Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
76 Tahun Lahirnya Pancasila: Bagaimana Kabar Ekonomi Indonesia?
1 Juni 2021 9:12 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Nadifa Salsabila Nizar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Setiap tahun kita memperingati hari lahir Pancasila. Jika dihitung-hitung, tahun ini tepat berusia 76 tahun sejak Presiden pertama, Ir. Soekarno, berpidato menyampaikan gagasan dasar negara yang diberi nama Pancasila.
ADVERTISEMENT
Sebagai dasar negara, tentu apa-apa yang bangsa ini lakukan harus berdasarkan nilai-nilai Pancasila, bukan? Termasuk dalam menjalankan roda perekonomian. Istilah Ekonomi Pancasila memang baru muncul tahun 1967 dalam artikel yang ditulis oleh Dr. Emil Salim, tetapi gagasan utamanya tetap bersumber dari para founding father kita.
Mereka berkeyakinan bahwa Pancasila dapat membebaskan rakyat Indonesia dari belenggu kemiskinan, perihnya kelaparan, dalamnya jurang kesenjangan dan korupsi yang merugikan. Benarkah demikian?
PR-nya Masih Banyak
Badan Pusat Statistik mencatat persentase penduduk miskin pada September 2020 meningkat 0,41 persen dari Maret 2020 menjadi sebesar 10,19 persen dan meningkat 0,97 persen dari September 2019. Dari sisi jumlah penduduk miskin juga mengalami peningkatan.
September 2020, jumlah penduduk miskin mencapai 27,55 juta orang, meningkat 1,13 juta orang dari Maret 2020 dan meningkat 2,76 juta orang dari September 2019. Indeks gini juga menunjukkan peningkatan yakni sebesar 0,380 persen di September 2019, 0,381 di bulan Maret 2020, dan 0,385 di September 2020.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, korupsi. Dian Patria, Plt Dirlitbang KPK, dalam salah satu wawancaranya menyampaikan bahwa terdapat tiga permasalahan utama dalam pemberantasan korupsi. Pertama, bersatunya manusia-manusia serakah. Kedua, ketidakhadiran dan lemahnya pemerintah, dan ketiga adalah masyarakat yang membiarkan. Korupsi yang terjadi bahkan kala pandemi ini apakah karena faktor pertama, kedua, atau ketiga? Entah. Silakan dijawab sendiri-sendiri. Jika kita tilik Indeks Persepsi Korupsi hasil survei Transparency International, di tahun 2020 Indonesia memperoleh skor 37. Ketua Dewan Pengurus Transparency International Indonesia, Natalia Soebagjo, menyatakan bahwa ketika skor suatu negara itu mendekati 100, maka semakin bersih negara tersebut. Kita tidak bisa mengelak bahwa Indonesia masih tergolong negara korup. Ditambah polemik di dalam tubuh KPK yang rasa-rasanya semakin mendekatkan KPK pada ajalnya.
ADVERTISEMENT
Belum lagi kala pandemi, banyak sektor yang terdampak bahkan sekarang hotel-hotel banyak yang dijual dengan harga murah. Pengangguran pun meningkat. Dirilis dari data BPS menunjukkan pada Agustus 2018, persentase pengangguran berada di angka 5,30% atau 7,07 juta orang. Setahun kemudian, 5,23 persen atau 7,10 juta orang dan di Agustus 2020 mencapai 7,07 persen atau sebesar 9,77 juta orang.
Melihat gambaran di atas kok sepertinya ada yang salah ya dengan ekonomi Indonesia. Jika ekonomi Pancasila benar-benar diterapkan, harusnya membuat rakyatnya sejahtera. Mengapa ini justru kebalikannya? Apakah gagasan Pancasila terlalu “melangit” hingga sulit untuk “membumi”? Lalu, paham ekonomi apa yang dianut selama ini?
