Konten dari Pengguna

Manusia Indonesia dalam Kontestasi Pilkada

Nadifa Salsabila Nizar
Karyawan swasta - Penulis lepas
1 Desember 2024 13:00 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nadifa Salsabila Nizar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Koleksi Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Koleksi Pribadi
ADVERTISEMENT
Pilkada baru saja digelar. Hasil hitung cepat mulai keluar. Beberapa paslon bahkan sudah berani mendeklarasikan kemenangannya. Ada yang sesuai prediksi, ada yang di luar ekspektasi. Ada yang mendukung, ada pula yang mempertanyakan. Rasa heran masyarakat bukan tanpa sebab. Sebelum ini, ada yang namanya Debat Publik dimana masing-masing paslon saling berhadapan, saling melontar pertanyaan, jawaban, dan tanggapan. Dari sini, masyarakat bisa melihat kemampuan paslon dalam menyampaikan visi-misinya, pendapatnya, dan menanggapi pertanyaan terkait permasalahan di daerah mereka. Alih-alih dapat menilai secara objektif, masyarakat justru gemas dibuatnya.
ADVERTISEMENT
Debat Publik dimana kita bisa menilai cara mereka berfikir, merekonstruksi ide, berkomunikasi, hingga karakter paslon justru menjadi tontonan yang lucu. Ada benarnya jika masyarakat menyebut Debat hanya sekadar formalitas bahkan saking lucunya bisa dibuat Pilkada Core yang banyak sliweran di FYP Tiktok. Ada yang tidak paham dengan isi pertanyaannya, jawaban yang berbelit-belit, mengandalkan pasangan, tebalnya catatan, enggan bertanya, bahkan sampai ada yang ditunda karena ricuh. Lucunya, mereka memperoleh suara terbanyak.“Kok bisa?” Ya bisa saja.
Ciri Manusia Indonesia Menurut Mochtar Lubis
Dalam bukunya yang berjudul Manusia Indonesia, Mochtar Lubis menyebutkan beberapa ciri manusia Indonesia, beberapa diantaranya adalah hipokritis atau munafik, segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatan, putusan, kelakuan, dan pikirannya, serta feodal.
ADVERTISEMENT
Pertama, munafik, Mochtar Lubis menyebutkan bahwa kita mengutuk korupsi tetapi korupsi makan hari makin besar saja. Kita mengutuk korupsi tetapi pelakunya masih melenggang begitu saja padahal fakta sudah jelas dan terang adanya. Pemainnya nggak kaleng-kaleng. Praktik jual beli jabatan atau komersialisasi jabatan mendorong para pemimpin kita melakukan korupsi, terlebih saat pemilu seperti ini, sudah berapa duit yang keluar untuk “membeli” suara rakyat dan bagaimana mengembalikan “modalnya”, syukur-syukur bisa dapat lebih.
Kedua, tidak bertanggung jawab, karena “Bukan urusan saya”. Berapa banyak dari pemimpin-pemimpin tersebut dengan lapang dan berani tampil untuk mempertanggungjawabkan sesuatu yang ada dalam kekuasaannya. Kebiasaan melempar tanggung jawab dari atasan ke bawahan, bawahan ke bawahannya lagi, bawahan mengembalikan ke atasan dengan alasan “Sesuai perintah atasan” dan begitu terus tiada akhirnya.
ADVERTISEMENT
Ketiga, jiwa feodal. Jiwa feodal masih berkembang dalam masyarakat. Sifat penguasa yang ingin selalu dihormati dan cenderung ingin mempertahankan nilai lama dan dinasti kekuasaannya. Feodalisme dan politik dinasti saling berkaitan. Penguasa ingin melanggengkan kekuasaannya. Setelah ia tidak bisa lagi menjabat, ia akan mengusung keluarganya, kerabatnya, atau orang terdekatnya. Maka, menjadi hal yang biasa kita temui embel-embel , “Anak e Bapak e”, atau “Adhine Bu’e”, “Mbakyune Mas e”, dan nama besar di belakang mereka. Tidakkah cukup mereka menunjukkan kapasitas diri mereka? Pendidikan, pengalaman, capaian-capaian dan sederet kompetensi lainnya. Mencatut nama besar orang lain untuk membesarkan nama mereka juga meski terkesan memaksa.
