Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.92.0
Konten dari Pengguna
Siapkah Aku Menjadi Seorang Suami
27 Maret 2022 16:38 WIB
Tulisan dari Moh dzaky Amrullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Suara saling bersahutan. Mereka menawarkan barang dagangan dengan suara lantang, pembeli tak mau kalah adu kemahiran dalam jual beli dengan pedagang, mereka menawar tanpa pikir perasaan penjual, kernet adu kemahiran mencari penumpang, mereka yang sudah selesai dengan kebutuhan mulai mencari tumpangan untuk pulang ke peraduan. Pasar yang tak mau sepi selalu menyediakan kebutuhan orang-orang lapar, lapar harta, lapar perutnya. Tidak, mereka tidak lapar, mereka butuh penghidupan, mereka butuh kehidupan.
ADVERTISEMENT
“Dibungkus Mas?,” tanya perempuan berparas cantik sambil mengambil ayam goreng di lemari kaca.
Arham menunjukkan wajahnya, memicingkan matanya yang sempat mendawam pada satu titik, paras cantik perempuan penjual nasi ayam.
“Dibungkus kak?,” tanya wanita paruh baya itu kembali.
“Eh, maaf Mbak, makan sini.” Sambil berjalan ke arah kursi yang tersedia di warung makan pojok Pasar Senen Wirobrajan, “nasinya jangan terlalu banyak ya Mbak,” lanjut Arman sambil memperbaiki posisi duduknya.
“Siap Mas.”
Arman kembali mengarahkan pada wanita yang kiranya setahun lebih muda dari dirinya itu. Sesekali Arman tersenyum, entah apa yang ia pikirkan, tapi kelihatannya kala itu dia sangat bahagia. Entahlah.
Sepiring nasi dengan ayam goreng ditemani sambal merah berbau terasi sudah siap disantap. Kini wanita paruh baya itu menuju ke arah Arman. Berusaha berjalan dengan cepat namun tetap menjaga keseimbangan. Menjaga kesantunan diantara para pelanggan yang mulai memenuhi warung makan yang baru dibangun tiga minggu yang lalu.
ADVERTISEMENT
“Ini kak nasinya, selamat menikmati,” ujar wanita itu dengan lembut, tak selembut sutra, namun cukup membuat selera makan pendengar naik seketika.
Sesuap demi sesuap masuk ke perut Arman. Mengisi ruang-ruang kosong perut penyabar menunggu waktu makan demi mengedepankan hati dan pikiran dalam memakan materi pembelajaran yang dihidangkan dosen. Tanpa terasa nasi yang memenuhi piring hadiah sabun cuci itu sudah hilang tanpa jejak, bersih. kini tinggallah piring tanpa isi, Arman, segelas teh manis, dan penjual nasi yang tak kalah manis. Semua pelanggan telah pergi.
Wanita paruh baya itu dengan tanggap membersihkan meja tempat Arman makan, mengambil piring yang sudah bersih tanpa menyisakan nasi walau sebutir. “Bagaimana Mas masakan saya, enak?” tanya wanita itu mengawali percakapan.
ADVERTISEMENT
“Iya enak mbak, jualan pertama kali ya?” tanya Arman menyambung percakapan.
“Iya Mas, itung-itung bantu suami,” terang wanita itu.
Arman mengangkat keningnya menunjukkan keheranan, belum percaya bahwa wanita itu sudah memiliki pasangan, “Emang suami Mbak kemana?” tanya Arman menyelidiki.
Tanpa sepatah kata, wanita itu pergi ke dapur. Menaruh piring bekas Arman.
Arman mengarahkan pandangannya pada wanita itu, sepertinya ada sesuatu dalam pikiran Arman. Tirai penutup antara dapur dan ruang makan terbuka lebar, wanita itu keluar dengan tangan basah bau sabun cuci piring.
“Suami saya kerja paruh waktu Mas, sekarang ikut kerja dengan mandor, lagi bangun rumah di kota,” jelas wanita itu.
Arman teringat pelajaran dosennya Ustadz Arya yang menjelaskan bagaimana hukum nikah. Arman membayangkan dirinya berada di posisi suami wanita penjaga warung. Sedang berada di posisi yang manakah Arman ketika menempati posisi sang suami. Akankan berada di posisi sunnah yang memang sudah menjadi hukum dasar dalam menikah dengan syarat sudah butuh menikah, ada mahar yang bisa diberikan pada istri, dan tidak takut terjerumus dalam maksiat dengan wanita yang bukan belum bisa dijadikan tempat pulang. Hukum ini tetap sunnah buat mereka yang sibuk beribadah, karena menikah lebih utama pada orang seperti ini daripada menyibukkan diri sampai lupa kehidupan.
ADVERTISEMENT
Atau pada hukum selanjutnya yaitu sunnahnya tidak menikah dulu. Ini buat orang yang butuh menikah tapi belum ada mahar untuk diberikan. Lebih utamanya untuk orang seperti ini adalah memperbanyak puasa untuk menekan keinginannya dalam hal menikah.
Wanita itu melanjutkan perkataannya yang belum selesai mengenai kehidupannya “Suami saya sebenarnya belum mengizinkan saya untuk bekerja Mas, tapi saya ingin membantu beliau, sampai akhirnya beliau mengizinkan saya bekerja.”
Arman kembali teringan hukum menikah yang lain, hukum yang telah dijelaskan Ustadz Arya ketika belajar di ruang kuliah. Hukum dibenci menikah bagi orang yang belum ada mahar dan dia ga butuh nikah, atau lagi sakit dan sudah tidak bisa memberikan hak sang istri.
Saat ini Arman lebih memikirkan dirinya pada posisi keempat, yaitu punya mahar, belum butuh menikah, dan sibuk beribadah. Bukan dibenci menikah, hanya saja pada hal seperti ini diutamakan menuntut ilmu.
ADVERTISEMENT
Mungkin sebentar lagi Arman akan berada di posisi yang mending menikah. posisi ini berada saat sudah memiliki mahar, tidak sibuk beribadah, tidak belajar. Saat itulah mending menikah walaupun tidak butuh menikah.
Arman belum bisa melepas pikirannya pada penjelasan Ustadz Arya saat menjelaskan hukum menikah pada mazhab Syafi’i.
Seketika pembeli datang, Arman kembali pada segelas teh manis yang belum habis. Satu tegukan terakhir buat Arman dan langsung pergi tanpa pamit pada wanita paruh baya itu. Wanita itu tetap hanyut dalam cerita yang tak tau siapa pendengarnya.
"Mbak, nasi ayamnya lima dibungkus ya," kejut pelanggan yang baru masuk tanpa salam menghentikan cerita wanita penjaga warung.