Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Kisah Mestika dan Mimpi Perempuan yang Tak Selesai
28 April 2025 9:07 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Nadiya Rahma tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Fatimah Hasan Delais lewat Kehilangan Mestika menghadirkan sebuah narasi yang getir namun membebaskan. Ini bukan hanya cerita tentang seorang gadis, tapi tentang pergulatan perempuan yang berusaha melampaui batasan sosial di tengah kungkungan adat dan perubahan zaman.
ADVERTISEMENT
Mestika adalah potret perempuan muda yang lahir dalam dunia yang ketat dengan norma, namun hatinya penuh keinginan untuk bebas. Dalam satu bagian novel, Fatimah menggambarkan pergolakan batin Mestika:
Lewat kutipan ini, jelas bahwa Kehilangan Mestika bukan sekadar kritik atas patriarki, tapi juga sebuah pencarian jati diri yang terluka. Menggunakan pendekatan teori habitus Pierre Bourdieu, kita melihat bagaimana Mestika terjebak dalam sistem nilai yang membentuk tindak-tanduknya, bahkan saat ia sendiri berusaha memberontak.
Struktur sosial dalam novel ini menghadirkan dominasi simbolik yang kuat. Adat dan kehendak keluarga adalah kekuasaan yang tak kasat mata. Mestika, dalam keterasingannya, menyadari bahwa cinta dan pendidikan bukan jalan yang bebas tanpa konsekuensi. Ia berkata:
ADVERTISEMENT
Fatimah menulis dengan ketelitian seorang sosiolog sekaligus kepekaan seorang penyair. Melalui Mestika, ia mempertanyakan peran perempuan dalam masyarakat yang lebih banyak menuntut daripada mendukung. Dalam konteks teori strukturasi Anthony Giddens, Mestika adalah agen yang mencoba melakukan perubahan di tengah struktur sosial yang kaku.
Salah satu ironi terbesar dalam Kehilangan Mestika adalah bagaimana pendidikan, yang seharusnya membebaskan, justru menjadi alat domestikasi baru. Mestika mendapatkan pendidikan modern, namun tetap dinilai dengan standar lama: siapa yang layak, siapa yang tunduk. Ini selaras dengan kritik Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed, bahwa pendidikan tanpa kesadaran kritis justru melanggengkan penindasan.
ADVERTISEMENT
Kehilangan dalam novel ini tidak sekadar kehilangan fisik, tapi kehilangan ruang untuk bermimpi. Seperti diungkapkan dalam narasi menyayat:
Kehilangan Mestika memperlihatkan bahwa krisis identitas perempuan bukan sekadar isu individu, melainkan problem struktural. Mestika berjuang di antara harapan dan kenyataan yang mencederai. Ia ingin mencintai, ingin menjadi dirinya sendiri, namun dunia sekitar menuntutnya tunduk pada garis-garis lama.
Dalam sosiologi sastra Lucien Goldmann, karya seperti Kehilangan Mestika menjadi cermin dari kesadaran kolektif sebuah kelompok yang terpinggirkan. Fatimah Hasan Delais menangkap suara perempuan Melayu yang terjepit di antara perubahan zaman kolonial dan adat lokal. Ia tidak menghakimi, tapi mengungkapkan realitas getir dengan lirih dan tajam.
ADVERTISEMENT
Apa yang membuat novel ini tetap relevan hari ini adalah kenyataan bahwa pergulatan perempuan untuk menentukan nasibnya belum sepenuhnya selesai. Dalam dunia modern yang serba terbuka, tetap ada batas-batas sosial, keluarga, bahkan budaya yang mengunci pilihan perempuan. Seperti Mestika, banyak perempuan hari ini yang masih bertanya-tanya: "Di manakah tempatku berdiri, kalau semua jalan sudah lebih dulu dipagari?"
Kehilangan Mestika adalah kisah tentang harapan yang tertahan, tentang mimpi yang belum sempat mekar, tentang keberanian untuk bertanya di tengah dunia yang lebih suka memberi perintah. Dan barangkali, seperti Mestika, kita semua sedang mencari ruang untuk bermimpi tanpa batas, di dunia yang diam-diam masih memilih siapa yang boleh bermimpi.