Konten dari Pengguna

Mengupas Konflik Sosial dalam Novel Siti Nurbaya Antara Tradisi dan Cinta

Nadia Andi Rahmalia
Halo, saya seorang Mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Dari jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, fakultas ilmu tarbiyah dan keguruan.
3 Oktober 2024 9:05 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nadia Andi Rahmalia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Cover buku novel "Siti Nurbaya"
zoom-in-whitePerbesar
Cover buku novel "Siti Nurbaya"
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Identitas Novel:
Judul: Siti Nurbaya: Kasih Tak Sampai
ADVERTISEMENT
Penulis: Marah Rusli
Penerbit: Balai Pustaka
Tahun Terbit: 1922
Genre: Roman
Tema Utama: Konflik sosial, adat, dan cinta
Latar: Minangkabau, Hindia Belanda
Novel Siti Nurbaya: Kasih Tak Sampai karya Marah Rusli adalah salah satu karya sastra klasik yang sangat berpengaruh dalam perkembangan sastra Indonesia. Diterbitkan pertama kali pada tahun 1922 oleh Balai Pustaka, novel ini menyajikan potret konflik sosial yang tajam antara adat dan cinta dalam masyarakat Minangkabau di masa kolonial. Di dalamnya, kita dapat menemukan kritik sosial yang cerdas terhadap struktur adat yang membatasi kebebasan individu, terutama perempuan, serta pengaruh penjajahan yang memperburuk ketidakadilan dalam kehidupan sosial.
Novel ini bercerita tentang Siti Nurbaya, seorang perempuan muda yang terpaksa menikah dengan Datuk Meringgih, seorang pria kaya namun kejam, demi menyelamatkan keluarganya dari utang. Padahal, Siti Nurbaya memiliki cinta sejati dengan Samsulbahri, seorang pemuda cerdas dan berpendidikan. Konflik utama yang dihadapi oleh Siti Nurbaya bukan sekadar konflik personal antara keinginan hati dan kewajiban keluarga, melainkan cerminan dari pergulatan yang lebih besar antara tradisi adat yang mengikat dan perubahan sosial yang diinginkan generasi muda.
ADVERTISEMENT
Marah Rusli dengan cermat menggambarkan benturan antara adat yang kuat di Minangkabau dan perubahan sosial yang diperkenalkan oleh kaum muda terpelajar seperti Samsulbahri. Di dalam masyarakat yang masih kaku dengan nilai-nilai adat, perjodohan yang diatur oleh orang tua, terutama yang melibatkan kekayaan dan status sosial, menjadi kewajiban yang tidak bisa ditolak. Inilah dilema yang dihadapi oleh Siti Nurbaya, yang pada akhirnya harus menuruti keinginan ayahnya untuk menikahi Datuk Meringgih, meski hatinya sudah terikat pada Samsulbahri.
Kisah ini dengan jelas mengilustrasikan bagaimana adat yang terlalu menekan justru menghancurkan kebahagiaan individu. “Adat yang teguh, tiada tertumbuk oleh batu, tiada lapuk oleh hujan,” begitu bunyi salah satu kutipan dari novel ini yang memperlihatkan betapa kuatnya pengaruh adat dalam kehidupan masyarakat saat itu. Namun, kekuatan adat tersebut sering kali melupakan aspek kemanusiaan dan kebebasan individu, terutama dalam hal cinta dan pernikahan.
ADVERTISEMENT
Siti Nurbaya, sebagai tokoh utama, adalah simbol dari kaum perempuan yang terjebak dalam kungkungan adat. Ia tidak memiliki kebebasan untuk memilih pasangannya sendiri. Cinta sejatinya dengan Samsulbahri tidak mendapatkan restu karena kekuasaan adat yang menuntut kepatuhan kepada orang tua dan sistem perjodohan. Pilihan yang diberikan padanya sangat terbatas: menikahi Datuk Meringgih atau melihat keluarganya hancur karena utang. Dalam hal ini, Siti Nurbaya adalah korban dari sistem sosial yang menomorduakan perasaan pribadi.
