Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.97.1
Konten dari Pengguna
Mela dan si Putih (Bagian 1)
12 Februari 2023 18:32 WIB
·
waktu baca 9 menitTulisan dari Nadia Safitri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![Koleksi pribadi](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01gs2kyfjbhhb1h0fqbrxft4yr.jpg)
ADVERTISEMENT
Siang hari yang cerah menyinari langit Ahad desa Sukamulya. Mela hendak pergi berbelanja dengan ibunya. Pada hari itu sedang diadakan pasar kaget sedari sabtu malam hingga ahad sore. Pasar kaget ini menjual banyak alat rumah tangga, baju, jajanan, dan mainan anak-anak dengan harga yang murah.
ADVERTISEMENT
Hari Ahad itu siang amat terasa panas, seolah kita diingatkan bahwa sebentar lagi musim kemarau. Langit begitu tersenyum saat menunjukkan pukul 12 lewat sedikit. Rasa lapar dan haus tentu sudah dirasakan keduanya, Mela dan ibu.
Ketika melewati kerumunan pedagang dan pembeli yang tak juga menyepi walau sudah siang. Mela terus menoleh ke kiri dan ke kanan sambil memikirkan kiranya makanan atau minuman apa yang dapat menggugah seleranya.
Tak disangka, di tengah keramaian itu, terlihat kucing putih kecil dengan tubuh lemas sambil berusaha bersuara dengan kepayahan. Ia seperti mencoba untuk mengambil perhatian beberapa orang di sana dengan suaranya yang lemah agar mereka mau memberinya makan. Sekilas sosok putih itu amat sangat lapar dan haus.
ADVERTISEMENT
Melihat hal tersebut, Mela merasa tak nyaman. Rasa iba seolah lebih menguasai konsentrasinya dalam melirik jajanan di siang itu. Awalnya ia mencoba untuk tidak menghiraukan sosok putih kecil itu, karena Mela tau bahwa ia akan segera pergi kembali ke asrama setelah libur semester ganjil ini usai. Tentu tak mungkin baginya untuk mengadopsi kucing maupun ikan sekalipun.
Namun, seolah itu menentang nalurinya. Selesai membeli lauk dari warteg di ujung jalan, Mela menceritakan sosok putih kecil yang sekilas ia lihat tadi kepada ibu. Berharap sang ibu akan ikut terenyuh dan mau kembali ke tempat ia melihat si putih.
Namun usaha itu agaknya kurang maksimal, mungkin rangkaian kata-katanya kurang menyentuh. Bukan karena si ibu tidak suka kucing, bukan. Tapi yang menjadi pertimbangan sang ibu adalah Mela yang tak lama lagi akan kembali ke pesantren di luar kota dan dirinya yang harus bekerja dari pagi sampai sore.
ADVERTISEMENT
Tentu akan merepotkan jika mereka harus memelihara hewan kucing tanpa ada orang di rumah. Siapa yang akan mengurus kucing itu nanti? dan lain sebagainya. Tapi, Mela tak gentar, ia terus membujuk ibunya yang ia kenal memiliki sifat gampang terenyuh juga seperti dirinya. Ia yakin pasti bujuk rayunya akan berhasil.
“Coba kita balik mampir sebentar ke sana waktu pulang. Kasihan, Bu, dia perlu ditolong, badannya keliatan kurus. Nanti kita rawat aja sampe sembuh, sampe kuat. Terus kita lepasin lagi sekitar rumah atau kita balikin lagi ketempat awal kita ambil dia.”
"Tapi, Mela... Tetap gak bisa," Ibu berusaha tetap menjelaskan.
"Boleh ya, Buuu.. kita liat aja dulu dia sebentar," bujuk Mela setengah memaksa
ADVERTISEMENT
“Huff... yaudah, nanti kita balik mampir bentar sambil beli sayur” dengan nada seolah kalah dari bujuk rayu putrinya itu, si ibu menyetujui permohonan anak putrinya.
Motor mereka pun melaju ke arah yang berlawanan dari arah warteg, yaitu arah pulang ke rumah, yang juga searah dengan tempat si putih lemah.
Mata Mela seolah tak berkedip, ia berusaha mengimbangi kejelian mencari sosok putih tadi dengan kecepatan sepeda motor yang dikemudikan ibunya. Memang sedari awal motor mereka tidak melaju begitu cepat karena harus berhati-hati melewati jalan yang berubah menjadi pasar dadakan itu. Namun motor tetaplah mesin yang kecepatan rendahnya saja bisa mengimbangi kecepatan manusia ketika berlari kecil.
Pandangan Mela berhasil menangkap sosok putih tadi yang sudah pergi agak jauh dari posisi awal ia melihatnya. Dia pun meminta ibunya untuk menepi.
