Deterjen Ramah Lingkungan: Solusi Mengatasi Limbah Busa

Nadia Juliani
Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prodi Kesehatan Masyarakat
Konten dari Pengguna
24 November 2020 9:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nadia Juliani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ilustrasi pencemaran air akibat limbah busa yang ada di kawasan Ciputat Timur, Tangerang Selatan. Foto by Nadia Juliani
Pencemaran air akibat limbah busa masih menjadi topik yang sering dibicarakan. Pada Mei 2017 lalu, publik sempat diramaikan oleh video yang memperlihatkan adanya benda yang mirip seperti salju di sepanjang jalan kawasan Sudirman, Jakarta Pusat. Tetapi faktanya, BMKG menjelaskan bahwa benda putih tersebut bukanlah salju, melainkan limbah busa di sungai yang meluap ke jalan. Hal ini diakibatkan karena penggunaan deterjen oleh rumah tangga maupun industri, yang mengalami proses degradasi (penguraian) yang lambat sehingga dapat menimbulkan busa di atas permukaan air dengan frekuensi yang semakin bertambah.
ADVERTISEMENT
Penggunaan deterjen memang tidak bisa lepas dari kehidupan manusia. Seiring dengan bertambahnya populasi manusia, maka akan semakin bertambah pula jumlah deterjen yang digunakan setiap tahunnya. Namun sangat disayangkan, manusia khususnya masyarakat Indonesia masih banyak yang belum memiliki kesadaran akan dampak dari penggunaan deterjen secara berlebihan.
Di kalangan masyarakat Indonesia sendiri, penjualan merek deterjen yang tidak ramah lingkungan masih ramai dibeli karena alasan harga yang lebih murah dan daya bersih yang lebih bagus. Namun, penggunaan deterjen jenis keras (mengandung ABS) seperti yang dijual dipasaran, secara terus menerus dapat mengakibatkan pencemaran air. Selain itu, perairan yang sudah tercemar limbah detergen tersebut dapat membahayakan kehidupan biota air dan manusia yang mengkonsumsi biota tersebut.
ADVERTISEMENT
Nah, mau sampai kapan kita membahayakan lingkungan dan diri kita sendiri?
Sebenarnya, di Indonesia sendiri sudah banyak generasi muda yang berlomba-lomba menciptakan terobosan baru untuk dapat menyelesaikan permasalahan deterjen yang tidak ramah lingkungan. Seperti formula deterjen yang diklaim ramah lingkungan, yang ditemukan oleh sekelompok mahasiswa Fakultas Teknik UI. Formula deterjen yang mereka temukan ini berbahan dasar minyak kelapa sawit dan hasilnya dinyatakan mampu mengangkat kotoran pada pakaian.
Selanjutnya ada juga deterjen yang terbuat dari bahan alami yaitu dari buah lerak. Seperti yang dikatakan oleh Iman Budiman dan teman-temannya dalam Jurnal Universitas Padjadjaran mengatakan bahwa buah lerak ini memiliki kandungan saponin sebanyak 28% yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengganti sabun. Selain itu hasil penelitiannya juga membuktikan bahwa tablet dari buah lerak yang mereka buat dapat digunakan sebagai deterjen dan dapat memberikan hasil yang sama seperti deterjen sintetik yang dijual di pasaran.
ADVERTISEMENT
Deterjen dari buah lerak ini juga sejak lama sudah digunakan untuk mencuci batik agar kain tidak mudah luntur. Cairan rebusan dari lerak ini juga dapat menghasilkan busa yang banyak serta tidak toksik seperti yang disampaikan oleh Atika Rahmadina dan teman-temannya dalam Jurnal Material Kedokteran Gigi. Selain itu, cairan deterjen lerak ini juga tidak berbau sehingga aman bagi pengguna yang mempunyai alergi terhadap kandungan zat pewangi tertentu.
Untuk membuat deterjen alami berbahan dasar buah lerak ini juga dapat kita lakukan sendiri di rumah. langkah awal yaitu dengan menyiapkan buah leraknya terlebih dahulu, biasanya ¾ kg dapat menghasilkan 6 liter deterjen lerak siap pakai. Selanjutnya, pisahkan 7-10 buah lerak dari kulitnya dan campurkan buah lerak tadi dengan air kemudian rebus selama 10 menit hingga mengeluarkan minyak. Kemudian tahap terakhir, saring air rebusan buah lerak tadi dan deterjen lerak siap untuk digunakan.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya selain dengan menggunakan bahan alami seperti buah lerak, deterjen nonbiodegradable juga dapat diganti menggunakan deterjen homemade. Deterjen ini hanya terbuat dari 2 bahan utama yaitu sabun alami yang dibuat dari minyak kelapa dan ditambah dengan washing soda (Na2CO3). Walaupun washing soda ini merupakan bahan kimia, tetapi kita tidak perlu khawatir akan dampaknya untuk lingkungan.
Dilansir dari zerowaste.id bahan-bahan sabun homemade ini tidak berbahaya untuk kulit kita dan lingkungan, karena kedua bahannya merupakan bahan alami non-toxic. Tetapi dalam proses pembuatan deterjen ini kita wajib menggunakan sarung tangan untuk menghindari iritasi kulit akibat terkena bubuk washing soda (Na2CO3). Deterjen ini juga tidak mengandung zat fosfat sehingga benar-benar tidak beracun dan aman bagi bakteri septik. Kemudian, untuk tingkat daya cucinya, deterjen ini juga tidak kalah dengan deterjen-deterjen sebelumnya.
Deterjen homemade dari bahan washing soda. Foto by Nadia Juliani
Nah, untuk membuat deterjen homemade ini kita hanya harus menyiapkan dua bahan utama yaitu 1 gelas washing soda dan 1 sabun batang alami dari minyak kelapa. Langkah pertama, kita parut sabun batang alami tadi menggunakan parutan. Kemudian langkah kedua, kita campurkan 1 gelas washing soda, 1 sabun batang alami yang sudah diparut, 1 sendok makan cuka dan 5-10 tetes essential oil. Selanjutnya, aduk semua bahan dalam beberapa menit dan deterjen homemade siap untuk digunakan.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan uraian di atas, kita bisa mengetahui bahwa ada banyak jenis deterjen ramah lingkungan yang bisa kita gunakan. Deterjen alami yang kita gunakan tentunya akan membuat kandungan surfaktan dalam air akan lebih mudah terurai, sehingga tidak berakibat buruk bagi lingkungan. Nah, jadi menurut saya sudah tidak ada alasan lagi untuk kita menolak menggunakan deterjen ramah lingkungan. Selain tingkat daya cucinya yang bagus dan harganya pun murah, dengan menggunakan deterjen ini kita juga bisa mengurangi jumlah sampah kemasan deterjen tersebut.
Jadi tunggu apa lagi? yuk mulai beralih ke deterjen ramah lingkungan.
Nadia Juliani, mahasiswa Prodi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Kesehatan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.