Hitam dan Putih

Nadira Adisti
a human with an occasionally functioning brain
Konten dari Pengguna
26 Desember 2019 21:44 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nadira Adisti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Black and White
zoom-in-whitePerbesar
Black and White
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hitam dan putih. Mungkin hanya warna biasa bagi beberapa orang, atau bahkan banyak yang berdebat bahwa hitam itu sebenarnya tidak tergolong warna.
ADVERTISEMENT
Oke, itu prologue yang buruk. Aku tidak tahu harus membuka tulisan ini bagaimana. Mungkin tulisan ini bisa memberi dua "warna" yang berbeda bagi yang membacanya. Entah menjadi bingung atau menjadi lebih bingung. Atau mungkin, merasa 3-4 menit mereka terbuang. Yah, kita lihat saja nanti, ya.
Kini aku sedang mengetik ceritaku di lantai kamar indekosku yang sudah mulai kosong. Buku-buku milikku sudah ditumpuk rapi di dalam satu tas besar, baju-bajuku yang tidak akan aku pakai sampai hari Minggu besok sudah dilipat rapi di dalam koper, alat-alat tulisku sudah dimasukkan ke dalam kardus. Hanya ada kasur dan karpetku saja yang masih terlihat jelas di kamar ini. Ya, aku akan kembali pindah ke rumah. Satu hal yang sangat mencolok selama aku membereskan kamarku adalah: Kebanyakan barang-barangku memiliki warna yang sangat beragam, mejikuhibiniu dan yang bukan mejikuhibiniu ada semua. Sedangkan hitam dan putih sedikit sekali.
ADVERTISEMENT
Aku jadi ingat, dulu, sekitar 14 tahun yang lalu, saat aku masih berumur 7 tahun, aku dan kakakku memiliki dua hewan peliharaan. Keduanya adalah kelinci, dan kami menamai mereka si Hitam dan Putih. Namanya basic banget, ya? Kreativitas kami memang masih cetek waktu itu, hanya menamakan mereka dari warna bulu mereka. Hmm, in retrospect, they both were the only significant black and white in my life, tho.
Ilustrasi kelinci. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Seperti judulnya, tulisan ini adalah tentang mereka, atau mungkin lebih tentang bagaimana aku "kehilangan" mereka.
Saat Hitam dan Putih pertama kali di halaman rumahku, mereka masih kecil sekali. Cocok untuk dipeluk-peluk anak berumur 7 tahun. Setiap pulang sekolah aku selalu membuka kandangnya dan bermain-main dengan mereka.
ADVERTISEMENT
Tapi, setelah beberapa minggu, Hitam mati. Kelinci yang tubuhnya tidak jauh berbeda dari telapak tanganku itu mati. Aku tidak ingat waktu itu aku menangis atau tidak, aku tidak tahu apakah saat itu aku sudah mengerti konsep kematian. Kata mama, Hitam terlalu lama ada di garasi dan kepanasan. Kalau dipikir-pikir lagi sekarang, kenapa kelinci itu bisa ada di garasi, ya? Mungkin aku habis ajak dia main ke sana dan lupa menggendong dia kembali ke rumahnya.
Namun, untungnya Putih memiliki nasib yang berbeda. Putih memiliki umur yang panjang. Dia pun kian membesar. Sampai aku jadi tidak kuat menggendongnya, akhirnya aku jadi tidak terlalu sering bermain dengannya. Bahkan, pertumbuhanku saja kalau dibandingkan dengan si Putih kalah jauh.
ADVERTISEMENT
Sampai akhirnya, di suatu pagi, mama bilang padaku dan kakakku kalau si Putih kabur. Putih tidak ada di kandangnya dan tidak ada di sekitar rumah atau di luar rumah. Nah, kalau di sini, seingatku, aku menangis karena aku berpikir, yah enggak ada kelinci lagi di rumah.
Setelah kepergian mereka berdua, di rumahku tidak pernah ada hewan peliharaan lagi. Hanya ada ikan-ikan koi, itu pun bukan aku yang memberi mereka makan.
Beberapa tahun sejak kepergian mereka berdua, aku sudah tidak pernah memikirkan kelinci-kelinci itu lagi. Sampai suatu hari, sebelum aku dan kakakku berangkat ke sekolah, mamaku mengatakan, "Teh, dek, si Putih sebenarnya enggak kabur, mama kasih ke mbok." Aku ingat sekali aku merasa bingung saat itu. Kenapa kelinciku yang sudah tinggal satu itu harus dikasih ke orang lain?
ADVERTISEMENT
Tapi, mamaku menjelaskan dan, ya, masuk akal, kok. "Mama takut, si Putih jadi gede banget, hampir segede dedek. Jadinya mama kasih ke mbok." Mbok ini adalah mbak yang bekerja di rumahku selama bertahun-tahun. Mbok membawa si Putih ke rumahnya. Sepertinya, mbok ini memang yang lebih cocok juga memelihara si Putih, dia yang membersihkan kandang kelinci-kelinci ini, memberikan mereka makan--bukan aku. Jadi, saat rahasia itu terkuak, aku sebenarnya tidak terlalu merasa sedih. Toh, aku juga sudah merelakan kepergian si Putih. Setelah aku mengetahui hal ini, aku juga tidak mencari tahu seperti apa keberadaan putih saat itu. Apakah dia semakin membesar atau akhirnya jangan-jangan kabur betulan? Aku tidak pernah tahu. Aku tidak mau tahu sebenarnya saat itu.
ADVERTISEMENT
Setidaknya kepergian si Hitam dan Putih ini memberikan aku pelajaran: Jangan memelihara hewan kalau belum siap. Jangan mencoba memiliki sesuatu kalau belum mampu merawatnya. Buktinya, satu mati hanya dalam kurun waktu beberapa minggu, dan satu lagi "kabur" karena aku hanya suka bermain dengan mereka, bukan mengurus mereka.
May you rest in peace, Hitam.
And, may you grow well and have a healthy life, Putih.