ADVERTISEMENT
Langkah kaki dan mata awasnya sudah siap menyeberangi jalan tersebut. Si putih berada disisi jalan yang berlawanan arah. Mela harus tetap berhati-hati karena walau sedang ramai oleh pembeli dan pejalan kaki, jalan tersebut tetaplah jalan yang masih dilalui kendaraan bermotor.
Setelah sampai ke tepi jalan seberang, di tempat lapak ikan asin yang dibentang agak tinggi dari jalan. Di situlah sosok putih itu, mencoba mengeong agar penjual ikan asin itu tau keberadaannya. Hidungnya berusaha ia enduskan sedekat mungkin ke tanah, berharap ada secuil ikan asin atau serangga di tanah yang bisa dimakannya. Karena ulahnya itu, hidungnya menjadi kotor.
Segera setelah menyeberang, Mela menggendong tubuh kucing kecil putih tersebut. Tubuhnya kurus, bahkan amat kurus. Tubuh yang seolah hanya terdiri dari tulang dan bulu lepek. Sebagian mata dan hidungnya dipenuhi kerak dan kotoran. Sepertinya usianya masih sekitar tiga bulan. Usia yang tak mudah bagi kucing sebatang kara untuk hidup liar di jalanan.
ADVERTISEMENT
Bulunya sayu. Warna putih yang harusnya bagai salju itu seolah akan menjadi hitam jika ia terus hidup di jalanan. Sepasang mata sayu lemas milik si putih itu terus melihat ke arah wajah Mela ketika ia berada di gendongannya. Si putih tak melawan sedikitpun ketika digendong. Entah karena tak punya tenaga atau memang ia paham bahwa ia sedang ditolong.
Pengalaman bertahun-tahun mengurus banyak kucing, mulai dari yang sehat sampai yang sakit sudah dimiliki Mela. Mela memang seorang cat lover, yaitu sebutan untuk para pecinta kucing. Ia sering membawa dryfood kucing dalam tasnya ke manapun ia pergi. Berkenalan dan menyapa kucing diseluruh penjuru kota yang dilaluinya seolah menjadi hal yang membuatnya puas dan bahagia.
ADVERTISEMENT
Sambil menuangkan dryfood dari botol khusus, sambil pula ia bercakap-cakap dengan kucing liar yang dijumpainya. Pertanyaan-petanyaan receh.
"Halooo.., kamu laper ya? Sini makan sini, meng, ckckck..."
"Kamu anak sini ya? Pasti kamu kucing garong penguasa sini, kan? Ahahaha udah berapa warteg yang kamu jarah?"
"Hei bapak, kenapa sombong begitu? Cepat makan dryfood ini! Ooh gitu, sombong ya, besok kalo ketemu lagi gak aku kasih lagi ya."
"Hei, mama cat! anakmu banyak ya."
Dari semua perkataannya kepada para kucing, ada yang menjawab “meoong” seolah menimpali ocehan Mela, ada juga yang tidak menjawab dan hanya sibuk makan sambil mendengar ocehan sepihak Mela, bahkan ada juga yang sangat ramah sampai naik ke pangkuan Mela.
ADVERTISEMENT
Kebanyakan kucing yang dijumpainya di jalan adalah kucing yang ramah. Tapi ada juga yang berusaha lari ketika didekati dan bersembunyi di kolong mobil atau berusaha menunggu dan mengamati dryfood dituangkan dari kejauhan.
"Mungkin dia malu", pikir Mela.
Setelah menggendong si putih kecil, Mela membawanya menyeberangi jalan dengan hati-hati. Setelah sampai di tepi tempat motor di parkirkan, Mela baru ingat bahwa hari itu ia tidak membawa dryfood untuk kucing.
Ia pun berpikir, “Apa yang bisa aku kasih ke kamu ya, meng?”
Mela pun teringat tadi ibu membeli dua potong ikan tongkol sambal balado dari warteg di ujung jalan. Setelah meminta izin kepada ibu untuk mencuil sedikit ikan tongkol itu, ia pun memberinya kepada si putih.
ADVERTISEMENT
“Cuci tangan dulu pake hand sanitaizer. Terus, abis dicuil ikannya, cuci dulu dikit itu tongkolnya dari sambel, nanti takut dia sakit kalo makan cabe, kan pedes.” Apakah kucing juga bisa sakit maag jika makan yang pedas-pedas?
Akhirnya diambillah segelas air mineral kemasan yang ada di tasnya Mela yang merupakan bekalnya mengelilingi pasar di siang yang terik itu. Ia colokkan sedotan transparan kecil agar air dalam gelas kemasan itu keluar. Air mengalir melalui sedotan transparan menyirami sepotong ikan tongkol yang berada di tangan kiri Mela, sedang tangan kanan nya menuangkan gelas mineral dengan hemat agar tidak mubazir.
