Konten dari Pengguna

Aku Adalah Bukan Aku

Moh dzaky Amrullah
sedang kuliah di STIBA AR-RAAYAH
1 Juli 2021 12:20 WIB
·
waktu baca 7 menit
clock
Diperbarui 13 Agustus 2021 13:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Moh dzaky Amrullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi kesendirian (dokumentasi pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi kesendirian (dokumentasi pribadi)
ADVERTISEMENT
Di tengah keramaian sekelompok orang yang berbicara tanpa ia pahami, Fahmi melamun tanpa merasa kehadiran orang-orang itu. Ia tetap saja melamun tanpa memperdulikan orang-orang yang berlalu lalang di depannya, sedang mereka sedang terheran dengan tingkah Fahmi yang aneh; bagaimana mungkin ia melamun di tengah keramaian, atau ia sudah bisa menaklukkan dirinya, bisa menyepi dalam keramaian.
ADVERTISEMENT
Lima tahun yang lalu sebelum Fahmi melupakan kata dan tak mengerti bahasa. Fahmi adalah anak yang aktif dalam dunia kepenulisan dan mahir dalam hobinya melukis. Kepiawaiannya dalam dunia melukis dan kemahirannya dalam merangkai kata, membuatnya menjadi incaran sekolah-sekolah yang menawarkan beasiswa.
Ayahnya adalah sosok yang dijadikan panutan warga di kampungnya. Dengan kedudukan itu, Fahmi pun selalu menjadi buah bibir masyarakat. Tak hanya buah bibir, namun dia buah manis yang selalu enak untuk dikunyah.
Sepuluh keluarga sudah datang ke rumah pak Tono, Ayah Fahmi. Pastinya mereka datang dengan niat baik; ingin menjadi besan pak Tono. Bukan karna pak Tono kaya atau karna kedudukannya di masyarakat, sebab kaya dan kedudukan tak menjamin kebahagiaan sepenuhnya. Kebanyakan dari mereka tertarik dengan anaknya, Fahmi. Namun Ayah Fahmi selalu saja menjawab dengan jawaban yang sama “Fahmi harus melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi.”
ADVERTISEMENT
Pak Tono bersikeras menyekolahkan anaknya di sekolah yang berbasis Bahasa Arab, dengan alasan ia ingin menjadikan anaknya itu pemuda yang bisa membaca dan paham sumber langsung dari agama. Kata pak Tono, “membaca terjemahan dari sebuah kitab itu sebenarnya adalah membaca karya yang menerjemahkan.”
Fahmi yang berkecimpung di dunia seni dan literasi tentunya punya pilihan sendiri dalam menentukan masa depannya, apalagi dia sekarang adalah seorang pemuda yang sudah siap dengan segala rintangan kehidupan. Namun pak Tono tak pernah menyetujui keinginan Fahmi. Memang begitulah pak Tono, dia adalah sosok Ayah yang keras kepala, bukan main kerasnya, mungkin helm SNI (Standar Nasional Indonesia) pun tak sanggup mengalahkan keras kepalanya pak Tono.
Semua apa yang dianggap benar dalam pandangan pak Tono, maka itulah yang benar, tak ada yang benar kecuali satu pemikiran dengan pak Tono. Kebenaran pak Tono adalah mutlak, apalagi dalam keluarganya. Semua insan yang hidup dalam lingkup keluarga pak Tono adalah wayang baginya, tak terkecuali istri pertama dan kedua pak Tono, semuanya.
ADVERTISEMENT
Mau memberontak seperti apa pun, Fahmi adalah anak pak Tono yang tak pernah memiliki kuasa atas dirinya. Sekali saja ia punya kuasa. Saat itu ibu Fahmi ingin anaknya itu nikah muda, di usianya yang baru kelas sembilan, setahun lagi ia akan lulus SMP, ibunya sudah memintanya untuk menikah dengan anak Kepala Desa. Dan usut punya usut, ternyata itu permintaan Ayahnya.
Fahmi yang saat itu belum siap dengan kehidupan baru, belum siap ada yang memanggilnya Ayah, tentu saja menolak. Hampir saja Fahmi kabur dari tempat peraduannya itu, jika saja Ayahnya yang bersikeras untuk menikahkannnya dengan Marni tak berhasil membujuk Fahmi.
Saat itu ia tak mau lagi berdebat kusir dengan Ayahnya. Mungkin dengan menuruti keinginan Ayahnya saat itu, itulah bentuk bakti Fahmi pada ibunya dulu yang memintanya untuk menikah. Sejak kematian ibunya, Fahmi selalu merasa bersalah dengan penolakan untuk menikah muda, karna tak mau menuruti kemauan ibunya dulu, ia menganggap dirinya tak pernah membahagiakan ibunya. Bagi Fahmi saat itu “kebahagiaan Ayah adalah kebahagiaan ibu di alam sana.”
ADVERTISEMENT
Tibalah saatnya di mana Fahmi harus meninggalkan dunianya yang lama. Meninggalkan dunianya dalam seni melukis dan meninggalkan dunianya dalam dunia kepenulisan.
Hari pertama di pesantren, Fahmi langsung saja mendapatkan banyak teman. Fahmi merupakan jenis pemuda yang mudah bergaul,. Dengan beberapa kalimat andalannya, orang yang baru pertama kali melihatnya akan tertarik dengan sikapnya. “hai, kenalkan aku Fahmi. Siapa namamu?”, “semoga kita bisa menjadi teman dekat,” itu, kalimat andalan Fahmi yang selalu berhasil menarik perhatian lawan bicaranya.
