Konten dari Pengguna

Mampukah Indonesia Menyusul China & Taiwan dalam Mengembangkan PLTS?

Nadia Taradissa Maheswari
Chemical Engineering Student in Diponegoro University
26 Februari 2022 18:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nadia Taradissa Maheswari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pembangkit Listrik Tenaga Surya (Sumber : Shutterstock)
zoom-in-whitePerbesar
Pembangkit Listrik Tenaga Surya (Sumber : Shutterstock)
ADVERTISEMENT
Perubahan iklim dan kenaikan temperatur bumi telah meningkatkan kesadaran negara-negara di dunia akan pentingnya transisi energi. Begitu pula dengan Indonesia. Indonesia sebagai salah satu negara dengan populasi terbanyak di dunia mulai serius untuk mengambil langkah dalam pengembangan energi terbarukan yang berkelanjutan dengan memperhatikan aspek lingkungan.
ADVERTISEMENT
Terdapat tiga dimensi inti dalam menyeimbangkan sistem energi berkelanjutan. Pertama adalah energy security atau keamanan energi yang mampu menyediakan energi untuk memenuhi permintaan saat ini dan masa depan. Kedua adalah energy equity atau pemerataan energi yang menjamin aksesibilitas dan keterjangkauan suplai energi. Dan yang terakhir adalah environmental sustainability atau ketahanan lingkungan.
Saat ini dunia seakan saling berlomba-lomba untuk menyediakan energi bersih dan ramah lingkungan. Negara yang mampu menekan emisi karbon yang dihasilkan akan dipandang sebagai negara yang berhasil dalam menyediakan energi bersih.
China dan Taiwan sangat gencar dalam mengembangkan energi terbarukan yang bersih dan mampu menurunkan tingkat emisi karbon. Selain memajukan energi terbarukan, China juga mendorong pengembangan energi fosil yang bersih dan ramah lingkungan. Tingginya ambisi yang dimiliki oleh kedua negara tersebut patut kita contoh sebagai upaya mendukung transisi energi.
ADVERTISEMENT
Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) merupakan salah satu pembangkit listrik berbasis energi terbarukan yang potensial untuk dikembangkan. Melihat besarnya potensi yang dimiliki oleh PLTS membuat China dan Taiwan tertarik untuk mengembangkannya. Hal ini telah terbukti, karena saat ini kedua negara tersebutlah yang menguasai produksi solar panel photovoltaic (PV) global.
Global PV Production (Sumber : Tangkapan Layar dalam Zoom Meeting Gerilya)
Selain menjadi produsen PV terbesar, China juga merupakan negara yang melakukan instalasi solar panel terbesar. Tingkat konsumsi rata-rata tenaga surya fotovoltaiknya mencapai hampir 98%. Kapasitas produksi PV modul China pada tahun 2021 diperkirakan mencapai 400 GW/tahun. Dan pada tahun 2019, pemanfaatan energi surya di China telah mencapai 224 TWh. Angka yang sangat besar apabila dibandingkan dengan Indonesia yang pemanfaatannya hanya kurang dari 0,01 TWh.
Bauran Energi pada 2019 (Sumber : Tangkapan Layar dalam Zoom Meeting Gerilya)
Pada tahun 2021 terdapat 18 PLTS yang sedang dibangun di China dengan kapasitas total sekitar 3 Giga Watt (GW). Selain itu, terdapat sekitar 282 PLTS yang sedang dalam perizinan untuk dibangun dengan total kapasitas 34,3 Giga Watt (GW). China juga menargetkan untuk mampu menambahkan sekitar 75 hingga 90 Giga Watt (GW) pembangkit listrik tenaga surya pada tahun 2022.
ADVERTISEMENT
Kurva Pengembangan Industri Panel Surya (Sumber : Thesis Iqbal Ramli, Analisis Pengukuran Smiling Curves poda Pengembangan Industri Panel Surya di Indonesio, TSE FTUI 2021https://www.mdpi.com/2076-3417/8/10/1900/htm)
Berkembangnya PLTS di China ini ditunjukkan dengan terbentuknya smiling curve pada kurva hubungan antara value adding effect dan industry chain. Di dalam kurva tersebut terdapat beberapa poin. Pertama adalah research and development. Riset merupakan hal yang fundamental dalam pengembangan produk dan memiliki nilai tambah yang paling tinggi. Poin berikutnya adalah component manufacturing, component integration, selling, dan after service. China mampu membentuk lengkungan yang apik dalam kurva pengembangan pembangkit listrik tenaga surya karena keunggulannya di bidang teknologi dan ilmu pengetahuan.
Dibandingkan dengan China, posisi negara kita saat ini lebih condong ke kurva sebelah kanan. Dapat dilihat pada garis merah yang terdapat pada kurva. Indonesia saat ini mulai mengembangkan pembangkit listrik tenaga surya. Belum banyak upaya pengembangan di bidang riset. Tetapi Indonesia sudah mulai memproduksi pembangkit listrik tenaga surya. Upaya pengembangan ini dilakukan untuk akselerasi transisi energi dan mengejar target bauran energi baru terbarukan (EBT) pada tahun 2025, yaitu sebesar 23% dan pada tahun 2030 sebesar 31%.
ADVERTISEMENT
Dari diagram tersebut dapat disimpulkan bahwa saat ini China dan Taiwan menguasai pasar PV secara global. Jika dilihat dari potensinya, padahal Indonesia sendiri memiliki potensi cahaya matahari yang jauh lebih besar dibandingkan dengan kedua negara tersebut.
Perencanaan energi dan peningkatan riset perlu diupayakan secara serius agar dapat menjamin ketersediaan energi jangka panjang dan dapat dijangkau oleh setiap kalangan. Selain itu, aspek penyediaannya harus dilaksanakan berdasarkan pada nilai-nilai yang berkeadilan, berkelanjutan, rasional, optimal, dan terpadu.
Walaupun potensi energi surya yang dimiliki oleh Indonesia cukup besar, namun total pemanfaatannya masih hanya sebesar 153,5 Mega Watt peak (MWp) atau hanya sekitar 0,07% dari total potensi yang dimiliki Indonesia. Energi matahari baru bisa menyumbang 1,7% dari total produksi listrik pada tahun 2019.
ADVERTISEMENT
Selain itu, iklim investasi di sektor energi terbarukan masih terbilang cukup rendah jika dibandingkan dengan negara lain. Padahal faktor ekonomi juga berperan besar dalam pengembangan EBT. Untuk kedepannya, diharapkan mata rantai ekonomi berbasis energi terbarukan dapat mulai terbentuk dengan terbentuknya perusahaan jasa atau bahkan investor lokal yang bergerak di pembangunan panel surya.
Lantas pertanyaannya adalah, apakah Indonesia mampu untuk mengejar China dan Taiwan dalam mengembangkan PLTS? Jawabannya adalah mampu. Indonesia memiliki potensi yang melimpah dan sumber daya manusia yang tidak kalah unggulnya dengan negara-negara lain. Akan tetapi memang diperlukan kolaborasi dari semua pihak guna mendukung gerakan transisi energi ini. Indonesia harus mulai bertransformasi dari pola pertumbuhan yang bergantung pada produk jadi menjadi pola pertumbuhan yang berbasis produktivitas tinggi serta inovasi.
ADVERTISEMENT