Altruisme Murni? Alasan Kita Berderma

nadira alyssa
Journalism Student of Polytechnic State of Jakarta
Konten dari Pengguna
31 Juli 2022 13:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari nadira alyssa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
(Foto Unsplash.com)
zoom-in-whitePerbesar
(Foto Unsplash.com)
ADVERTISEMENT
Jika kamu merasa kamu adalah orang paling baik di dunia karena kamu sering memberi, kamu harus membaca ini.
ADVERTISEMENT
Jawaban naifnya, semua tergantung perspektif. Tinggal bagaimana kita mengambil sudut pandang dan mengartikannya.
Namun, hal ini berbeda dari sudut pandang psikologis. Kita akan berbicara tentang naluri manusia dan apa yang mendorong pikiran bawah sadar kita.
Pertama, mari kita bicara tentang altruisme.
Apa itu altruisme? Altruisme pada dasarnya adalah belas kasih tanpa pamrih. Contoh orang altruistik yang biasa kita lihat di layar kaca adalah Fraksi Abnegation di serial Divergent. Altruisme adalah prinsip yang melatarbelakangi seseorang untuk berlaku tulus ​​dengan makhluk lain. Secara konstruk sosial, berlaku tulus merupakan suatu kebaikan. Masyarakat memiliki standar moral yang universal dalam hal ini.
Dari sudut pandang evolusi, altruisme dianggap bukanlah sesuatu yang masuk akal. Dalam pandangan neo-Darwinisme modern, manusia pada dasarnya bersifat egois. Beberapa psikolog juga berpendapat demikian. Tidak ada yang namanya altruisme "murni". Mengapa demikian?
ADVERTISEMENT
Banyak orang melakukan hal-hal baik karena mereka percaya alam semesta akan baik pula kepada mereka.
Banyak orang berbuat baik karena mereka ingin masuk surga.
Banyak orang berbuat baik karena ingin dikenal baik.
Lihat polanya?
Setiap kali kita memberi atau membantu makhluk lain, pasti hal itu selalu mempunyai timbal balik kepada kita, terlepas dari kita menyadarinya atau tidak. Manusia pada dasarnya merupakan makhluk yang resiprokal. Makhluk yang mengharap imbalan.
Secara historis, sikap saling membantu ada agar manusia dapat mempertahankan eksistensinya. Misalnya, menurut Durkheim, jika ada pembagian kerja organik, peluang untuk bertahan hidup bagi suatu kelompok itu akan menjadi efektif. Fungsionalitas dapat mempercepat pencapaian tujuan kelompok tersebut.
Misalnya, dalam suatu kelompok kecil masyarakat purba ada yang berburu dan meramu, ada yang di rumah untuk merawat dan menjaga anak-anak mereka, dsb. Karena prinsip tolong menolong ini, manusia tidak punah hingga hari ini.
ADVERTISEMENT
Inilah mengapa para psikolog evolusi juga berpendapat bahwa altruisme terhadap orang asing merupakan semacam anomali, yaitu sisa-sisa sifat yang diwarisi secara genetik ketika manusia masih hidup di jaman purba. Sifat yang kita tanamkan karena kita ingin semua hal berada di bawah kontrol.
Berbicara tentang kontrol, Nietzsche juga pernah berpendapat bahwa setiap orang cenderung memiliki tendensi untuk berkuasa atas orang lain.
Orang-orang yang kurang beruntung seringkali membuat orang lain merasa tidak punya kontrol atas emosinya. Orang menjadi tidak bisa lepas dari rasa kasihan. Akhirnya, karena mereka merasa orang yang kurang beruntung tersebut dapat mengontrol perasaan mereka, mereka pun berusaha "merebut" kontrol itu dengan cara berbuat baik sehingga mereka tidak lagi merasa kasihan.
ADVERTISEMENT
Alasan lain yang mendorong keinginan untuk berbuat baik adalah perasaan senang yang datang setelahnya. Secara biologis, ini disebabkan oleh hormon dopamin yang berperan seperti candu, yang membuat kita terdorong untuk melakukan apa pun demi mendapatkan kesenangan itu kembali.
Mulai paham arah tulisan ini?
Manusia membantu yang lain karena mereka ingin mengikuti standar kebaikan universal yang telah ditentukan oleh suatu konstruk sosial. Namun di baliknya, secara tidak sadar terdapat agenda yang disebabkan oleh berbagai penyebab. Manusiawi, tidak semua hal selalu berada di bawah kendali kita...
Kita terlalu merendahkan kata "egois", mengasosiasikannya dengan "jahat". Padahal, "Egoism is the very essence of a noble soul" -Nietzsche.