Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.1
Konten dari Pengguna
Dalam Gelap Mencari Mestika: Refleksi Jiwa yang Tersesat Zaman
23 April 2025 15:00 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Nadia Andi Rahmalia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Di balik judulnya yang sederhana, Kehilangan Mestika karya Buya Hamka menyimpan lapisan-lapisan kompleks tentang pencarian diri, kehampaan spiritual, dan perjuangan menjadi manusia seutuhnya. Ini bukan sekadar cerita tentang anak muda yang terombang-ambing arus zaman, tapi kisah tentang kehilangan arah di tengah kebisingan dunia yang tampak beradab, namun kosong makna.
ADVERTISEMENT
Tokoh utamanya, Miskin, hidup di antara dua dunia: dunia adat dan dunia baru. Ia cerdas, berpikiran maju, dan punya keinginan untuk mengubah nasib. Tapi dalam proses itu, ia justru kehilangan sesuatu yang paling penting: mestika—yang dalam novel ini bukan hanya berarti permata, tapi simbol dari nilai, pegangan hidup, dan jati diri. Dalam kata Hamka sendiri: "Yang hilang itu bukan barang, tetapi pegangan."
Miskin adalah cermin dari manusia eksistensialis. Seperti kata Sartre, manusia lahir tanpa esensi, dan baru akan menjadi sesuatu ketika ia memilih jalannya sendiri. Tapi pilihan itu tidak pernah mudah. Dalam salah satu bagian novel, Miskin merenung, “Aku tahu arah mana yang baik, tapi aku selalu melangkah ke yang sebaliknya.” Kalimat ini menunjukkan pertarungan batin yang terus menerus: antara akal dan nafsu, idealisme dan kenyataan.
ADVERTISEMENT
Hamka tidak menyalahkan dunia modern, tapi mengingatkan bahwa modernisasi tanpa fondasi moral hanya akan membawa kehampaan. Miskin yang dulu semangat menimba ilmu dan ingin berbuat untuk bangsa, perlahan terjebak dalam gaya hidup yang menggilas prinsip. Ia menikmati kebebasan, tapi merasa hampa. Ia punya kuasa memilih, tapi kehilangan makna dari pilihan-pilihannya.
Inilah titik di mana Kierkegaard masuk: bahwa manusia sejatinya hidup dalam “kegelisahan”—anxiety—karena ia sadar dirinya bebas, tapi tidak tahu harus ke mana arah kebebasan itu. Kehilangan Mestika menggambarkan itu dengan lembut tapi mengiris: Miskin tidak miskin karena tak punya uang, tapi karena tak tahu lagi untuk apa ia hidup.
Dalam satu bagian novel, ia berkata, “Apakah gunanya gelar dan hormat jika hati seperti tanah gersang?” Pertanyaan ini menjadi pusat dari novel Hamka—bahwa kemajuan lahiriah tanpa kekayaan batin hanyalah kemewahan semu. Dan mestika yang hilang itu tak lain adalah nilai-nilai ketulusan, iman, dan arah hidup yang kokoh.
ADVERTISEMENT
Hamka sebagai ulama sekaligus sastrawan paham betul bahwa zaman akan terus berubah. Tapi ia percaya, ada hal-hal yang tak boleh lepas dari manusia: kejujuran, tanggung jawab, dan kesadaran akan Tuhan. Dalam novel ini, Hamka seperti menulis surat panjang kepada anak muda: berhati-hatilah dengan gemerlap dunia, karena bisa saja justru di sanalah kamu kehilangan dirimu sendiri.
Yang menarik, Hamka tidak menggambarkan Miskin sebagai tokoh jahat. Ia manusia biasa. Ia jatuh, tersesat, lalu menyesal. Tapi justru di titik rendah itulah ia sadar bahwa hidup harus dijalani dengan kesadaran, bukan sekadar ikut arus. Seperti kutipan ini: “Baru ketika semuanya pergi, aku tahu mana yang benar-benar berarti.”
Kehilangan Mestika bukan hanya cerita pribadi Miskin, tapi potret kegelisahan banyak anak muda hari ini: pintar, terbuka pada dunia, tapi kehilangan pegangan. Dan seperti Miskin, banyak dari kita pun kadang lupa, bahwa yang paling berharga bukan apa yang kita kejar, tapi apa yang selama ini ada di hati, namun kita abaikan.
ADVERTISEMENT
Melalui novel ini, Hamka mengajak pembaca untuk menoleh ke dalam. Bukan untuk menolak zaman, tapi agar kita tidak kehilangan mestika saat sibuk mengejar dunia. Karena seperti kata Hamka di halaman-halaman akhir novelnya, “Orang yang kehilangan mestika bukanlah orang yang tak bisa kaya, tapi orang yang tak tahu lagi makna hidupnya.”