Pencemaran Kali Banger di Pekalongan Tahun 1990-2010

Nadiyatul Khusna
Mahasiswa Sejarah Universitas Negeri Semarang
Konten dari Pengguna
26 Januari 2023 21:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nadiyatul Khusna tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kondisi Kali Banger Sekarang Jauh Lebih Bersih dari Limbah dan Sampah. Sumber Foto : Dokumentasi Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Kondisi Kali Banger Sekarang Jauh Lebih Bersih dari Limbah dan Sampah. Sumber Foto : Dokumentasi Pribadi
ADVERTISEMENT
Pencemaran Sungai di Pekalongan pasti sudah tidak asing lagi di telinga teman-teman. Bahkan salah satu dari kalian mungkin sudah pernah mendengar istilah dari masyarakat Pekalongan, apabila sungai-sungai di Pekalongan bersih sebagai pertanda industri batik sedang lesu atau rezeki masyarakat seret. Sebaliknya ketika sungai pekat akibat limbah menunjukkan bahwa industri batik masih berjalan normal dan rezeki masyarakatnya lancar. Istilah ini mungkin terdengar seperti lelucon tetapi setidaknya pencemaran ini sudah berlangsung sejak lama dari penggunaan kata “Banger” untuk penyebutan sungai di Pekalongan.
ADVERTISEMENT
Perlu diketahui, terhitung sejak tahun 1980-an terdapat empat pabrik tekstil yang ikut terlibat dalam pencemaran Kali Banger. Empat pabrik tersebut yaitu PT. Kesmatex II dan III, PT. Ezritex dan PT. Bintang Triputratex yang berdiri dan beroperasi di sekitar aliran Kali Banger. Namun, kesadaran warga akan bahaya pencemaran air tersebut baru muncul pada awal tahun 1990-an. Ketika air dari Kali Banger dimanfaatkan oleh warga untuk mengairi sawah karena Dam yang digunakan sebagai pengganti Dam Setono jebol. Air sungai yang tercemar limbah zat-zat kimia dari pabrik atau industri batik membuat padi mereka gagal. Tanaman-tanaman mereka menjadi kuning, air berubah rasa menjadi masam dan pahit sebab sumur-sumur yang ikut tercemar, kehidupan sungai semakin langka di mana ikan-ikan pada mati, hewan-hewan ternak seperti kambing juga mati karena meminum air sungai hingga penyakit yang menyerang masyarakat
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1995 terjadi kelesuan industri-industri batik tradisional tetapi hal itu tidak membuat turunnya tingkat pencemaran sebab terjadinya peningkatan pada teknologi printing batik. Semakin pekat dan merugikannya Kali Banger membuat masyarakat mulai mengadu atau menuntut pemerintah dan pabrik. Dimulai dari tahun 1996 sampai 1997 di mana masyarakat melakukan unjuk rasa ke pabrik tekait, Pemda Kodya Pekalongan hingga ke DPRD Tingkat I Jawa Tengah. Namun, ketidakjelasan dan penanganan yang lambat membuat masyarakat mengadu ke Komnas HAM dan Bapedal. Bahkan melalui Perburuhan dan Lingkungan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, pada akhir Agustus 1997 mendaftarkan surat gugatan ke Pengadilan Negeri Pekalongan untuk meminta ganti rugi.
