Konten dari Pengguna

Laki-Laki yang Mencintai Sepak Bola

Nadifa Salsabila Nizar
Karyawan swasta - Penulis lepas
6 Oktober 2024 10:49 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nadifa Salsabila Nizar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Novel "Bek" karya Mahfud Ikhwan
zoom-in-whitePerbesar
Novel "Bek" karya Mahfud Ikhwan
ADVERTISEMENT
Kenapa ya laki-laki itu suka sekali dengan sepak bola? Pertanyaan itu muncul saat melihat teman laki-lakiku bisa main sepak bola hampir setiap hari. Baik itu latihan biasa, fun game, atau turnamen baik skala kampung sampai nasional. Memang tidak semua laki-laki menyukai sepak bola, seperti kawanku yang lebih suka voli dan bulutangkis, tapi hampir sebagian besar penyuka sepak bola didominasi oleh mereka. Kalau pun ada dari kaum hawa, jumlahnya masih kalah dengan laki-laki.
ADVERTISEMENT
Apa karena pemain sepak bola semuanya laki-laki jadi mereka saling terhubung? Can relate kalau kata anak sekarang. Apa karena sudah dari sananya? Apakah sekadar suka saja? Apakah ikut-ikutan? Lalu, jika mereka suka karena dorongan dalam diri mereka sendiri, pertanyaannya -lebih tepatnya pertanyaanku- apa menariknya dari suatu pertandingan sepak bola? Itu hanyalah sebuah pertandingan sebelas orang pemain dengan 1 bola yang diperebutkan selama kurang lebih 90 menit.
Hampir semua nama pemain-pemainnya hafal di luar kepala, apalagi yang tergabung dalam tim kesayangannya. Mulai dari kiper, striker, gelandang, bek, hingga pelatih mereka hafal. Siapa yang sedang di puncak klasemen dan siapa yang terdegradasi mereka juga tahu.
Mereka juga rela begadang untuk mendukung tim kesayangannya padahal hanya dari layar kaca. Teriakan mereka tidak terdengar sampai ke telinga para pemain, mereka tidak saling kenal. Jika tim jagoannya menang, masih mending, setidaknya berjaganya mereka semalaman terbayar dengan kemenangan tim jagoan mereka, lalu bagaimana jika timnya kalah? Kalau kalahnya sekali dua kali masih oke, tapi ini justru kebalikannya, tim jagoannya hanya menang satu-dua kali. Oh, mereka tidak peduli meski timnya kalah bahkan dijadikan bahan guyonan, meme sindirian, mereka akan tetap bertahan dan punya banyak alasan pembelaan. Kalau soal kesetiaan pada sepak bola, perlu berguru pada tokoh Mou, pelatih Romajaya, dalam bukunya Mas Puthut EA Cinta Bisa Menipis dan Rasa Sayang Bisa Habis.
ADVERTISEMENT
Bagaimanapun kondisinya, laki-laki ini tetap mencintai sepak bola. Aku kira itu semacam hukum alam, laki-laki menyukai sepak bola layaknya perempuan menyukai boneka. Aku kira mereka menyukai sepak bola karena teman-temannya. Aku kira mereka menyukai sepak bola semata-mata ya karena mereka adalah seorang laki-laki hingga saya bertemu dengan “Bek” yang ditulis dengan hangat oleh Makhfud Ikhwan.
Bek
Sekilas saya menerawang isi buku ini hanya akan tentang sepak bola, khususya menceritakan seorang Bek, sesuai judul bukunya. Betul soal bola tapi isinya lebih banyak mengolah perasaan daripada kebugaran yang capeknya sampai ke hati tidak hanya jasmani.
"Aku adalah seorang bek". Begitu bangga ia menjuluki dirinya sendiri. Berawal dari kesukaan Isnan, tokoh utamanya, terhadap sepak bola, karena ayahnya juga penggemar sepak bola. Saat itu belum ada televisi, Ayah Isnan mengikuti info terkini tentang sepak bola melalui radio tua miliknya, yang kalau antenanya bergeser sedikit saja, salurannya akan hilang dan hanya menyisakan suara kemresek.
ADVERTISEMENT
Ia tumbuh dengan dan bersama sepak bola sejak SD hingga ia dewasa, di tengah kondisi keluarganya yang tidak baik-baik saja. Bapak, Ibu, dan Kakaknya pergi merantau ke Malaysia dengan alasan yang sama, “Demi kamu dan kedua adikmu.”
Ia melarikan kekecewaannya, kesedihan, kekhawatirannya ke dalam sepak bola. Skill bermain sepak bolanya beradu dengan skill menjalani kehidupannya. Ia adalah seorang bek yang bukan hanya bermain di lapangan tetapi juga menjadi bek dalam keluarganya. Menjadi bek di lapangan berarti membantu kiper untuk menjaga gawang, menghalau setiap pemain yang berusaha mendekati gawang dan harus selalu waspada bagaimanapun keadaan lapangan. Ketika ujian mendera keluarganya, Isnan “Bek” harus tetap tenang-paling tidak terlihat tenang. Memastikan gawang rumahnya aman dari serangan yang tak jarang datang dengan tiba-tiba.
ADVERTISEMENT
Isnan begitu mencintai sepak bola. Sepak bola baginya seperti orang tua yang menemaninya saat orang tuanya pergi merantau dan seperti kakaknya yang seolah menjaganya. “Sepak bola adalah bapak bagiku ketika bapakku yang berdarah-berdaging pergi dari rumah pada saat usiaku belum enam tahun. sepak bola adalah orang tua yang menjaga dan merawatku ketika orang tuaku yang sebenarnya terlalu jauh untuk bisa melakukannya”
Itu adalah Isnan, tokoh fiksi yang mencintai sepak bola dengan alasannya mengapa tetap mencintai sepak bola meski banyak yang menentangnya,
“Sepak bola tidak dibawa mati, Is”
Kalau Isnan bisa menjawab,
“Ya memang benar, sepak bola tidak dibawa mati. Tapi, kemana kalian saat aku mati-matian bertahan?”
Barangkali ada yang seperti Isnan, menjadi bek betulan dalam hidupnya. Membantu kiper menjaga agar gawang rumahnya tidak kebobolan. Atau barangkali tidak hanya menjadi bek tetapi merangkap menjadi striker, gelandang, juga kiper. Ada banyak laki-laki yang mencintai sepak bola karena sepak bola itu sendiri, mereka mencintai sepak bola karena mereka laki-laki. Tetapi di antara mereka ada yang mencintai sepak bola karena bukan karena permainan sepak bolanya atau karena sama-sama laki-lakinya tetapi karena mereka menemukan dirinya.
ADVERTISEMENT
Mereka tidak hanya mencintai tapi juga dicintai.