Dakian Pertamaku

Nadira Adisti
a human with an occasionally functioning brain
Konten dari Pengguna
27 November 2019 15:35 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nadira Adisti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tepat satu tahun yang lalu, 27 November 2018, aku dan teman-temanku pergi mendaki gunung, dan ini adalah kali pertamaku mendaki gunung.
ADVERTISEMENT
Selama ini aku selalu ingin mencoba mendaki gunung, tapi selalu tebersit pikiran takut--takut nyasar, takut kepisah sama rombongan, takut ketemu yang aneh-aneh, dan yang paling aku takuti adalah takut harus nahan pipis.
Tapi di hari itu, aku ikut mendaki gunung karena gunungnya sangat mungil, untuk mencapai ke puncaknya saja hanya butuh kurang lebih satu jam. Jadi kalau pun aku kebelet pipis, nahannya enggak terlalu lama, hehe.
Gunung mungil ini bernama Taal Volcano. Iya, volcano. Gunung ini bisa saja meletus, tapi untungnya di hari itu dia anteng-anteng aja.
Gunung Api Taal
Gunung api mini ini terletak di Talisay, Filipina, dan merupakan tourist attraction yang cukup iconic juga di sana. Kata pemandu di sana, tinggi gunung ini hanya 300-an meter, mungil banget, kan?
ADVERTISEMENT
Yang bikin unik, gunung ini dikelilingi danau, Danau Taal. Dan, gunung ini juga mengelilingi sebuah danau. Jadi, kalau dilihat dari google maps, bentuknya mirip donat yang enggak bulat.
Kayak donat yang adonannya berantakan, kan?
Jadi, di pagi itu, kami berangkat dari tempat kami menginap di daerah Taygatay menuju Talisay. Perjalanan kami tidak terlalu panjang, hanya membutuhkan sekitar satu jam untuk sampai ke pelabuhan.
Selama di perjalanan, kami googling spot-spot foto di sana yang sekiranya bakal bagus buat kita upload nanti, ekspektasi kami sudah tinggi; berpose dengan outfit "cuek", berlatar gunung, dan cahaya matahari yang super cerah.
Setibanya di pelabuhan, ternyata cuaca sangat panas. Rasanya matahari hanya berjarak kurang dari satu jengkal dari kepala. Belum apa-apa, rambut kami sudah lepek. Bahkan, aku mendengar sudah ada yang mengeluh pengin balik. Lemah memang. Sebel.
ADVERTISEMENT
Saat perahunya siap, abang-abangnya berdiri di dekat pijakan untuk menaiki perahunya dan mengulurkan tangannya. Kami menaiki perahu bergiliran, karena aku yang terakhir naik, jadinya aku duduk di paling belakang berdua temanku dan kebagian foto-fotoin teman-temanku yang duduk di depan. Nyebelin.
Saat di perahu, aku dan teman-temanku terkagum-kagum dengan bersihnya langit dan air di sana. Biasa, norak. Orang-orang Jakarta yang biasanya tiap hari cuma lihat asap dan langit yang warnanya enggak jelas, akhirnya bisa lihat langit dan air yang bersih dan biru.
Danau Taal
Danau Taal
Hasil fotoku yang duduk di belakang :(
Setelah sekitar setengah jam berlalu, kami tiba di kaki Gunung Taal. Kami ditawarkan untuk menaiki kuda, just in case enggak mau pegal jalan kaki, tapi kami ngerasa kuat dan menolak tawaran itu.
ADVERTISEMENT
Pemandu kami pun memberi arahan untuk jangan terpisah dan berjalan berdampingan, kalau ada jalur yang kecil, langsung membuat satu barisan. Kami pun mengangguk-angguk saja.
Jalur untuk sampai ke puncak gunung
Saat berjalan sekitar 15 menit, tebersit penyesalanku tidak menyewa kuda.
Tapi, karena sudah terlanjur dan tidak bisa menyewa kuda di tengah-tengah perjalanan, aku harus memaksakan diriku.
Lalu aku berpikir, ternyata ini ya rasanya naik gunung, enggak mau lagi, deh. Keputusan ku selama ini untuk tidak pernah naik gunung terasa tepat saat itu.
Langkah kakiku dan teman-temanku mulai melambat, setiap ada batu yang cukup besar, kami berhenti, duduk, dan minum. Tapi, kata pemandunya jangan kebanyakan minum, nanti tubuhnya malah terasa lebih berat. Kan jadi bimbang, ya. Kalau enggak minum jadi haus, kalau minum jadi lebih capek. Kalau kamu jadi aku, kamu pilih yang mana?
ADVERTISEMENT
Aku mencoba membuat diriku lupa kalau aku itu capek, aku lihat sekelilingku dan ternyata, rasa capek ini worth it. Baru setengah perjalanan saja, pemandangannya sudah bagus.
Ini fotoku dan pemandunya setelah dia menyemangati aku biar enggak melulu berhenti
Aku akhirnya bisa melanjutkan perjalanan dengan lebih bersemangat, sambil membayangkan akan sebagus apa nanti di atas sana.
Meski sudah semangat, tetap saja langkah kakiku itu kecil sehingga aku menjadi orang yang terakhir sampai di puncak, sedangkan teman-temanku sudah duduk sambil minum es kelapa di puncaknya.
Aku pun mengistirahatkan kedua kakiku, meluruskan keduanya, sambil melihat-lihat pemandangan dari atas. Lalu rasa terkagum-kagum itu muncul lagi. Aku bisa melihat Danau Taal dan danau yang dilingkari Gunung Taal dari atas.
Rasa lelahku sebagian hilang. Meski terik, variasi warna hijau dan biru yang ada di depan mataku saat itu menghilangkan keringat-keringat yang ada di tubuhku. Entah bagaimana caranya, aku tidak merasa kepanasan lagi. Sepertinya otakku terlalu sibuk mengagumi landscape Taal.
Puncak Gunung Api Taal
Puncak Gunung Api Taal
Puncak Gunung Api Taal
Setelah beberapa menit bengong ngeliatin pemandangan, temanku mengatakan, "Yah, gimana caranya mau foto? Muka udah dekil gini." Tapi, kami tetap foto-foto, sih, walau hasilnya enggak banget.
ADVERTISEMENT
Sedih juga cita-cita kami untuk berfoto 'keren' hancur.
Dari sekian banyak foto yang kami ambil, cuma dua foto ini yang mukaku cukup "layak".
Setelah berbahagia di puncak gunung. Pemandunya pun bertanya pada kami, "Ready to go down?"
Kami lupa, kalau naik gunung berarti harus turun gunung juga.
Di saat itu, aku semakin yakin untuk tidak pernah mendaki lagi. Capeknya dua kali, aku enggak mau lagi.
Terima kasih, Taal, untuk pengalamannya. Dan, selamat juga, kamu jadi gunung pertama dan terakhir yang aku daki.
Selamat tinggal, Taal~~~