Di sisi lain, Samsulbahri sebagai wakil dari kaum muda terpelajar juga mengalami tekanan sosial yang kuat. Meskipun ia berpendidikan dan memiliki pandangan modern, ia tidak dapat melawan adat secara langsung. Kepergiannya ke Batavia untuk melanjutkan pendidikan merupakan bentuk pelarian dari keterikatannya dengan tradisi, tetapi hal tersebut tidak cukup untuk mengubah keadaan Siti Nurbaya. Marah Rusli dengan halus menampilkan bahwa pendidikan dan modernisasi tidak serta-merta mampu mengatasi kekuatan adat yang sudah mengakar.
ADVERTISEMENT
Melalui karakter Datuk Meringgih, Marah Rusli memperlihatkan wajah lain dari kekuasaan adat, yaitu bagaimana adat bisa diperalat oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan dan kekayaan. Datuk Meringgih adalah representasi dari kaum tua yang memanfaatkan adat untuk mempertahankan status quo. Meskipun ia kaya raya, karakter ini dipenuhi dengan keserakahan dan kekejaman. Baginya, pernikahan dengan Siti Nurbaya bukanlah soal cinta, tetapi soal mempertegas kekuasaannya di mata masyarakat. “Siti Nurbaya harus menjadi milikku, karena dengan itu aku akan mendapat kehormatan lebih,” adalah salah satu kutipan yang mencerminkan motif tersembunyi dari karakter ini.
Konflik cinta dan adat dalam Siti Nurbaya bukan hanya sebatas masalah perjodohan. Novel ini juga mengangkat isu-isu sosial lain, seperti ketidakadilan gender dan eksploitasi ekonomi. Perempuan dalam masyarakat adat digambarkan sebagai pihak yang paling dirugikan, karena mereka dijadikan alat untuk mencapai tujuan keluarga, seperti menutupi utang atau menjaga martabat keluarga. Pada saat yang sama, peran laki-laki, terutama yang memiliki kekayaan seperti Datuk Meringgih, adalah sebagai penguasa yang bisa menentukan nasib perempuan dengan mudah.
ADVERTISEMENT
Marah Rusli juga berhasil menggambarkan bagaimana penjajahan Belanda memperparah situasi sosial di Indonesia pada saat itu. Melalui tokoh-tokoh seperti Datuk Meringgih, terlihat bahwa elite pribumi yang bekerja sama dengan kolonial justru memperburuk ketidakadilan di tengah masyarakat. Mereka menggunakan pengaruhnya untuk menindas kaum miskin dan mempertahankan sistem sosial yang tidak adil. Datuk Meringgih, sebagai seorang pengusaha yang memanfaatkan situasi ekonomi pada masa itu, menjadi simbol dari penguasa lokal yang korup dan bersekongkol dengan penjajah.
Pada akhirnya, tragedi yang menimpa Siti Nurbaya dan Samsulbahri menggambarkan kegagalan masyarakat dalam menghadapi perubahan sosial. Keduanya, meskipun mewakili generasi muda yang ingin lepas dari belenggu tradisi, terjebak dalam sistem yang tidak bisa mereka lawan sepenuhnya. Kematian Siti Nurbaya menjadi simbol dari kehancuran impian cinta yang tidak bisa diwujudkan karena tekanan adat dan kekuasaan yang tidak manusiawi.
ADVERTISEMENT
Meskipun demikian, novel ini tetap menyimpan harapan. Melalui penderitaan Siti Nurbaya dan Samsulbahri, Marah Rusli seakan-akan mengajukan pertanyaan kepada pembacanya: Apakah adat yang kaku ini harus terus dipertahankan, ataukah masyarakat harus mulai membuka diri terhadap perubahan dan kebebasan individu? Di balik ceritanya yang tragis, Siti Nurbaya mengajak pembacanya untuk merenungkan pentingnya keseimbangan antara tradisi dan cinta, serta bagaimana reformasi sosial dapat membawa kebahagiaan yang lebih sejati bagi generasi mendatang.
Sebagai penutup, Siti Nurbaya tetap relevan hingga hari ini karena mengajarkan kita tentang bahaya sistem sosial yang menindas kebebasan individu. Novel ini juga menjadi cermin bagi masyarakat modern untuk terus berjuang mewujudkan keadilan sosial, terutama dalam hal kebebasan memilih pasangan dan menentukan jalan hidup sesuai hati nurani, tanpa terbelenggu oleh adat atau tradisi yang tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman.
ADVERTISEMENT