Konten dari Pengguna

Emotional Eating : Benarkah Ada Kaitannya dengan Berat Badan?

Nadhira Faisya Widyanova
Undergraduate Psychology student at University of Brawijaya
2 Desember 2024 12:53 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nadhira Faisya Widyanova tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pernahkan kalian makan bukan karena lapar tetapi karena terjadi perubahan emosi dalam diri kalian? Misalnya saat sedih, depresi, dan cemas kalian cenderung memakan makanan manis? Nah itulah yang dikenal dengan emotional eating, yaitu saat kalian makan sebagai respons terhadap perubahan emosi dan bertentangan dengan kebutuhan fisiologis yang sebenarnya.
Ilustrasi Emotional Eating (sumber: canva)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Emotional Eating (sumber: canva)
Apa Itu Emotional Eating?
ADVERTISEMENT
Emotional eating didefinisikan sebagai kecenderungan untuk makan berlebihan sebagai respons terhadap emosi negatif, seperti kecemasan atau mudah tersinggung. Orang yang makan secara emosional cenderung mengonsumsi makanan tinggi lemak, gula, dan kalori sebagai respons terhadap emosi negatif. Makan secara emosional juga diprediksi dapat menaikkan berat badan dari waktu ke waktu dan dapat menempatkan pemakan emosional pada risiko yang lebih tinggi untuk terkena diabetes dan penyakit jantung. Mereka juga berjuang untuk menurunkan berat badan; pemakan emosional memiliki kemungkinan setengah lebih besar dibandingkan pemakan non-emosional untuk mencapai target penurunan berat badan sebesar 10% dari perawatan penurunan berat badan perilaku standar. Emotional eating penting untuk dipelajari karena efek negatifnya terhadap berat badan dan kesehatan secara keseluruhan.
ADVERTISEMENT
Apa Penyebab Emotional Eating?
Sejumlah penelitian tentang emotional eating telah meneliti hubungan yang berbeda antara emosi tertentu dan perilaku makan. Sebuah tinjauan baru-baru ini menyoroti depresi, kecemasan, dan rasa bosan sebagai emosi yang umumnya dikaitkan dengan makan. Namun, makan karena emosi negatif lebih kuat berkorelasi dengan emotional eating daripada makan karena emosi positif. Emosi positif yang dimaksud disini adalah saat kita kelebihan berat badan atau obesitas dan ingin diet untuk menurunkannya.
Kita bisa saja makan lebih banyak saat merasa depresi dan cemas karena emosi sedang begitu besar dan kuat, sehingga bisa menggantikan rasa lapar dan kita tidak menyadarinya. Hal ini bisa menjadi masalah karena kita membutuhkan makanan untuk mengatasi emosi.
ADVERTISEMENT
Tekanan situasional seperti rasa bosan dapat menciptakan lingkungan yang ideal untuk emotional eating, karena kita mengisi waktu luang dengan makan agar terasa memiliki tujuan.
Diet sering kali mengarah ke emotional eating yang positif karena kita cenderung berusaha untuk mengurangi atau membatasi jumlah makanan yang masuk ke dalam tubuh kita demi menurunkan berat badan.
Bagaimana Bisa Berkaitan dengan Berat Badan?
Merasa tertekan atau depresi biasanya dikaitkan dengan hilangnya nafsu makan dan penurunan berat badan. Namun, ada subtipe depresi yang ditandai dengan ciri-ciri khas peningkatan nafsu makan dan kenaikan berat badan (DSM-5; American Psychiatric Association). Dalam meta-analisis dari Luppino dkk., depresi ditemukan terkait dengan kenaikan berat badan dan obesitas. Temuan bahwa emotional eating adalah mediator antara keduanya menunjukkan bahwa melakukan emotional eating mungkin target pengobatan yang penting untuk obesitas dan subtipe depresi.
ADVERTISEMENT
Apa Pertanda Kita Mengalami Emotional Eating?
Rasa lapar normalnya berkembang perlahan dari waktu ke waktu. Setelah makan, kita akan merasa puas untuk beberapa saat dan kemudian rasa lapar akan muncul kembali. Kita makan makanan yang berbeda, merasakan sensasi kenyang, dan dapat merasa puas. Sebaliknya dengan makan secara emosional yang datang tiba-tiba dan mungkin memiliki urgensi. Hal ini terjadi ketika kita ngidam atau menginginkan suatu makanan dan kita harus memakannya.
Berbeda dengan urgent craving, dalam kasus ini berarti seseorang hanya ingin makan makanan tertentu bukan karena lapar tetapi karena itu yang dapat memuaskannya. Hal ini termasuk tanda bahaya dari emotional eating.
Ciri emotional eating yang selanjutnya adalah makan secara berlebihan. Dalam kondisi ini seseorang menginginkan suatu makanan dan itu membuat mereka merasa lebih puas. Tidak peduli sebanyak apa mereka makan, itu tidak membawa mereka pada rasa puas sampai mereka benar-benar terlalu kenyang dan kemudian baru berhenti makan.
ADVERTISEMENT
Bagaimana Cara Untuk Menghentikan Emotional Eating?
Perawatan orang dengan tingkat emotional eating yang tinggi harus fokus pada respon yang lebih memadai terhadap emosi, misalnya dengan mengajarkan keterampilan regulasi emosi. Model-model regulasi emosi berpendapat bahwa emotional eating adalah hasil dari regulasi emosi yang buruk, sebagai dibandingkan dengan emosi negatif itu sendiri. Beberapa penelitian telah menyimpulkan bahwa berbagai aspek regulasi emosi (yaitu, kesulitan umum dalam regulasi emosi, ekspektasi regulasi suasana hati yang buruk, dan kesadaran emosional) dikaitkan dengan emotional eating yang lebih sering.
Pilihan selanjutnya untuk menghentikan emotional eating adalah pelatihan kesadaran. Meningkatkan rasa mindfullness juga terbukti meningkatkan respons kortisol (hormon yang mengendalikan stres) terhadap rasa stres.
Cara untuk menghentikan emotional eating yang cocok untuk obesitas disarankan dengan menggunakan pengobatan yang sesuai dengan gaya makan individu. Cara yang cocok dapat memberikan kemudahan saat proses menurunkan berat badan yang lebih permanen atau pemeliharaan berat badan.
ADVERTISEMENT
Referensi
Braden, A., Musher-eizenman, D., Watford, T., & Emley, E. (2018). Eating when depressed, anxious, bored, or happy: Are emotional eating types associated with unique psychological and physical health correlates? Appetite, 125, 410–417. https://doi.org/10.1016/j.appet.2018.02.022
Albers, S. (2021). What Is Emotional Eating? Retrieved from Cleveland Clinic: https://health.clevelandclinic.org/emotional-eating