Agusalim et al. (2018) menjelaskan bahwa akar dari permasalahan ini adalah paham ekonomi yang dianut selama era reformasi lebih condong kepada paham neoliberalisme dan terjebak dalam narasi kapitalisme. Pemerintah menyerahkan urusan ekonomi kepada pasar. Indonesia menjadi tidak berdaulat karena saking semangatnya meratifikasi berbagai perjanjian internasional yang belum tentu dapat menyelesaikan persoalan dasar di Indonesia. Selain itu, tidak berjalannya good governance semakin memperburuk perekonomian Indonesia.
ADVERTISEMENT
Ruh Pancasila dalam Ekonomi Indonesia
Kalau saja kita mau manut, manfaat praktik Ekonomi Pancasila akan kita rasakan betul. Pancasila memiliki ruh yang berazaskan ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Lengkap sekali, kan? Holistik. Semua nilai masuk di dalamnya.
Di sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa, menunjukkan hadirnya spiritual dalam melakukan kegiatan ekonomi. Manusia diajarkan untuk rendah hati dan menyadari bahwa dirinya bukanlah siapa-siapa dan tak bisa apa-apa tanpa pertolongan Tuhan. Ekonomi yang berlandaskan ketuhanan akan memunculkan rasa tanggung jawab kepada Tuhannya. Apabila kepada Tuhannya ia bertanggung jawab, maka jangan dipertanyakan bagaimana tanggung jawabnya pada manusia dan lingkungan.
Di sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, kita dituntun dalam melakukan kegiatan ekonomi tidak hanya mencari materi atau keuntungan tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama dan memanusiakan manusia dengan mengedepankan nilai kekeluargaan dan gotong-royong. Dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 1 sudah jelas disebutkan bahwa perekonomian Indonesia disusun berdasarkan atas asas kekeluargaan dan di ayat 3 juga disebutkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat.
ADVERTISEMENT
Sila ketiga, Persatuan Indonesia. Ekonomi yang memuaskan segelintir pemilik modal saja akan menimbulkan kesenjangan sosial dan berpotensi menimbulkan perpecahan. Semangat ber-Bhineka Tunggal Ika mengajarkan bahwa kegiatan ekonomi bukan untuk kepentingan pribadi atau satu golongan saja.
Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi. Setiap keputusan dan kebijakan harus dilakukan dengan musyawarah dan melibatkan rakyat hingga mencapai kata mufakat.
Terakhir, sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Ini merupakan tujuan dari kegiatan ekonomi itu sendiri yaitu terwujudnya keadilan sosial dan keadilan ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kelima sila tersebut menjadi tuntunan bagaimana harusnya seorang pelaku ekonomi menjalankan kegiatan ekonomi. Tidak dilakukan secara serampangan atau membuat kebijakan baru sesuai keinginan.
ADVERTISEMENT
Penutup: Bukan Sekadar Memperingati
Hari Lahir Pancasila harus benar-benar terinternalisasi, dipahami dan diamalkan dalam tindakan nyata, khususnya dalam menjalankan kegiatan ekonomi Indonesia. Melihat wajah ekonomi Indonesia hari ini membuka mata, pikiran, dan hati serta harus diakui meski pahit bahwa ekonomi Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Bukan untuk memberi rasa pesimis, justru menjadi pelecut untuk terus berubah ke arah yang lebih baik. ¬“Tidak ada istirahat setelah ini”.
Hari Lahir Pancasila tidak hanya menjadi momen untuk mengenang dan menghormati bapak pendiri bangsa yang telah merumuskan Pancasila. Bukan hanya untuk dibaca, didengar, dan dibuat poster lalu dijadikan status Instagram dan WA. Tidak berhenti di pidato kenegaraan dan peringatan upacara apalagi hanya menikmati tanggal merahnya saja.
ADVERTISEMENT
Referensi:
Agusalim, L., Karim, M., & Saefuddin, A. (2018). Rekonstruksi Ekonomi Pancasila Sebagai Perwujudan Keberlanjutan Pembangunan Nasional. Jurnal Kesejahteraan Sosial, 1(01), 39–53. https://doi.org/10.31326/jks.v1i01.138
https://ekonomikerakyatan.ugm.ac.id/publikasi/ekonomi-pancasila-dalam-tinjauan-filsafat-ilmu