Tak genap satu minggu Fahmi menginjakkan kakinya di pesantrennya, namanya sudah dikenal di kalangan santriwan dan santriwati. Mungkin sebab ia selalu menjawab apa yang ditanyakan penanya dan bertanya jika ada pertanyaan di masa orientasi siswa. Dan tak hanya itu, ia menjadi santri baru terfavorit. Maka tak heran jika Fahmi menerima lima surat yang berbeda dari santriwati. Dua santriwati mengungkapkan rasanya dan tiga sisanya ingin berkenalan lebih jauh dengan Fahmi.
ADVERTISEMENT
Rasa bosan pastinya akan datang menghampiri. Baru sebulan Fahmi tinggal di sana, rasa itu sudah datang. Sempat ia ingin memundurkan dirinya dari pesantren, kalau bukan teman-temannya yang menyemangati Fahmi, mungkin sudah tak ada cerita Fahmi di pesantren. Sahabatnya Januar yang selalu menjadi tameng baginya ketika ingin pulang, ia selalu memotivasi Fahmi di sana.
Santriwati pun tak kalah perannya dalam mempertahankan Fahmi di pesantren itu, selain tertarik dengan Fahmi, mereka juga senang dengan hasil karya Fahmi dalam melukis wajah-wajah mereka. Satu sisi yang paling bisa membuat Fahmi bertahan di sana, Ibunya. Ia tak mau mengecewakan ibunya di alam sana.
Hadiah berupa kado sudah mulai berdatangan, entah dari siapa itu, orang itu tak pernah mencantumkan namanya, ia hanya selalu menggambar bunga mawar di surat yang selalu tersisip di kado itu. Suatu saat Fahmi mengumumkannya di depan para santri dan santriwati tentang ketidak bisaannya menerima bingkisan terus menerus tanpa tau dari siapa.
ADVERTISEMENT
Peraturan tetaplah peraturan. Setelah tiga bulan tinggal di pesantren, semua siswa tidak diperkenankan berbahasa selain Bahasa Arab, semua buku selai berbahasa arab juga tak boleh ada di pesantren itu, dan Koran yang berbahasa Indonesia juga tak boleh. Hanya tulisan yang berbahasa arab diperbolehkan di sana.
Semua itu Fahmi jalani dengan tenang, walaupun di satu sisi dia akan meninggalkan dunia kepenulisannya, namun di sisi lain dia akan membangun itu semua dari awal, menulis dengan Bahasa Arab. Benar saja, setahun pertama dia sudah diminta menjadi wakil pers pesantren dan pastinya semua tulisan berbahasa arab, di tahun kedua dia sudah menjadi ketua, dan di tahun ketiga karyanya sudah banyak dimuat di majalah dan koran berbahasa arab.
ADVERTISEMENT
***
Lima tahun sudah berlalu, saatnya ia mempersiapkan dirinya pulang setelah lima tahun tak pulang, mengabdikan dirinya di kampung halaman. Di hari pelepasan Fahmi di pesantren itu, ada dua kabar baik dan satu kabar buruk menghampirinya. Kabar baiknya ia menjadi lulusan terbaik dan satu dari santriwati menawarkan dirinya untuk mendampingi hidup Fahmi. Dan kamu tau siapa itu? Dia adalah lulusan terbaik di kalangan santriwati. Dan yang lebih mengejutkan lagi, kamu tau siapa sebenarnya orang itu? Namanya Linda, dia yang telah membungkus kado setiap malam kami dan mengirimnya pada Fahmi tiap minggunya.
Akad nikah langsung dilaksanakan di sana, ya, saat pelepasan berlangsung, di panggung yang sama, dengan saksi dari kalangan wali santri dan santri serta santriwati yang dipenuhi api cemburu.
ADVERTISEMENT
Dan kabar buruknya, pak Tono tak ada di saat yang paling berbahagia itu.
***
Apa yang harus Fahmi katakan saat mendapati Ayahnya, ia mulai berusaha merangkai kata namun ia tak bisa, sebab ia lupa. Lima tahun di pesantren telah mengubahnya menjadi penutur bahasa arab, mungkin penutur arab asli akan heran saat bertemu Fahmi, kenapa bisa orang Indonesia yang hidup di Indonesia menuturkan bahasa Arab dengan lebih fasih.
Sudah ia coba, namun Fahmi tak bisa. Kata itu telah hilang. Peraturan tak diperbolehkannya berbahasa selain Bahasa Arab telah membuat Fahmi kehilangan bahasanya; walaupun ia tak kehilangan cintanya pada Indonesia. Haruskah ia menyalahkan Ayahnya yang tak pernah datang berkunjung? Sebab aturan itu tak berlaku ketika berkomunikasi dengan tamu santri. Dengan kata lain, diperbolehkan menggunakan bahasa apa pun dengan tamu.
ADVERTISEMENT
Namun Fahmi tak kehilangan cara untuk mengunggapkan rasanya itu, ia menulisnya dengan Bahasa Arab, ia menuliskan kisahnya dan mengirimnya padaku untuk diterjemahkan. Dan sekarang sampailah kisah itu di depan pembaca yang budiman. Kisah Fahmi yang sedang duduk melamun tengah keramaian, sedang aku berusaha keras menerjemahkan karyanya yang berbahasa Arab ini.