Konten dari Pengguna

Melindungi Hak Anak Ditengah Badai Perceraian Menurut Kacamata Hukum Indonesia

Nadiah Rahadatul Asiah
Mahasiswi Hukum Keluarga, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
12 Mei 2024 9:36 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nadiah Rahadatul Asiah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pernikahan merupakan anugerah dari Tuhan, membina rumah tangga dengan orang terkasih sampai akhir hayat ialah hal yang diimpikan semua orang. Namun nyatanya setelah menikah tidak semua rumah tangga dapat bertahan dan berakhir dengan perceraian.
image by freepik
zoom-in-whitePerbesar
image by freepik
Di Indonesia, angka perceraian terus meningkat. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2020, terdapat 207.263 kasus perceraian, dan meningkat dengan pesat menjadi 447.743 kasus perceraian di tahun 2022. Hal ini menunjukkan bahwa perceraian telah menjadi fenomena yang cukup memprihatinkan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Peristiwa ini tak hanya berdampak pada pasangan suami istri, tetapi juga pada anak-anak yang menjadi korban. Saat perceraian tak jarang membawa dampak signifikan bagi anak-anak. Di tengah pergolakan emosi dan kompleksitas proses hukum sehingga memberikan dampak negatif perceraian, seperti : stres, kecemasan, depresi, dan penurunan performa akademik pada anak.
Sebagai kerangka hukum yang mengatur hak anak dalam perceraian di Indonesia tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan, diantaranya:
• Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 33 ayat (1) dan (2) yang menjamin hak anak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan dilindungi dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi.
• Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang mengatur tentang hak dan kewajiban orang tua dalam melindungi anak, termasuk dalam proses perceraian.
ADVERTISEMENT
• Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 50 yang mengatur tentang hak anak dalam perceraian, termasuk hak untuk mendapatkan nafkah, حضانة (pengasuhan), dan pemeliharaan.
• Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2010 tentang Perkawinan dan Perceraian: Mengatur tata cara perkawinan dan perceraian, termasuk hak-hak anak dalam proses perceraian.
Selain itu juga terdapat peran pengadilan agama dalam melindungi hak anak. dalam menangani perkara perceraian yang melibatkan anak, pengadilan agama memiliki peran dalam memastikan terpenuhinya hak-hak anak. yakni melalui:
a) Perlindungan anak dalam Mediasi: Hakim berupaya mendamaikan kedua pihak dan mencari solusi terbaik bagi anak, dengan mempertimbangkan kepentingan terbaik anak.
b) Perlindungan Anak Meski Tidak Diminta : Hal tersebut diatur dalam pasal 156 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam. Hakim pada saat memeriksa perkara perceraian, jika ada anak yang rentan akan jadi korban perceraian orang tuanya, dipersoalkan ataupun tidak dipersoalkan mengenai nafkah anak.
ADVERTISEMENT
c) Penunjukan Wali Adhal : Jika mediasi gagal, hakim menunjuk wali adhal untuk mewakili kepentingan anak dalam persidangan.
d) Penetapan Hak Asuh, Nafkah Anak, dan Hak Kunjungan: Hakim menetapkan hak asuh, nafkah anak, dan hak kunjungan orang tua yang tidak mendapatkan hak asuh, dengan mempertimbangkan berbagai faktor, seperti usia anak, kemampuan orang tua, dan kemaslahatan anak.
e) Bekerjasama dengan Lembaga Terkait: Mewujudkan Perlindungan Maksimal Pengadilan Agama juga dapat bekerjasama dengan berbagai lembaga terkait, seperti lembaga perlindungan anak, psikolog, dan dinas sosial, untuk memastikan perlindungan maksimal bagi anak selama proses perceraian.
Perceraian memang tak terelakkan bagi sebagian pasangan. Namun, di tengah prosesnya, hak-hak anak harus tetap menjadi prioritas utama. Dengan memahami landasan hukum, peran Pengadilan Agama, dan menerapkan langkah-langkah yang tepat, orang tua dapat meminimalisir dampak negatif perceraian pada anak dan memastikan masa depan mereka terlindungi.
ADVERTISEMENT