Konten dari Pengguna

Ayah Bukan Panutan

Moh dzaky Amrullah
sedang kuliah di STIBA AR-RAAYAH
7 Maret 2021 19:39 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Moh dzaky Amrullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
gambar seorang yang sedang bertani (dokumentasi pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
gambar seorang yang sedang bertani (dokumentasi pribadi)
ADVERTISEMENT
Oleh : Moh. Dzaky Amrullah
Berangkat pagi pulang malam hanya untuk mendapatkan sesuap nasi, syukur-syukur bisa untuk persiapan makan besok hari. Dingin sudah biasa dijadikan selimut, panas sudah menjadi baju setiap harinya, dan lapar sudah menjadi kata yang mendarah daging. Para ayah siap berangkat untuk mencari nafkah, antara tanggung jawab dan kasih sayang selalu menjadi penyemangat untuk mendapatkan nafkah yang halal. Mereka bukan koruptor apalagi tambunan yang hanya memakan uang rakyat, mereka adalah korban dari para tikus yang selalu mengincar uang rakyat.
ADVERTISEMENT
Tak cukup dengan gajinya di kantor, maka rakyat harus siap menderita untuk memenuhi perut tikus-tikus negara. Dan para ayah yang baik bukanlah mereka yang korupsi, karna korupsi adalah kata yang tabu buat para ayah.
Ayahku adalah seorang Pegawai Negeri Sipil. Dia mengajar anak-anak yang duduk di bangku Sekolah Dasar. Sudah lima kali lebih ayahku diminta untuk menjadi kepala sekolah, namun selalu saja menolak. Sudah sering juga aku melihat para orang tua siswa datang ke rumahku untuk meminta anaknya di naikkan kelas. Yang kaya akan minta anaknya supaya bisa rangking satu dan yang miskin akan meminta anaknya di naikkan kelas, namun ayahku selalu menolak, kalimat yang selalu aku dengar dari mulut ayah adalah "apa bapak mau menanggung dosa saya di hadapan Allah?" Dan setiap kali ayah menjawab seperti itu, pasti mereka yang datang langsung pamit. Namun ada saja yang selalu datang ke rumahku untuk hal laknat itu.
Ilustrasi Petani. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Temanku selalu bilang "enak ya punya ayah seperti ayahmu".
ADVERTISEMENT
Sampai suatu kali aku tanyakan kepadanya mengapa mengatakan hal demikian padahal ayahnya adalah seorang konglomerat. Jawabanya waktu itu "bukan masalah kaya atau konglomerat, tapi aku jarang bercengkrama dengan keluargaku. Ibuku sibuk dengan teman arisannya dan ayahku juga jarang pulang karna kerjaannya." Sejak saat itu aku memberikan perhatian lebih padanya dan kita menjadi sahabat dekat, bahkan kita sudah seperti kakak beradik dan ada yang bilang kita sudah seperti saudara kembar, kemanapun selalu bersama. Dia adalah Firman yang selalu ada ketika aku sedih.
Tiap pagi ayahku selalu pergi ke sawah dengan senapan anginnya yang di beli di Surabaya dulu sejak kuliah. Kata ibuku, senapan itu adalah senapan kesayangan ayah. Dari senapan itulah ayah dan ibuku saling kenal. Waktu ibuku di kejar babi hutan di hutan dekat rumah kakek, ayahku datang menyelamatkannya dengan senapan itu. Sejak saat itulah mereka saling kenal dan akhirnya menikah sampai melahirkanku sebagai anak pertama. Tak heran jika aku di beri nama Wahid yang artinya pertama.
ADVERTISEMENT
Setiap pagi sepulang dari sawah. Ayahku selalu membawakanku burung hasil buruannya. Kata ibuku juga kalau ayah sangat berbakat dalam memburu. Buktinya babi hutan yang mengejar ibu saja bisa di lumpuhkan dengan sekali tembakan dan waktu ada lomba pasti ayahku selalu saja juara.
Akhirnya aku pun mengidolakan ayah. Aku pengin seperti ayah. Pintar berburu, bisa punya istri seperti ibu yang pandai memasak, di hormati masyarakat kampung, dan yang paling aku kagumi; tak pernah ku dapati ayah tidak salat di shaf pertama. Ayahku mengizinkanku punya kemauan seperti itu, namun satu hal yang dilarang ayah, kata ayah aku jangan sampai hidup susah seperti apa yang di jalani sekarang, jangan sampai aku menjadikan memburu itu pekerjaan utama sebab memburu adalah keterampilan.
ADVERTISEMENT
Bicara soal keterampilan, ayahku sangat terampil. Jika bajunya sobek, ayah selalu menjahitnya sendiri tanpa ada campur tangan ibu, padahal menurutku itu tugas ibu yang menjahit baju. Namun kata ayah, kalo menjahit itu adalah sunah, bahkan Nabi Muhammad pun jika bajunya sobek pasti dijahit sendiri tanpa ada campur tangan istrinya. Selalu saja ayah mengingatkanku tentang sabda Beliau "jika bisa mengerjakan sendiri, maka kerjakanlah".
Ayah selalu memenuhi janjinya padaku. Tentang sepeda yang akan di belikannya jika aku lulus SD, tentang seperti baru yang akan dibelikannya kalau aku naik kelas, tentang baju baru yang akan di belikannya tiap aku hafal satu juz dari Al-Qur'an, dan tentang semuanya yang ayah janjikan kepadaku. Tak pernah satu pun ayah mengingkarinya.
ADVERTISEMENT
Namun satu yang belum ayah penuhi. Ayah berjanji akan datang saat hari pelepasanku. Ayah berjanji akan menyampaikan pidatonya jika aku lulus sebagai lulusan terbaik di sekolahku, ayah berjanji akan menggendongku jika aku lulus dengan memuaskan, ayah berjanji akan mencium dan memelukku jika aku bisa mendapat beasiswa untuk sekolah lanjut.
Sekarang aku memenuhi semuanya. Sekarang adalah hari pelapasanku, aku lulus sebagai siswa terbaik, kata ibuku aku lulus dengan memuaskan, dan aku dijanjikan akan mendapat beasiswa dari sekolah untuk melanjutkan study ke Luar Negeri.
Namun, ayahku telah tiada sejak kejadian minggu lalu. Peluru teman ayah salah sasaran dan kepala ayah yang tembus oleh peluru itu, bukan burung yang seharusnya terkapar. Tak sempat dilarikan ke rumah sakit, ayahku sudah mengembuskan napas terakhirnya.
ADVERTISEMENT
Ayahku berpesan pada temannya itu untuk menggantikan ayah di sisiku dan di sisi ibu, namun ibu menolaknya. Bagaimana mungkin ibu bersanding dengan orang yang menyebabkan kematian ayahku dan bagaimana bisa aku menerimanya sebagai panutan baruku.
Sekarang aku yang memeluk, menggendong, mencium, dan menangis di sisi ibuku yang datang sendiri tanpa ayah. Di hari pelepasanku.