Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Logika dan Emosi dalam Perdebatan Media Sosial
10 April 2025 11:49 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Nadhira Faisya Widyanova tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Era digital seperti sekarang ini, telah mengubah cara kita berkomunikasi dan bertukar pikiran. Media sosial, dengan kemudahan akses dan jangkauannya yang luas, kini menjadi tempat utama bagi masyarakat untuk berdiskusi dan berdebat. Berbeda dengan forum akademis yang cenderung formal dan terstruktur, ruang digital ini punya dinamikanya sendiri, yakni logika dan emosi yang sering kali tercampur. Kadang keduanya saling mendukung, tapi tak jarang juga saling bertentangan. Artikel ini akan membahas bagaimana logika dan emosi saling memengaruhi dalam diskusi di ruang digital, khususnya media sosial.
ADVERTISEMENT
Apa Itu Logika dan Emosi?
Sebelum membahas lebih dalam, disini kita akan membahas tentang logika dan emosi terlebih dahulu. Logika berasal dari bahasa Yunani, yakni logos atau logike yang berarti hasil pertimbangan akal yang dinyatakan dengan kata. Logika ini mempelajari kecakapan untuk membedakan penalaran yang salah dan benar. Secara sederhana, pengertian emosi adalah respons psikologis dan fisiologis yang muncul sebagai reaksi terhadap stimulus tertentu. Keduanya memiliki kekuatan masing-masing. Logika, pada dasarnya, adalah metode pengambilan keputusan yang sehat dan rasional untuk menemukan kesimpulan terbaik. Di sisi lain, emosi adalah perasaan yang sesungguhnya. Jika logika adalah otak, emosi adalah hati, dan hati adalah tempat kebahagiaan berada.
Ruang Digital Media Sosial
Media sosial telah mengubah drastis cara kita menyebarkan dan membahas informasi. Setiap platform memiliki ciri khasnya sendiri, seperti Twitter yang mendorong cuitan singkat dan cepat, Instagram menekankan cerita lewat gambar, sementara TikTok menyajikan dalam bentuk video singkat yang mudah dipahami. Walaupun format ini terlihat efektif untuk menjangkau banyak orang, tetapi seringkali kurang cocok untuk membahas sesuatu secara mendalam dan logis. Seperti yang kita tahu bahwa saat ini konten yang memicu emosi seperti marah, takut, atau senang lebih mudah menarik perhatian dari pengguna. Sehingga, algoritma media sosial kemudian ikut memperkuat tren ini dengan lebih sering menampilkan konten yang memunculkan reaksi emosi yang kuat. Akibatnya, argumen yang emosional justru lebih sering terlihat dibandingkan analisis yang logis.
ADVERTISEMENT
Salah satu hal yang paling mencolok di media sosial saat ini adalah makin tajamnya perbedaan pendapat. Pengguna media sosial cenderung hanya berinteraksi dengan mereka yang memiliki pandangan serupa, mengikuti akun atau sumber informasi yang mendukung apa yang sudah mereka yakini (ini disebut bias konfirmasi). Algoritma media sosial pun ikut memperkuatnya dengan terus menampilkan konten yang sejalan dengan preferensi pengguna.
Akhirnya, terbentuklah apa yang disebut ruang gema, di mana pandangan yang berbeda hampir tidak terlihat, dan pendapat yang bertentangan sering dianggap salah atau tidak valid. Dalam ruang gema yang seperti ini, argumen yang emosional dan memperkuat keyakinan kelompok lebih mudah diterima dibandingkan pemikiran kritis dan logis yang bisa menggoyahkan kepercayaan bersama. Fenomena ini menunjukkan bahwa keterikatan emosional sering kali lebih kuat daripada logika dalam interaksi digital.
ADVERTISEMENT
Logical Fallacies dalam Ruang Digital
Media sosial telah mempopulerkan berbagai kesalahan penalaran yang sekarang menjadi fitur umum dalam perdebatan online. Beberapa yang paling menonjol meliputi:
Menyerang karakter personal lawan daripada mengkritisi argumennya. Dalam perdebatan kebijakan publik di Twitter, misalnya, komentar tentang penampilan, latar belakang, daripada argumen yang disampaikan.
Mendistorsi posisi lawan untuk membuatnya lebih mudah diserang. Kecenderungan platform digital untuk menyederhanakan ide kompleks memfasilitasi distorsi semacam ini.
Menyajikan situasi kompleks sebagai pilihan sederhana. Format media sosial yang terbatas mendorong simplifikasi isu-isu rumit menjadi "pro" dan "kontra" yang sering menyesatkan.
Menarik kesimpulan luas berdasarkan sampel kecil atau sedikit. Konten viral yang menampilkan insiden individual sering dijadikan bukti tren sosial yang lebih luas tanpa dukungan data yang memadai.
ADVERTISEMENT
Peran Penting Emosi
Meski kontras dengan logika, emosi sebenarnya memainkan peran penting dalam kognisi manusia dan pengambilan keputusan. Penelitian neurosains kontemporer menunjukkan bahwa emosi dan logika bukan sistem terpisah tetapi saling terhubung secara kompleks. Dalam konteks media sosial, emosi dapat berfungsi sebagai:
1. Penggerak tindakan: Konten yang membangkitkan empati sering mendorong keterlibatan publik dalam isu-isu sosial penting.
2. Penanda relevansi: Respons emosional dapat mengarahkan perhatian pada isu-isu yang memerlukan pertimbangan rasional lebih lanjut.
3. Pemersatu komunitas: Emosi bersama dapat membangun solidaritas dan memobilisasi aksi kolektif.
Menuju Ruang Digital yang Sehat
Hubungan antara logika dan emosi di dunia digital membawa tantangan baru bagi kualitas diskusi publik. Namun, jika kita bisa lebih sadar akan batasan dan juga potensi media sosial, kita punya peluang untuk menciptakan lingkungan informasi yang lebih sehat, di mana logika dan emosi bisa saling melengkapi, bukan saling bertabrakan. Masa depan ruang digital bukan soal memilih antara logika murni atau emosi semata. Justru, kuncinya adalah membangun ruang di mana keduanya bisa berjalan berdampingan dan saling mendukung agar diskusi jadi lebih bermakna. Dengan kerja sama dari berbagai pihak, media sosial bisa berkembang menjadi tempat berdiskusi yang lebih sehat dan bukan sekadar tempat untuk adu pendapat.
ADVERTISEMENT