Kudeta Militer Myanmar: Sejarah 1962 yang Terulang

nadiyah kholilah yahya
Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia
Konten dari Pengguna
12 April 2021 17:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari nadiyah kholilah yahya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pengunjuk rasa anti-kudeta berdiri di belakang barisan perisai darurat saat berdemonstrasi di Yangon, Myanmar, Selasa (9/3). Foto: AP Photo
zoom-in-whitePerbesar
Pengunjuk rasa anti-kudeta berdiri di belakang barisan perisai darurat saat berdemonstrasi di Yangon, Myanmar, Selasa (9/3). Foto: AP Photo
ADVERTISEMENT
Kudeta Myanmar yang terjadi sejak 1 Februari lalu mendapatkan banyak protes dari masyarakat sipil Myanmar dan juga masyarakat internasional. Kelompok Aktivis Assistance Association for Political Prisoners (AAPP) menyatakan bahwa sejak 1 Februari sampai 10 April tercatat 614 masyarakat sipil yang melakukan demonstrasi meninggal dunia, dengan 48 korbannya adalah anak-anak di bawah umur, dan lebih dari 2.800 demonstran ditahan oleh pihak militer.
ADVERTISEMENT
Lokasi penembakan oleh militer tidak hanya terjadi di lokasi demonstrasi, tetapi juga di dalam rumah ketika militer memaksa masuk dan menembak secara brutal.
Kudeta merupakan isu yang tidak asing bagi Myanmar, sejak merdeka dari Inggris tahun 1948, tercatat Myanmar telah mengalami tiga kali pergantian kekuasaan secara paksa. Perebutan kekuasaan antara pihak militer dan sipil bahkan menjadi fenomena biasa yang menjadi konflik setiap pemilu.
Kudeta 1962 Myanmar dipimpin oleh Jenderal Ne Win dan menurunkan Perdana Menteri U Nu yang sudah berkuasa sejak tahun 1948 karena dianggap tidak berkapabilitas dalam memimpin negara. Turunnya PM U Nu seperti menjadi pembuka rezim militer yang sangat berkuasa di Myanmar.
Karena otoriter dan represifnya rezim militer yang memimpin, para mahasiswa dan masyarakat sipil melakukan sebuah gerakan The Uprising of 888 pada 8 Agustus 1988 untuk melawan dan berusaha menolak rezim militer yang berkuasa pada saat itu. Para demonstran berupaya untuk meruntuhkan rezim militer dan menggantikan kekuasaan militer menjadi kekuasaan sipil.
ADVERTISEMENT
Akhirnya untuk meredam massa, pihak pemerintah yang dikuasai junta militer melakukan pembunuhan dengan menembak massal orang-orang yang sedang berkumpul melakukan demonstrasi. Dalam kasus ini tercatat sekitar 5.000 orang diperkirakan tewas terbunuh.
Selain The Uprising of 888 upaya protes yang dilakukan oleh masyarakat sipil juga terjadi pada tahun 2007 ketika para biksu di Myanmar berkumpul dan membangun gerakan Saffron Revolution untuk mengecam rezim junta militer Myanmar. Kedua gerakan tersebut diselesaikan dengan cara yang sama oleh pemerintahan militer yaitu kekerasan.
Kudeta Myanmar tahun 2021 tepatnya tanggal 1 Februari terjadi karena adanya dugaan kecurangan pemilu yang dilakukan oleh partai oposisi junta militer yaitu partai Liga Nasional Untuk Demokrasi (NLD). Aung San Suu Kyi yang menjadi calon presiden terpilih dari partai NLD mendapatkan total mayoritas suara mencapai 396 dari 476 di parlemen pada pemilu Myanmar November 2020.
ADVERTISEMENT
Hanya saja kemenangan ini justru dianggap tidak sah dan tidak jujur sehingga junta militer Myanmar memutuskan untuk melakukan kudeta dan mengisi kekuasaan dalam kurun waktu satu tahun sebelum pemilu ulang dilaksanakan. junta militer Myanmar juga melakukan penahanan terhadap presiden Myanmar Win Mynt, penasihat negara Aung San Suu Kyi, dan tokoh partai NLD.
Militer yang memiliki kekuatan dan kekuasaan yang besar menjadi salah satu faktor pendorong terjadinya kudeta, sejak tahun 1962 rezim militer berkuasa dan selalu berupaya untuk mempertahankan posisi politiknya. Hal ini jelas tidak sesuai dengan nilai-nilai demokrasi yang sudah diterapkan di Myanmar sejak tahun 2010 lalu.
Adanya rezim otoriter yang dipimpin oleh militer seolah-olah menjadi penyakit dalam perpolitikan Myanmar karena ada kemungkinan terulang kembalinya kudeta di masa yang akan datang.
ADVERTISEMENT
Politik militer yang sudah dijalankan memiliki pola yang relatif sama, yaitu jika bukan partai yang didukung oleh militer yang memenangkan pemilu, maka pihak militer akan menyatakan bahwa pemilu tersebut tidak sah dan penuh kecurangan. Hal ini memperlihatkan perpolitikan dan konstitusi di Myanmar cenderung dikuasai oleh kepentingan pihak militer.
Untuk mempertahankan kekuasaan politiknya militer bahkan mengubah konstitusi dengan membuat aturan terkait porsi 25% kursi di parlemen yang sifatnya paten dan tidak bisa di ganggu gugat. Aturan inilah yang menyebabkan Aung San Suu Kyi akhirnya tidak mampu menjadi Presiden Myanmar setelah memenangkan pemilu tahun 2015.
Masyarakat Myanmar melakukan aksi menolak kudeta karena tidak ingin mengulang sejarah kelam Myanmar yang dikuasai oleh militer. Tidak hanya dengan demonstrasi, masyarakat Myanmar juga menggalang dukungan internasional untuk menekan rezim militer di Myanmar melalui media sosial seperti Twitter, TikTok, dan juga Instagram.
ADVERTISEMENT
Meskipun sempat dilakukan pembatasan akses internet, pesan-pesan solidaritas yang ingin di galang masyarakat Myanmar berhasil sampai di dunia Internasional.
Adanya pelanggaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan demokrasi, terjadinya banyak kekerasan, dan juga semakin bertambahnya korban jiwa setiap harinya menyebabkan semakin besarnya kecaman yang diberikan oleh masyarakat global.
Christine Schraner Burgener selaku utusan khusus dari PBB bahkan memberikan peringatan kepada junta militer Myanmar mengenai akibat-akibat yang kemungkinan terjadi jika kekerasan terhadap masyarakat sipil tidak dihentikan.
Dalam kasus kudeta Myanmar, ASEAN harus tegas mengambil tindakan dan juga ikut serta dalam mengatasi permasalahan di Myanmar, ASEAN sebagai organisasi regional di Asia Tenggara juga memiliki tanggung jawab untuk berperan aktif untuk menghentikan bertambahnya jumlah korban dari masyarakat sipil yang tidak bersalah. ASEAN juga harus lebih fleksibel dalam melihat prinsip non intervention ASEAN dan tidak menutup mata tentang kekerasan juga tindak kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di Myanmar.
ADVERTISEMENT
Tidak ada yang lebih jahat daripada membunuh dan melakukan tindak kekerasan kepada masyarakat sipil yang tak bersenjata, dan untuk menghentikan adanya pengulangan sejarah kelam di masa lalu, semua pihak harus ikut terlibat demi kemanusiaan.