Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Orang Tua Sakit dan Ujian Bakti Anak
10 Agustus 2021 21:29 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Nadifa Salsabila Nizar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Beberapa hari terakhir ini Mbah Kung saya sering ngompol.
“Ngompol neh. Bar di pel.”
ADVERTISEMENT
Bulik saya mengirim foto ke grup keluarga. Tampak kamar Mbah Kung yang basah, gombal untuk ngepel, dan Mbah Kung yang duduk di kursi kayu.
Melihat foto tersebut, Paklik-bulik dan pakde-bude saya yang lain ikutan nimbrung. Ada yang melempar pertanyaan, menjanjikan untuk datang esok hari, memberi beberapa alternatif solusi, atau sekadar mengamati, seperti saya ini. Karena kejadian ini terus berulang terutama di malam hari, akhirnya dibentuklah tim piket Jogo Bapak.
Usia Mbah Kung mungkin sekitar 80-an lebih. Badannya kurus, punggungnya ringkih, dan kakinya sudah tidak mampu berjalan sendiri. Bangun dari tidur harus dibantu, ke kamar mandi dibopong, dan makan sudah tidak bisa memegang piringnya sendiri alias harus disuapi. Abi saya yang hari itu dapat giliran jaga, terlihat dari balik pintu sedang menyuapi Mbah Kung. Ada rasa hangat dalam dada saya.
ADVERTISEMENT
Terlihat sangat merepotkan memang. Mau tidur, eh sudah pipis berdiri di ambang pintu. Lagi enak-enaknya makan, terhenti karena harus ngepel. Bau pesingnya hilang bersamaan dengan selera makan. Mesti meninggalkan keluarga bahkan izin kerja. Belum kalau apa-apa ngga bener. Begini salah, begitu salah. Alamak, benar-benar menjengkelkan!
Saya yang posisinya hanya sebagai cucu saja bisa merasakan bagaimana repotnya menghadapi dan mengurus orang tua. Sempat terlintas dalam pikiran saya,
“Kenapa ngga cari orang aja si buat ngurus. Itung-itung kasih pekerjaan ke orang.” atau
“Masukin ke Panti Jompo aja lah. Udah jelas ada yang ngurusin.”
Masuk akal dan bisa dilakukan sebenarnya tapi malaikat sepertinya tidak ingin saya berpikir aneh-aneh terlalu jauh. Pikiran saya dibawa ke masa-masa saya masih piyik sampai kuliah. Lalu berlanjut ke bayangan adik saya yang pernah sakit TB dan bagaimana orang tua saya ke sana-kemari mencarikan tombo, mengingatkan minum obat, menyediakan makanan yang bergizi, hingga berujung pada kesadaran,
ADVERTISEMENT
“Bukankah justru ini saatnya jadi ajang pembuktian bakti anak kepada orang tua? Bukankah justru di situ letak surganya?” Harusnya semakin bersemangat dan jadi rebutan, seperti saat Shopee lagi flash sale besar-besaran.
Sering saya mendengar, menerima, dan mengirimkan doa,
“Semoga jadi anak yang berbakti pada orang tuanya, ya,” dan saya hanya mengaminkan tanpa benar-benar tahu maknanya. Ku kira bakti itu hanya soal nurut saja. Ku kira ujian bakti hanya soal merawat dan menunggu di sisa hidupnya.
Menjaga lisan, menjaga adab, menyelesaikan tanggungan, dan mendamaikan jika masih berselisih, ternyata juga bagian dari bakti. Setidaknya ini yang saya dapatkan sepanjang menjadi “pengamat keluarga”.
Mengompol, buang air besar, makannya berserakan, sering lupa, marah-marah, itu pasti bikin risih dan jengkel.
ADVERTISEMENT
“Ya Allah pak pak ngompol neh?” Sambil membanting gombal ke lantai.
“Iki segone, gek ndang dhahar,” sambil mendorong sendok ke mulut kempotnya
Maka menjaga lisan dan adab menjadi ujian bagi seorang anak. Menjaga agar tidak keluar nada tinggi, kata yang menyindir, atau perlakukan kasar kepada mereka.
Menyelesaikan tanggungan dan mendamaikan, menjadi ujian bakti selanjutnya. Mungkin orang tua kita masih punya tanggungan, entah itu utang, janji, atau yang lainnya. Sebagai anak, bila mampu untuk melunasi, maka lunasi. Dan bila orang tua masih menyimpan dendam atau perselisihan, maka anak bisa menjadi jembatan bagi keduanya. Sama-sama tenang, kan?
***
Terakhir, orang tua hanyalah manusia biasa. Tempatnya lupa dan dosa. Cara mereka merawat dan mendidik kita pun tak sempurna. Ada kalanya mereka meragukan mimpi yang kita bangun tinggi-tinggi. Nggondeli padahal diri ini ingin bebas pergi. Tidak jarang pula membandingkan kita dengan anak tetangga. Dan kini mereka sudah tak lagi kuat seperti sedia kala.
ADVERTISEMENT
Mereka berbuat demikian bukan karena jahat. Tapi, pahit getir kehidupan yang mereka alami amatlah lekat. Bukan juga karena mereka toxic, seperti yang banyak didengungkan hari ini. Tapi mereka tahu bahwa hidup ini berisik. Seorang anak seringnya merasa lebih well educated , maka seharusnya bisa lebih memahami bahwa seperti itu dulu mereka dididik dan hanya itu ilmu yang mereka miliki. Maka, jika masih ada salah, maafkan. Jika masih ada luka, mau kan mengikhlaskan?