Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.1
Konten dari Pengguna
Midah, Perempuan yang Tak Mau Tunduk: Cinta, Tubuh, dan Gigi Emas
23 April 2025 15:24 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Nadia Andi Rahmalia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Di tengah masyarakat yang sibuk menetapkan batas bagi perempuan—bagaimana ia harus bicara, berjalan, bahkan mencintai—Pramoedya memperkenalkan Midah, perempuan berwajah manis, berbakat menari, dan bergigi emas. Tapi bukan itu yang membuatnya istimewa. Midah istimewa karena ia menolak menjadi korban. Ia menolak menjadi tokoh pembantu dalam hidup laki-laki. Ia hidup, bertahan, dan memilih jalannya sendiri—meski penuh luka.
ADVERTISEMENT
Midah, Si Manis Bergigi Emas bukan sekadar cerita tentang perempuan yang “jatuh” ke dalam dunia tari dan hidup malam. Ia adalah potret perempuan yang ditolak oleh keluarganya sendiri karena memilih kebebasan. Ia ingin menjadi penari seperti ibunya, tapi sang ayah, seorang santri keras, menganggap itu sebagai dosa. Sejak kecil, Midah sudah merasakan pahitnya menjadi perempuan dalam keluarga yang mengagungkan kehormatan laki-laki. “Sejak kecil aku tahu, kehormatan bagi perempuan itu bukan dari apa yang ia pikirkan atau lakukan, tapi dari apa yang dipikirkan orang lain tentang tubuhnya,” begitu kira-kira perasaan Midah yang tersirat dalam narasi.
Dalam pandangan feminis Simone de Beauvoir, perempuan sering dijadikan “yang lain”—objek dari pandangan laki-laki. Midah merasakan itu sejak kecil. Bahkan ketika ia mencintai, ia tetap dilihat sebagai objek yang bisa “dimiliki” atau “dijaga”, bukan sebagai manusia yang bebas memilih. Tapi Midah tidak pasrah. Ia menari, mencintai, menikah, diceraikan, jatuh miskin, dan tetap melangkah. Tubuhnya adalah sejarah, dan ia menuliskannya sendiri.
ADVERTISEMENT
Pramoedya tidak menggambarkan Midah sebagai tokoh ideal atau tanpa cela. Ia penuh luka, rapuh, dan kadang ragu. Tapi justru di situ letak kekuatannya. Ia perempuan yang nyata. Dalam novel, Midah berkata dengan tenang, “Orang bilang aku perempuan jalang. Tapi lebih baik menjadi jalang yang jujur daripada istri yang dipuja tapi hidup dalam kebohongan.” Kalimat ini adalah pukulan keras pada standar ganda moral dalam masyarakat kita.
Dalam pendekatan Helene Cixous, perempuan harus bisa “menulis tubuhnya”—mengklaim pengalaman, luka, dan keinginan dari sudut pandang sendiri. Midah melakukan itu dalam setiap langkahnya. Ia tidak membiarkan dirinya dikisahkan, tapi menjadi pengisah atas hidupnya sendiri. Dan mungkin inilah kenapa Pramoedya memberi judul yang provokatif: gigi emas bukan hanya lambang keindahan atau sensualitas, tapi juga lambang luka dan keberanian untuk terlihat berbeda.
ADVERTISEMENT
Midah juga merepresentasikan perempuan kelas bawah yang tak punya kemewahan untuk bersuara lewat pendidikan atau jabatan. Tapi ia bersuara lewat tubuhnya, lewat tari, dan keberanian memilih cinta di luar pernikahan formal. Ia menikahi lelaki yang jauh lebih tua, lalu ditinggalkan, tapi tidak mengemis atau menyesali nasib. Ia terus hidup. “Aku tidak mau dikasihani,” katanya. “Aku hanya ingin hidup tanpa berbohong pada diriku sendiri.”
Melalui Midah, Pramoedya menunjukkan bahwa perempuan bukan makhluk yang perlu diselamatkan. Ia hanya perlu ruang untuk menentukan nasibnya. Dan kalaupun jalan yang ia pilih dianggap “kotor” oleh masyarakat, itu bukan karena ia kotor, tapi karena masyarakat hanya menerima perempuan dalam cetakan yang sempit.
Novel ini menohok karena menampilkan realitas sosial yang masih kita temui hari ini: perempuan yang dihakimi karena pakaiannya, pilihannya, bahkan karena senyumnya. Midah tidak sempurna, dan justru karena itu ia mewakili banyak perempuan di luar sana yang hidup dalam ruang-ruang gelap, tapi tetap menyimpan cahaya dalam dirinya sendiri.
ADVERTISEMENT
Di akhir novel, kita tak mendapat akhir bahagia yang pasti. Tapi itu justru penting. Karena hidup perempuan seperti Midah memang tak diberi karpet merah. Tapi ia tetap melangkah, dengan kepala tegak, dan gigi emas yang menyala seperti perlawanan kecil—tapi nyata.
---