Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Aku dan 2016
13 November 2019 19:05 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Nadira Adisti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sekitar tiga tahun yang lalu aku pernah merasakan penolakan yang bisa dibilang sangat menyedihkan dan menyakitkan. Saat itu aku masih duduk di bangku SMA, di tahun terakhirku.
ADVERTISEMENT
Kayaknya, itu kali terakhir aku menangis sampai meraung-raung selama satu jam di depan laptop. Kalau diingat-ingat lagi sekarang, malah jadi cerita yang lucu. Yah, namanya, juga anak umur 17 tahun, perkembangan otaknya belum sampai titik sempurna, bahkan mungkin sekarang juga belum.
Apa yang ada di otak kalian kalau dengar seorang gadis berumur 17 tahun menangis selebay itu? Diputusin pacar? Dimusuhin teman? Dikeluarin dari geng? Atau, (amit-amit) belendung?
Bukan itu semua. Aku ditolak masuk PTN (Perguruan Tinggi Negeri) pilihanku. Yang bikin aku sedih adalah aku benar-benar berharap dari jalur yang aku tempuh ini (ini bukan jalur curang, lho).
Dua tahun sebelum kejadian ini, teteh-ku berhasil masuk PTN yang sama dan dengan jalur yang sama. Entah kenapa, aku jadi merasa pede.
ADVERTISEMENT
"Teteh aja bisa, masa aku enggak," dulu aku berkata begitu.
Takabur juga, ya? Eh, ternyata, aku enggak lolos. Aku sudah sangat berharap padahal, keluargaku juga sudah sangat mendukung dan berharap juga. Katanya, biar tempat tinggal teteh-ku di sana bisa jadi singgasanaku selama kurang lebih empat tahun.
Tapi, semua rencana-rencana itu batal setelah aku lihat tulisan "Maaf, Anda..." di layar laptopku.
Tidak perlu baca kalimat itu sampai titik, aku sudah tahu pasti ke mana arah kata-kata itu. Aku menutup laptopku, pergi ke kamarku, dan menangis di bawah selimut.
Rasanya kecewa sekali, sedih yang aku kira tidak akan selesai, sempat berpikir mau kabur ke kampung kakek dan nenekku dan ikut mereka mengurus ayam. Lalu, baru tersadar dan terbangun,
ADVERTISEMENT
"Jangan, jangan aneh-aneh, deh."
Setelah bantal-bantalku kering dari air mata, aku baru memberanikan diri dan menelepon ibuku.
"Ma, aku enggak keterima," ujarku perlahan.
Ternyata, dia hanya berkata, "Oh, ya enggak apa-apa. Kan masih banyak kampus lain yang ada Sastra Inggris," kata ibuku menenangkan.
Aku tahu, sih, dari awal, apa pun hasilnya dia tidak akan marah, tapi aku tidak tahu kalau dia akan setenang itu. Aku pun membuka laptopku lagi, dan mencari info tentang kampus-kampus swasta.
Setelah aku menemukan yang sekiranya cocok denganku, aku menelepon ibuku lagi, izin untuk mendaftar di sana. "Iya, boleh. Terserah kakak. Kan, nanti kakak yang jalanin. Mama nemenin doang."
Aku membuka laptop lalu mulai mengetik dan mendaftar. Beberapa hari setelah itu, aku berangkat ke kampus itu untuk mengikuti ujiannya. Aku yakin banget bakal keterima di sana waktu itu (eh, takabur lagi?). Tapi, kali ini ternyata aku benar-benar keterima, kok.
ADVERTISEMENT
Setelah aku diterima, aku merasa ragu, aku tidak yakin lingkungan di sana akan cocok dengan kepribadianku. Aku pun masih mengadu ke kedua orang tuaku, tapi kata-kata papaku menampar dan menenangkan aku, "Kak, kakak kuliah di mana aja enggak ngaruh, kok. Papa yakin, kakak itu kalo ditaro di mana aja pasti bisa. Nah, enggak mau daftar kedokteran, kak?"
Papaku itu orangnya terlalu optimis. Percaya anaknya bisa jadi apa saja, bahkan sampai jadi dokter. Masih speechless, sih, kalo ingat papaku ngomong itu. Tapi, lalu aku sadar dan aku yakin aku akan baik-baik saja.
Saat mulai kuliah di sana, masih ada rasa kecewa dan sedih, masih berpikir untuk mencoba lagi tahun depan. Tapi, ya sudahlah, jalanin dulu aja, pikirku.
ADVERTISEMENT
Lagi pula ibuku pernah mengeluarkan kata-kata yang jadi penyemangat untukku, jalanin aja, semuanya juga bakal lewat, mau akhirannya bagus atau jelek, jalannya lama atau cepat, ujungnya kan akan selesai.
Di awal masa perkuliahan, aku hanya berpegang teguh pada kalimat emas ibuku itu. Untungnya, kesedihanku itu tidak berlangsung telalu lama. Setelah menemukan teman-teman yang sepemikiran denganku, dosen-dosen yang memberikanku nilai bagus (hehe), semuanya menjadi jauh lebih baik.
Sekarang, tiga tahun sudah berlalu. Bahkan, beberapa bulan dari sekarang (doakan, ya) aku akan mendapatkan gelar sarjanaku. Semuanya terasa sangat cepat.
Kalau aku waktu itu diterima di PTN pilihanku, mungkin sekarang semuanya berbeda. Mungkin aku tidak akan bertemu dengan teman-temanku yang sekarang, mungkin nilai-nilaiku berbeda, mungkin aku akan jadi orang yang berbeda, dan yang sudah pasti, aku tidak akan bisa menceritakan hal ini.
ADVERTISEMENT
Nah, moral value kejadian ini kalau buat aku, sih, aku tidak boleh lagi merasa sedih yang berlebihan kalau enggak dapat hal yang aku mau. Toh, ending-nya untukku sama saja.
Kalau buat kalian yang baca, sih, aku enggak tahu manfaatnya apa. Hehe.