Tak disangka, setibanya di tanah, air mineral yang mengalir dari cucian ikan itu segera dijilat dan diminum oleh si putih. Nampaknya panas dan teriknya siang itu telah membuatnya lapar lagi kehausan. Si putih tak menghiraukan kotornya tanah yang dialiri air yang hanya seadanya itu, ia berusaha menjilat airnya dengan cepat agar cepat pula rasa hausnya hilang.
ADVERTISEMENT
Dengan alas sebuah daun yang sudah gugur dari pohon di tepi jalan, Mela meletakkan sepotong ikan tongkol itu ke atasnya dan mengarahkan si putih agar bisa mengendus dan memakannya.
Namun, tampaknya si putih agak kesulitan karena kotoran menghalangi sedikit indera penciumannya. Tapi kucing tetaplah kucing, naluri dan dorongan laparnya sepertinya lebih kuat. Aroma tongkol berhasil masuk menembus hidung mungilnya.
Si putih makan dengan cepat sambil bersuara kecil, suara khas kucing liar yang sangat kelaparan. Suara yang sepertinya digunakan untuk menakut-nakuti saingan agar tidak mengambil makanannya.
Hitungan detik sepotong ikan tongkol itu kini sudah dalam perutnya. Karena belum kenyang, si putih pun dengan memelas meminta lagi, kali ini sepertinya si putih sudah lebih kuat untuk mengeong lebih keras, berharap akan ada potongan-potongan tongkol selanjutnya.
ADVERTISEMENT
Mela dengan hati iba kembali mencuil sepotong tongkol yang masih dalam plastik dengan potongan yang lebih besar. Kali ini ia sudah siap dengan konsekuensi bahwa jatah lauk makan siangnya harus berbagi dengan si putih. Tapi tak masalah baginya, karena manusia sudah biasa makan sampai kenyang, sedangkan bagi kucing liar itu adalah hal yang jarang.
Seolah kembali memutar waktu, kejadian yang sama terulang, si putih lagi-lagi makan dengan cepat dan semangat, sampai-sampai tulang lunak dari potongan tongkol yang tak disadari Mela sempat menyangkut sebentar, setelah berusaha menelannya si putih pun lanjut makan potongan tongkol itu sampai habis.
Setelah agak kenyang, si putih berjalan mendekati Mela dan menggesekkan badannya ke kaki Mela. Kucing tetaplah kucing. Naluri memelasnya tetap dijadikan senjata. Seolah mereka tau bahwa bangsa mereka memiliki keimutan yang tak kuasa ditahan oleh bangsa manusia.
ADVERTISEMENT
Sadar bahwa tubuh si putih ini sangat kotor, Mela pun menghindar dan merendahkan badannya sambil jongkok di tanah. Tangannya meraih kepala kucing kecil itu dan mengelusnya sampai terdengar suara dengkuran dari si putih.
Hati Mela tak siap jika harus pulang ke rumah dan meninggalkan si putih di sana. Tubuhnya yang kurus dan kotor serta sebagian wajah nya yang ditutupi kerak tentu akan sulit baginya mendapatkan makanan, karena orang-orang yang tidak suka kucing pasti akan merasa jijik padanya.
Modal utama bagi kucing jalanan ketika mengais makanan dari manusia yaitu keimutan dan kelucuan. Tapi nampaknya kali ini hal tersebut sedang tertutupi dari si putih yang lemas dan kotor ini.
Setelah berdiskusi dan memohon kepada ibunya, Mela pun mendapat izin untuk membawa si putih pulang dan menjadikannya sebagai hewan peliharaan dengan beberapa syarat yang mengikat tentunya.
ADVERTISEMENT
"Masalah telah selesai, yes, akhirnya kucing ini boleh ikut pulang," Mela bersorak senang dalam hatinya.
Namun, masalah baru pun muncul. Dengan apa Mela akan membawa pulang kucing ini mengendarai motor? Apakah cukup dipegang dengan kedua tangan saja? Tapi sepertinya itu akan berbahaya kalau-kalau si putih memberontak dan melompat dari motor.
Mela mencoba melirik ke arah berbagai lapak pedagang di sekitarnya berharap ia akan menemukan sebuah kotak kardus menganggur yang cukup untuk mengangkut si putih. Sayang, tak satupun kotak kardus dari pedagang didapatkannya.
Akhirnya, ia pun mencoba meminta sebuah kantong plastik besar berwarna merah dari seorang ibu penjual sayur segar. Walaupun agak kotor karena bekas sayuran, tapi tak mengapa asalkan plastik itu belum rusak dan masih layak untuk mengangkut si putih.
ADVERTISEMENT
Si putih pun dimasukkan ke dalam plastik merah. Mela tidak mengikat plastik itu. Ia justru menjulurkan kepala si putih dari plastik agar si putih tak panik dan tak kehabisan napas. Motor pun melaju menuju rumah Mela, yang sebentar lagi akan menjadi rumah si Putih juga.
Bersambung...