Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Kondisi Ekonomi Wilayah Pekalongan dan Sekitarnya di Masa Kolonial
21 Agustus 2022 12:00 WIB
Tulisan dari Nadiyatul Khusna tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebagai makhluk sosial kehidupan sehari-hari manusia tidak lepas dari kegiatan ekonomi. Hal tersebut sebagai salah satu upaya manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya atau cara bertahan hidup. Wilayah Pekalongan dan sekitarnya yang berada di kawasan Pantai Utara juga tidak terlepas dari kegiatan ekonomi. Bahkan sudah berlangsung sejak lama dan pembahasan kali ini akan mengulik kondisi ekonominya selama cultuurstelsel atau lebih luasnya saat penjajahan Belanda secara singkat.
ADVERTISEMENT
Perlu diketahui, pada awal abad 19 eksistensi beras Pekalongan dan sekitarnya yang sebagai barang dagangan berganti menjadi hanya barang ekonomi subsisten atau kebutuhan setempat. Disebabkan oleh banyaknya lahan yang dipakai untuk kepentingan tanaman ekspor, nila dan tebu selama cultuurstelsel. Para petani juga harus kehilangan jatah tanahnya dan banyak waktunya yang tersita. Hal ini tidak sesuai dengan yang ada di peraturan sebagaimana dirancangkan Van den Bosch.
Ironisnya, di tahun 1832 terjadi kemunduran beras Pekalongan dan sekitarnya hingga harus mengimpor dari karesidenan lain untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setempat. Defisit beras ini terjadi sampai cultuurstelsel berakhir. Terlihat pada menurunnya jumlah produksi, di mana pada tahun 1829 sebanyak 48.231 pikul menjadi 40.915 di tahun 1830 hingga tersisa 7.885 di tahun 1836.
ADVERTISEMENT
Berbagai upaya telah dilakukan gubernemen untuk mengatasi kekurangan beras. Seperti menanam varietas padi baru yang memiliki kualitas buruk (genjang) yang matang dalam waktu singkat dan cocok ditanam pada sawah kering. Akan tetapi, tidak ada yang berhasil sehingga harga beras yang mahal dari 69 gulden per koyang (1831) naik menjadi 148 gulden (1846) harus dibeli oleh bumiputera untuk mendapatkan beras.
Sementara, saat pemerintahan Daendels terjadi penanaman 45.700.000 pohon kopi sehingga di pesisir Utara Jawa mulai tersebar tanaman kopi. Hal tersebut sebagai cara untuk memperluas budidaya kopi yang ada di Priangan. Mengapa kopi? Karena kopi sebagai tanaman tahunan, keras, tidak membutuhkan perawatan intensif juga bisa ditanam pada tanah yang tidak cocok untuk pertanian. Maka tidak akan mengganggu produk pertanian dan pemetikannya yang empat bulan sekali tidak akan mengganggu petani bila diperlukan tenaga kerja baru.
ADVERTISEMENT
Dalam proses pemetikan kopi diperlukan pengawasan yang dilakukan oleh para mandor. Biasanya mereka dari kalangan dessa bestuur yang diangkat oleh gubernemen. Tidak berhenti disitu, pengawasan terus dilakukan hingga kopi diantar ke gudang tepi pantai oleh para wedana di distrik tersebut. Bahkan sebelum masuk gudang ada penimbangan terlebih dahulu yang juga diawasi oleh wedana beserta seorang mantri kopi. Selain itu, perlu dilakukan pemeriksaan oleh spinder-sinder bangsa Eropa agar bisa diketahui bila terdapat kerusakan.
Pada masa kolonial ini tidak hanya kopi yang ditanam tetapi juga dilakukan penanaman nila. Sebelum gubernemen menghapus sistem sewa desa, pada tahun 1816 orang-orang Tionghoa menanam nila dengan penyewaan desa. Alasan sistem tersebut dihapus karena adanya pengaruh pola pikir liberal dari Daendels dan para penggantinya dengan anggapan petani akan tertindas (sebelum cultuurstelsel). Dengan begitu, di tahun 1820 para tenaga kerja bebas banyak digunakan untuk manufaktur nila.
ADVERTISEMENT
Penyerapan tenaga kerja untuk mengolah nila semakin tinggi selama cultuurstelsel. Pada tahun 1841 sekitar 59 persen dari populasi karesidenan Pekalongan terlibat dalam pengolahan 4.700 bau sawah nila. Mereka dibagi menjadi dua yaitu yang bekerja di pabrik nila gubernemen dan pabrik nila bumiputera (kerja sama orang Tionghoa dan keluarga bupati).
Pabrik Gula
Tanpa banyak diketahui, Pekalongan sudah memiliki tiga pabrik di tahun 1830 sebagai pabrik penggilingan tebu-tebu gubernemen. Kedua pabrik terletak di Desa Wonopringgo dan Desa Klidang yang dikelola oleh orang Tionghoa. Sedangkan satu pabrik oleh bekas pedagang besar Inggris yang ikut serta kerja administratif pasca Raffles yakni Alexander Loudon. Kemudian di tahun 1837-1838 dibangun tiga pabrik modern yaitu Wonopringgo, Sragi dan Kalimati.
ADVERTISEMENT
Pada Mei 1842, penanaman tebu diperluas di Desa Kalipucang Kulon, Watesalit dan Karanganyar. Di mana pada saat itu juga di Kabupaten Batang (Karesidenan Pekalongan), penanaman lahan tebu sedang dirotasi. Bupati menyampaikan secara langsung kepada para kepala desa terkait instruksi gubernemen yang menginginkan tanah baru serta berkondisi baik untuk penanaman tebu selama dua tahun atas permintaan residen.
Hingga akhirnya Kabupaten Batang harus dihapus dan bergabung dengan Kabupaten Pekalongan setelah Staatsblad nomor 632 dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada taggal 31 Desember 1935. Kedua kabupaten tersebut resmi bergabung sejak 1 Januari 1936.
Demikian pembahasan singkat tentang kondisi ekonomi di Pekalongan dan sekitarnya yang mungkin belum banyak diketahui. Semoga dapat bermanfaat buat teman-teman sekalian.
ADVERTISEMENT