Bocah yang Tak Punya Cita-Cita

Nadifa Salsabila Nizar
Finance-Accounting RS Ortopedi Siaga Utama
Konten dari Pengguna
21 Agustus 2021 11:53 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nadifa Salsabila Nizar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi: Pixabay.com.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: Pixabay.com.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ketika saya masih TK sering ditanya “Kalau gede nanti mau jadi apa?” Dengan cepat dan percaya diri, saya menjawab, “Dokter!” Ada gurat kebahagiaan dan optimis pada muka si penanya, seolah menunjukkan bahwa masa depan bocah cilik di depannya akan cerah. Cita-cita itu ternyata terbawa sampai SMA. Sial, saya malah masuk IPS gara-gara nilai Fisika yang jelek. Mana bisa anak IPS masuk kedokteran? Yang anak IPA aja belum tentu lolos. Entah kesambet apa saya saat itu, saya nekat daftar IPC di SBMPTN. Dari tiga jatah jurusan dan kampus tujuan yang diberikan, saya isi pilihan pertama dan kedua Kedokteran baru pilihan ketiga Akuntansi. Yang terakhir realistis. Nyali saya belum sekuat itu ternyata untuk mengisi ketiga-tiganya Kedokteran. Singkat cerita, saya diterima di pilihan ketiga. Lalu, cita-cita saya untuk jadi dokter? Ya ngga jadi, lah.
ADVERTISEMENT
Bicara soal cita-cita, saya teringat dengan tulisan Ibu Erin Cipta yang berjudul “Bocah yang Bercita-Cita Menjadi Kucing” yang dimuat di kolom Detik edisi 31 Juli 2021. Bu Erin terkekeh saat mendengar jawaban anaknya yang bercita-cita ingin jadi kucing. Ditambah gurunya hanya memperbolehkan memiliki cita-cita yang sudah ada dan lazim terdengar, repot mak!. Membaca cerita beliau, saya mbatin, “Bila memiliki cita-cita ingin menjadi kucing sudah dianggap aneh dan salah, bagaimana jika si anak hanya mengangkat bahu, menggeleng kepala sambil berkata, nggak tahu?”
***
PPKM yang diberlakukan di Jawa dan Bali kembali diperpanjang. Terbukti, rakyat adalah penebak jitu. “Paling ya diperpanjang lagi” Hehe. Belum kelar mereka sambat karena PPKM sebelumnya, kini mereka semakin gulung koming. Menangis di dalam tawa dan tertawa mau menangisi apa. Tapi ternyata masih ada yang memiliki tawa lepas dan ikhlas.
ADVERTISEMENT
Di samping rumah saya ada blumbang atau kolam besar yang –katanya-berisi ikan. Setiap hari pasti ada bocah-bocah yang mancing. Padahal kalau dilihat dari lantai dua rumah saya, blumbang ini seperti tidak berpenghuni, hanya berisikan air butek dan tumbuhan liar yang menutupi permukaan. Namun, ini tidak mengurangi sedikit pun kebahagiaan mereka. Bermodal pancingan kayu dan senar seadanya, mereka bersemangat mengayunkan kail ke tengah blumbang. Mulut mereka tidak berhenti berkomentar, tidak kalah dengan Valentino “Jebret”. Tanpa beralaskan sandal alias nyeker, jari-jari dekil mereka kokoh mencengkeram tanah sambil memasang kuda-kuda. Sesekali mereka berlari kecil mengelilingi blumbang untuk melihat posisi ikan atau mengecek kekuatan ayunan. Gelak tawa mereka menjadi backsound sehari-hari saya.
Cah kok dolanan terus. Sok dadi opo jal?” Pikir saya. Haha. Picik sekali. Mereka belum sampai untuk berpikir nanti gimana, besok gimana, yang mereka tahu adalah hari ini ya hari ini. Tugas sekolah dikerjakan, selesai dikumpulkan, lalu pergi mancing bersama teman, dan pulang dengan hati yang riang. Besok ada tugas lagi, ya dikerjakan lagi, dikumpulkan lagi, dan main lagi.
ADVERTISEMENT
***
Melihat mereka dari balik jendela kamar, membuat saya berpikir, apa mungkin ini yang juga dirasakan mereka yang “hanya” bercita-cita, “Sing penting iso mangan”. Mereka yang sampai hari ini masih harus berjuang di jalanan. Maksud saya, mereka para pejuang nafkah yang tidak mengenal apa itu kerja dari rumah. Nilai guna barang yang mereka miliki hanya berdasarkan tempat. Gerobak akan berguna jika digunakan untuk berjualan atau sepeda akan berguna jika digunakan untuk mengantar pesanan.
Mereka tidak mendapat kemewahan bekerja dari rumah. Isi presensi pagi hari, kirim tugas, dan jangan lupa presensi di sore hari. Atau kemewahan menulis depan laptop, mengirim ke media, jika keberuntungan sedang berpihak padanya, tulisannya dimuat dan honor diterima.
ADVERTISEMENT
Cita-cita mereka tidak muluk, sama seperti bocah-bocah tadi. Apa yang hari ini bisa dikerjakan, kerjakan. Besok gimana ya itu urusan besok. Hari ini ada uang yang dibawa pulang. Cukup tidak cukup, dicukup-cukupkan. Kalau tidak cukup? Ya cari utangan. Remuk, nda! Mereka juga tidak banyak angan. Hanya ingin punya tabungan, tapi seringnya katut untuk makan. Investasi? Tidak sampai pikiran mereka ke sana, bisa menanak nasi sudah luar biasa.
Pandemi kian hari kian menguji. Siapa yang bertahan dengan cita-citanya dan siapa yang menyerah dengan mimpi-mimpinya. Belum tahu bercita-cita apa bukan sebuah kesalahan selama tidak gagal memahami tujuan kehidupan. Karena cita-cita tidak terbatas hanya tentang menjadi apa. Jadi, kalau ada bocah yang juga belum punya cita-cita, tentu juga tidak ada salahnya, bukan?
ADVERTISEMENT