Ciri Manusia Indonesia Lainnya
Ciri manusia Indonesia lainnya yang dapat kita lihat saat Pilkada ini adalah enggan bertanya, menjawab, atau menanggapi dalam forum yang mengharuskan mereka untuk berbicara. Debat Publik atau debat terbuka menjadi forum umum dan terbuka bagi masyarakat untuk dapat melihat kemampuan paslon dalam mengolah pikir dan ide ke dalam sebuah penjelasan yang runtut dan masuk akal. Membantu voters untuk menentukan pilihannya atau minimal melihat jagoannya berbicara di depan publik. Betul memang bicara saja tanpa ada aksi nyata itu sama saja bohong tapi coba kembali dicermati forum apa yang sedang diikuti. Forum debat tempatnya bicara, ya bicaralah. Jangan dibalik. Diam saat di forum debat tapi banyak debat yang bukan tempatnya pada hal tidak perlu. Penggunaan slogan “Sedikit Bicara, Banyak Bekerja” tidak bisa dipukul rata.
ADVERTISEMENT
Menjadi seorang pemimpin, kemampuan orasi, negosiasi, persuasi, dan skill komunikasi lainnya itu penting. Penggunaan bahasa dan pemilihan kata tidak bisa seenaknya. Bagaimana suatu pesan politik dapat tersampaikan dengan baik jika kemampuan komunikasinya minim. Bagaimana memengaruhi dan membuat percaya pihak lain apabila komunikator tidak bisa menyampaikan pesannya dan audiens tidak menangkap maksud dari isi pesan tersebut. Namun, debat semacam itu, masih sedikit pengaruhnya terhadap masyarakat. Mereka kurang tertarik dengan forum seperti itu, malas mendengarkan, dan hanya ikut-ikutan. Mereka tidak mampu menilai dari isi dan kemampuan paslon dalam berdebat sehingga mereka hanya akan memilih pasangan calon yang disukainya. Ujung-ujungnya siapa yang memberi lebih banyak, disitulah mereka memihak. Ini menjadi salah satu ciri manusia Indonesia lainnya.
ADVERTISEMENT
Manusia Indonesia
Masih dari buku yang sama, Mochtar Lubis menuliskan,
“Siapa itu orang atau manusia Indonesia
Apa dia memang ada?
Di mana dia?
Seperti apa gerangan tampangnya?”
Di samping ciri manusia Indonesia di atas, manusia Indonesia juga masih diakui akan keramahannya, sifat hormat, lembut, baik, royal, tenang, pekerja keras, dan spiritualitas, seperti pepatah Jawa, Sepi ing pamrih rame ing gawe, amemayu ayuning bawana yang berarti bekerja keras tanpa mencari keuntungan diri sendiri, manusia memajukan dunia dan tan lami, lamun mantuk yang artinya tak lama, lekas pulang kepada Tuhan. Dan terakhir, menurut Mochtar Lubis, manusia ideal Indonesia adalah manusia Pancasila.
Dua tipe manusia Indonesia ada di sekitar kita, lalu dimanakah gerangan kita berada? Jawabannya ada di kalian sendiri.
ADVERTISEMENT
Sumber:
1.Lubis, Mochtar. (2023). Manusia Indonesia. Jakarta. Yayasan Pustaka Obor Indonesia
2.Iskandar, Farid. (2020). Analisis Wacana Politik Debat Publik Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Republik Indonesia. Journal of Education, Humaniora and Social Sciences, 3 (1): 31-38.
3.https://undiknas.ac.id/2024/06/dari-feodalisme-ke-dinasti-politik.