Konten dari Pengguna

Perceraian Bukan Alasan Takut pada Pernikahan

Nadifa Salsabila Nizar
Karyawan swasta - Penulis lepas
16 Juli 2023 13:31 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nadifa Salsabila Nizar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi cerai atau perceraian. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi cerai atau perceraian. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Lagi dan lagi. Lini masa media sosial saya dihiasi dengan berita perceraian. Mulai dari yang tidak femes sampai penyanyi, artis tersohor tanah air. Motifnya macam-macam, ada yang karena intervensi mertua, engga cocok, beda visi, KDRT, perselingkuhan, sampai suka dengan lawan jenis.
ADVERTISEMENT
Memang agak-agak tingkah laku manusia akhir zaman. Di keluarga saya juga ada yang bercerai. Jangankan ngerayain anniversary, nanam jagung juga belum tentu sampai panen.
Seringnya terpapar informasi tentang perceraian, ditambah ada dari pihak keluarga yang bercerai juga, jadi agak kepikiran juga, “Ni orang-orang kenapa gampang banget cerai”.
Yang belum nikah seperti saya ini mungkin dianggap can’t relate, “Kamu kan belum nikah, jadi ngga bisa ngerasain.” Ya emang si kita belum nikah, tapi kan kita mengamati sekaligus mempelajari pola kalian yang bercerai.
Ilustrasi cerai atau perceraian. Foto: Shutterstock
Karena bagi sebagian kami yang belum menikah, maraknya perceraian menimbulkan banyak praduga. Ada yang, “Ternyata cerai itu gampang ya.” Atau “Yaudah deh nikah aja dulu, kalau nggak cocok, entar juga bisa cerai.” Atau “gamau ah. Saya tidak nikah aja. daripada nikah tapi ujung-ujungnya cerai juga.”
ADVERTISEMENT
Seolah-olah pernikahan hanya status pembeda antara yang jomblo sama yang nggak. Nggak salah juga dong, kalau kita punya kekhawatiran, bagaimana jika saya nanti, dan what if lainnya. Saya pun juga. Tetapi, mikirin sesuatu yang sifatnya masih kemungkinan itu ternyata bikin capek. Capek hati dan capek pikiran padahal mikirnya sambil rebahan.
Pernikahan belum tentu berakhir perceraian, maka seharusnya perceraian bukan menjadi alasan kita takut pada pernikahan. Ibarat kuliah, ada kemungkinan untuk tidak lulus. Lalu, apa ini menjadikan kita untuk tidak kuliah? Engga kan? Buktinya kampus masih penuh sesak dengan maba tiap tahunnya.
Kakak-kakak kita yang hampir DO saja bisa lulus juga. Nggak sedikit pula yang lulus dengan hasil memuaskan. Jika ingin lulus, maka persiapkan. Ya dengan belajar, ya dengan ngerjain tugas, ya dengan menjalin relasi, dan lainnya. Kerja juga demikian.
Ilustrasi pemutusan hubungan kerja (PHK). Foto: shutterstock
Ada kemungkinan di PHK, diberhentikan, rugi, ditipu, lalu apakah kita memutuskan untuk ngga usah kerja aja? Ngga juga kan. Sama halnya dengan pernikahan. Ada kemungkinan untuk bercerai. Lalu, apa ini menjadikan kita takut dan enggan menikah? Seharusnya tidak. Lalu, bagaimana agar bisa bertahan? Sama, persiapkan.
ADVERTISEMENT
Saya pernah ada di fase gelisah gak karuan karena jodoh nggak kunjung datang. Tapi, setelah dikit-dikit menjalani perenungan, kontemplasi, Saya jadi banyak-banyak bersyukur dan lebih kalem di usia saya yang menginjak 27 tahun.
Saya berbaik sangka bahwa Allah sedang kasih saya waktu lebih untuk mempersiapkan. Setidaknya ada 3 poin yang saya dapatkan dari hasil perenungan (jyah, sok stoic banget ya):

1. Mengetahui hakikat pernikahan, tujuan, dan hukum pernikahan

Menikah itu ibadah. Saya memandang demikian. Ibadah itu berat nggak? Ya kadang berat juga, bagi saya. Ambil contoh salat. Ngaku deh, pasti pernah ngerasain salat itu berat, apalagi subuh. Tapi ya tetep dilakuin. Atau puasa, saya pernah ngerasain puasa itu berat banget, tapi ya Alhamdulillah bisa sampai maghrib.
ADVERTISEMENT
Ini baru ibadah yang ada akhirannya, salat akhirannya salam, puasa akhirannya berbuka. Nikah? Akhirannya Jannah. Challenging ga? Pasti. Targetnya surga kok. Maka, tidak ada bekal utama yang cukup melainkan iman. Tidak ada pertolongan dan penjagaan rumah tangga yang kokoh melainkan dari Allah.

2. Dalam buku Life as Divorcee, salah satu aspek yang dilewatkan oleh penulis adalah pre-marriage talk.

Pre-marriage talk atau obrolan sebelum menikah itu bukan soal konsep resepsi, cateringnya apa, MUA nya siapa, di rumah atau di gedung. Tapi pre-marriage talk itu deep conversation antara kamu dengan calon, seperti prinsip, value, visi misi, pengelolaan keuangan, pengasuhan, dan kawan-kawannya.
Saya sepakat dengan ini. Karena jangan sampai pas sudah nikah, di tengah-tengah, “Kok nggak bilang dari dulu, sih.” Lah, lha wong dulu ngobrolnya cuma sebatas lagi apa, makan di mana.
ADVERTISEMENT

3. Perkuat dengan ilmu

Saya selalu inget dengan nasihatnya ust Felix Siauw, “Ketakutan itu lahir dari ketidaktahuan.” Takut menikah karena ketidaktahuan kita terhadap pernikahan itu sendiri. Karena tidak tahu, maka cari tahu. Belajar dan persiapkan. Sebagai Muslim, pelajari ilmu-ilmu pernikahan yang ada dalam agama kita.
Jangan dulu baca-baca buku luar kalau fiqh nikah belum khatam. Jangan ngaku-ngaku si paling open minded soal pernikahan kalau masih close minded dengan pemikiran agamanya sendiri.
Pernikahan itu untuk mencapai litaskunu ilaiha, ketenangan, kedamaian, dan ketentraman. Maka, jangan bebani diri dengan bayang-bayang perceraian. Saya yakin, tidak ada yang menginginkan perceraian. Tapi, tidak ada yang bisa menjamin juga bahwa hal tersebut tidak akan terjadi dalam kehidupan rumah tangga.
ADVERTISEMENT
Bercerai memang diperbolehkan tapi jangan dinormalisasikan. Rapuhnya sendi-sendi pernikahan tak jarang berujung pada perceraian. Maka, bentengi dengan ilmu dan perkuat pondasi dengan iman.
Kalau kata mbak Happy Asmara, “Pandungaku tekan tuwo nganti sing misahke nyowo”, tapi kalau kataku “Ora mung nganti sing misahke nyowo, nanging nganti tekan suwargo”. Bebarengan yo, Mas.