Unjuk rasa ini tidak hanya dilakukan oleh masyarakat setempat tetapi juga dibantu oleh mahasiswa untuk menagih janji pemerintah. Dilakukannya dialog antara pabrik, masyarakat dan pemerintah tidak menghasilkan sesuatu yang signifikan. Berbagai Keputusan Pemerintah yang ditetapkan seakan tidak digubris sehingga Kali Banger terus tercemar. Bahkan, pembuangan limbah ke Kali Banger ini dengan warna yang lebih pekat. Tidak hanya warna airnya yang berubah, pencemaran ini menyebabkan bau yang menyengat. Sebenarnya pencemaran ini tidak hanya mencemari Kali Banger dan air sungai secara umumnya. Namun, juga mencemari prasarana sanitasi pengumpulan limbah pemukiman karena ada limbah yang dibuang ke saluran air. Hal itu berakibat pada tercampurnya limbah cair dari batik dengan limbah rumah tangga yang kemudian akan mengumpul, mengendap dan semakin lama merembes ke tanah. Limbah yang masuk ke tanah itu yang akan merusak kualitas air sumur masyarakat
ADVERTISEMENT
Hingga memasuki tahun 2000-an ke atas kondisi dari Kali Banger masih tercemar dengan limbah buangan industri batik. Akan tetapi, apabila ada anggapan tercemarnya Kali Banger sepenuhnya diakibatkan pembuangan limbah batik itu kurang tepat. Sebutan batik merujuk pada batik cap atau tulis bukan tekstil bermotif batik yang biasa disebut batik printing. Dari data Dinas Lingkungan Hidup Kota Pekalongan menunjukkan bahwa batik tulis atau cap bukan sebagai penyumbang utama dalam pencemaran Kali Banger. Apabila dirata-rata limbah yang dihasilkan batik printing sekitar 517,166 m³ jauh lebih banyak dibandingkan batik cap atau tulis yang sekitar 359,25 m³. Meskipun keduanya tidak terlepas dari bahan kimia maupun sintetik.
Permasalahan ini tidak kunjung usai hingga peresmian Museum Batik dan Kampung Batik Kauman Kota Pekalongan pada September 2007. Penyebab pencemaran tidak sepenuhnya salah dari limbah batik. Berdasarkan Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah Kota Pekalongan Tahun 2009 melaporkan bahwa di Kali Banger terdapat banyak pembusukan dari sampah organik seperti sampah rumah tangga, eceng gondok dan sebagainya. Sampah organik ini mengakibatkan cahaya matahari yang masuk ke air sungai sedikit sehingga fotosintesis tidak dapat terjadi. Terbatasnya oksigen di dasar sungai membuat kehidupan makhluk hidup baik tanaman maupun hewan yang hidup di air sungai menjadi terbatas dan bergantung pada oksigen terlarut. Kehidupan sungai pun akan sulit ditemukan di Kali Banger. Kemudian air Kali Banger yang sudah tercemar limbah batik rumah tangga dan sampah lainnya ini akan mengalir ke laut yang berakibat tercemarnya muara sungai. Hewan dan tumbuhan yang hidup di sungai akan mati sehingga habitat alami dari sungai akan musnah.
ADVERTISEMENT
Masih banyak dilakukan pembuangan limbah cair ke sungai di Pekalongan khususnya Kali Banger. Hal ini membuat pemerintah Kota Pekalongan mendirikan IPAL terpadu agar industri yang tidak mempunyai Unit Pengolah Limbah (UPL) seperti industri rumah tangga dapat mengolah limbahnya. Namun, pada tahun 2010 terjadi perubahan dari tahun sebelumnya di mana berdasarkan Kriteria Pencemaran (Kep MENLH/115/2003) pencemaran sungai di Pekalongan termasuk Kali Banger adalah kriteria ringan. Melalui parameter COD terlihat bahwa pencemaran ringan di Sungai Pekalongan ini hampir menyeluruh dari hulu hingga hilir sungai.
Beberapa upaya dari BLH/DLH yaitu memberi perizinan, clean production, pembuatan IPAL, sosialisasi, pengecekan baku mutu air sungai, dan penambahan IPAL. Berbagai upaya tersebut harus dibarengi dengan kesadaran dan kepedulian masyarakat untuk melestarikan lingkungannya. Dengan begitu, baik limbah batik, rumah tangga hingga sampah organik atau hasil keseharian masyarakat dapat teratasi dan Kali Banger bisa berangsur lebih baik agar kembali dimanfaatkan masyarakat.
ADVERTISEMENT