Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Budaya 'Cancel Culture' dalam Komunikasi di Era Digital
2 April 2024 14:14 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Nadine Alvina Kuntara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dunia komunikasi di era digital diwarnai kemunculan fenomena "cancel culture". Istilah ini merujuk pada tindakan memboikot atau mengucilkan individu, brand, atau organisasi atas kesalahan atau pernyataan yang dianggap menyinggung.
ADVERTISEMENT
Popularitas cancel culture mencuat di media sosial sekitar tahun 2017, namun jejaknya dapat dilihat dari gerakan aktivisme yang menuntut pertanggungjawaban di masa lalu. Saat ini, cancel culture seringkali dilakukan kepada artis atau public figure yang memiliki jejak digital atau kasus yang tidak sesuai dengan norma di masyarakat.
Budaya ini sangat dianut oleh beberapa negara, seperti Jepang dan Korea. Namun, budaya ini belum terlalu berlaku di Indonesia.
Fenomena "cancel culture" bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi, budaya ini dapat menjadi alat untuk menegakkan keadilan sosial dan mendorong akuntabilitas. Individu yang melakukan kesalahan atau mengeluarkan pernyataan kontroversial didorong untuk bertanggung jawab.
Ketika individu atau organisasi melakukan kesalahan, cancel culture dapat menjadi mekanisme untuk menuntut pertanggungjawaban dan mendorong perubahan positif. Namun, di sisi lain, cancel culture juga memiliki potensi untuk disalahgunakan.
ADVERTISEMENT
Kemudahan akses informasi dan budaya serba cepat di era digital dapat memicu reaksi spontan dan impulsif, tanpa mempertimbangkan konteks dari permasalahan. Hal ini dapat mengakibatkan pembatalan yang tidak adil dan berlebihan, yang berakibat pada konsekuensi negatif bagi individu atau organisasi yang diboikot.
Kemudian, cancel culture dapat memperkuat polarisasi. Cancel culture seringkali menciptakan kelompok-kelompok yang saling berhadap-hadangan dan mempertegas perbedaan pendapat. Selain itu, cancel culture berpotensi menghilangkan kesempatan untuk perbaikan diri korbannya. Individu yang pernah melakukan kesalahan masa lalu bisa terus dibayangi bayang kegagalan, tanpa ruang untuk belajar dan menebus kesalahannya.
Salah satu contoh negatif dari cancel culture terjadi dalam kasus idola korea yang baru akan debut yakni Ahyeon Babymonster. Ahyeon, salah satu anggota girl group baru YG Entertainment, Babymonster, sempat menjadi sasaran cancel culture sebelum debutnya. Hal ini bermula dari video predebutnya yang beredar di internet. Dalam video tersebut, Ahyeon terlihat melakukan beberapa gestur yang dianggap tidak sopan oleh beberapa netizen Korea Selatan.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, Ahyeon dihujani kritik dan komentar negatif di media sosial. Banyak yang menuntutnya untuk dikeluarkan dari Babymonster dan bahkan memboikot debut grup tersebut. YG Entertainment sempat bungkam terkait masalah ini, namun akhirnya mereka mengeluarkan pernyataan resmi yang membela Ahyeon.
Perusahaan menyatakan bahwa gestur Ahyeon dalam video tersebut disalahartikan dan tidak bermaksud untuk tidak sopan. YG Entertainment juga menegaskan bahwa Ahyeon adalah trainee yang berbakat dan pantas untuk debut bersama Babymonster.
Meskipun pernyataan resmi telah dikeluarkan, cancel culture terhadap Ahyeon masih berlanjut. Beberapa netizen tetap tidak percaya dengan penjelasan YG Entertainment dan menuntut Ahyeon untuk meminta maaf secara langsung.
Dampak dari cancel culture ini membuat Ahyeon gagal untuk debut bersama dengan member lainnya pada saat itu. Kemudian beberapa waktu setelah Babymonster debut, terdapat pernyataan bahwa adanya kesalahpahaman mengenai kasus Ahyeon tersebut. Pada akhirnya, Ahyeon pun kini akan kembali debut dengan member Babymonster lainnya.
ADVERTISEMENT
Cancel culture yang telah membudaya di suatu negara tentu sulit untuk diubah, namun terdapat beberapa solusi untuk fenomena ini. Dengan adanya komunikasi, cancel culture yang menjerumuskan terhadap kesalahpahaman dapat berkurang. Selain itu, perlunya edukasi terhadap masyarakat dan korban agar tidak mudah menjatuhkan orang lain.
Masyarakat perlu belajar untuk memahami konteks dan latar belakang individu sebelum mengambil tindakan. Fokus juga perlu dialihkan dari sekadar pembatalan menjadi pendorong perubahan dan pembelajaran.
Singkatnya, cancel culture memunculkan dilema tersendiri. Di satu sisi, ia bisa menjadi instrumen untuk mencapai keadilan sosial. Namun, di sisi lain, ia juga berpotensi menghambat komunikasi dan memperparah perpecahan.
Dengan mengedepankan dialog, empati, dan kesempatan untuk perbaikan, barangkali kita bisa menemukan titik temu untuk membangun komunikasi yang lebih produktif di era digital.
ADVERTISEMENT