Banda Aceh pada 2016. Malapraktik pidana/criminal malpractice ini berupa kelalaian RSIA karena minimnya tenaga kesehatan sehingga mengakibatkan ibu dan janin meninggal. Kondisi pasien yang kritis ketika bersalin dan membutuhkan penanganan darurat terkait dengan kondisi kandungannya, tidak kunjung mendapatkan pelayanan sesuai prosedur dalam kurun waktu delapan jam dengan dalih dari perawat bahwa tidak ada dokter spesialis kebidanan dan kandungan yang bertugas. Selain itu, dr. Ulfah Wijaya Kesumah, SPOG yang seharusnya bertugas di RSIA saat itu tidak menampakkan dirinya untuk dapat menangani ibu beserta janinnya ini. Pada akhirnya ibu dan janin meninggal dunia (Panji Maulana: 2019).
ADVERTISEMENT
Dalam kasus ini, tergugat adalah dr. Ulfah. Pemberian “tanggung jawab” oleh RSIA hanyalah dengan menyerahkan dr. Ulfah pada pihak berwajib. Namun, sebenarnya RSIA pun bisa mendapat pertanggungjawaban lebih atas kasus ini. Hal ini berdasar pada Pasal 29 ayat (1), Pasal 32 huruf q, dan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (UU No. 4 Tahun 2009). Berdasarkan ketiga pasal tersebut, RSIA Banda Aceh bisa mendapat pertanggungjawaban secara hukum terhadap kerugian yang timbul atas kelalaian tenaga kesehatan, pasien pun berhak untuk menggugat atau menuntut RSIA akibat pelayanan yang tidak sesuai dengan standar.
Dasar hukum lainnya yaitu Pasal 7 Ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2018 tentang Kewajiban Rumah Sakit dan Kewajiban Pasien, bahwa rumah sakit memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan gawat darurat kepada Pasien sesuai dengan kemampuannya, berupa triase, tindakan penyelamatan nyawa (life saving), ataupun pencegahan kecacatan. Dalam kasus ini, RSIA telah melanggar ketentuan pasal tersebut karena tidak memberikan penanganan yang tepat.
ADVERTISEMENT
Rumah sakit sebagai salah satu subjek hukum yang berbentuk badan hukum (rechtpersoon) dapat bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang terjadi di dalam rumah sakit tersebut. Oleh karena itu, rumah sakit memiliki tuntutan untuk memberikan pelayanan yang bermutu sesuai dengan penetapan standa dan dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat (Grace Yurico: 2013).
Dalam kasus ini, rumah sakit selaku korporasi yang memiliki susunan tritunggal meliputi pimpinan, dokter, dan dokter gigi, yang mana dr. Ulfa merupakan bagian dari tritunggal tersebut dalam sebuah rumah sakit yang secara fungsional memimpin dan memikul tanggung jawab bersama terkait pelayanan medis kepada masyarakat.
Maka, hukum pidana sebagai hukum publik, dapat meminta pertanggungjawaban korporasi tidak hanya terbatas pada dokter ataupun dokter gigi, namun juga pada rumah sakit sebagai korporasi yang bertanggung jawab atas segala tindakan kedokteran yang salah, baik oleh dokter atau dokter gigi, maupun oleh tenaga kesehatan yang berada di bawah pengawasannya kepada pasien.
ADVERTISEMENT
Sebagai korporasi, rumah sakit dapat memberikan pertanggungjawaban pidana dengan meminta pertanggungjawaban hukum terhadap direktur selaku perwakilan direksi rumah sakit. Namun pada praktiknya, saat ini lebih banyak pengenaan pertanggungjawaban pidana kepada dokter yang bertugas pada saat kasus tersebut terjadi akibat melalaikan tugas (Ari Yunanto dan Helmi: 2010).
Di samping itu, pihak penegak hukum juga dianggap kurang jeli menyelesaikan kasus apabila hanya beranggapan bahwa pihak rumah sakit sebagai suatu korporasi yang menyangkut persoalan keperdataan saja, padahal dalam hukum pidana pun rumah sakit dapat bertanggung jawab apabila memenuhi ketentuan undang-undang yang berlaku.
Penulis: Nadhifa Siti S., Rasha Nareswari, Najwa Nashfasya, Rifanni Widya, Vera Amanda