Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.92.0
Konten dari Pengguna
Media Sosial, Wadah Hiburan atau Pembodohan?
13 November 2024 8:15 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari nadjwady tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Seiring perkembangan teknologi kian maju, media sosial hadir sebagai alat manusia untuk berkomunikasi dan berbagi pesan dengan orang-orang di berbagai belahan dunia tanpa terbatas ruang dan waktu. Karena perkembangan media sosial, masyarakat dengan gampang untuk mencari dan menyebarkan informasi. Salah satu media sosial yang sangat populer saat ini yaitu TikTok. TikTok sebagai platform media sosial populer mengubah cara manusia dalam mengonsumsi informasi, bersosialisasi, dan berinteraksi. Tiktok merupakan media sosial yang menawarkan audio-visual menarik sebagai fokus bentuk kontennya. Sajian video-video yang menarik ini, membuat pengguna aplikasi Tiktok meningkat pesat selama beberapa waktu belakangan.
ADVERTISEMENT
Dikutip dari data GoodStats, pengguna aplikasi Tiktok secara global mencapai 1,58 miliar pada tahun 2024. Indonesia sendiri, menjadi negara dengan pengguna Tik Tok terbesar di dunia, yaitu mencapai 157,6 juta pengguna. Tiktok memiliki keunggulan daripada media sosial lain, seperti kemudahan pengguna, kreativitas penyajian konten visual, hingga algoritma cerdas yang berperan di dalamnya. Saat membuka media sosial ini, informasi yang akan disajikan merupakan topik-topik yang sedang naik daun dan memiliki interaksi tinggi. Pengguna juga memungkinkan untuk membuat, berbagi, hingga eksplor kreativitas video dalam berbagai format penyajian yang dapat menghibur penggunanya.
Namun, layaknya napza, Tiktok menimbulkan ketergantungan bagi penggunanya. Adiksi dari media sosial berdampak buruk terhadap manusia. Teknologi media sosial seharusnya menjadi alat yang memudahkan manusia dalam beraktivitas, justru memperdaya manusia. Bagaimana tidak, apabila mengutip data GoodStats, orang Indonesia menghabiskan waktu di media sosial hingga 7 jam lebih setiap harinya, dan Tiktok lah media sosial yang paling sering dikunjungi. Ini berarti bahwa masyarakat Indonesia mulai kecanduan platform media sosial. Dan kabar buruknya, beberapa penelitian menyebutkan bahwa kecanduan TikTok dapat menimbulkan penurunan kognitif otak manusia. Tidak seperti media sosial lain semacam Facebook, Instagram, YouTube yang beranda utamanya merupakan konten berdasarkan akun yang diikuti oleh pengguna, atau yang berfokus pada jejaring pertemanan, beranda TikTok secara eksplisit berpusat terhadap pengguna atau user centered.
ADVERTISEMENT
Algoritma TikTok memunculkan rekomendasi berdasarkan konten yang diminati dan preferensi pengguna untuk mengikuti akun tertentu, atau dikenal sebagai laman for you page (fyp). Ketika seseorang mengonsumsi konten berisi informasi yang sangat cepat dan terus menerus seperti di aplikasi TikTok, otak dipaksa untuk menerima informasi dalam jumlah yang banyak dan tempo yang cepat. Pola konsumsi informasi seperti ini mengakibatkan cara kerja otak berubah dan mengalami penurunan perhatian juga kemampuan otak untuk fokus terhadap tugas-tugas yang membutuhkan fokus tinggi. Hal ini menimbulkan kekhawatiran banyak pihak karena berdampak pada fungsi kognitif dan perilaku pengguna.
Penelitian yang dilakukan oleh Su dkk (2021) menemukan bahwa pengguna yang disajikan konten berdasarkan preferensi pengguna akan mengakibatkan aktifnya autobiographical memory, yang mana berhubungan dengan kesenangan pengguna melihat video yang cocok dengan dirinya dan pengalamannya. Area lain yang terkena apabila berlebihan yaitu Grey Matter Volume (GMV) pada Amygdala. GMV ini bertanggungjawab terhadap emosi, memori, pemrosesan informasi, dan pengambilan keputusan. Sehingga, penurunan di area GMV ini akan mengakibatkan penurunan pada kemampuan seseorang di memorinya, yang berdampak terhadap proses pembelajaran dan kognitif. Dan yang menariknya, kecanduan media sosial ini juga terjadi pada pecandu narkoba (Wicaksono, dkk. 2024). Kemudian penelitian lain dari International Journal of Environment Research and Public Health terhadap 3.036 siswa menengah di China menemukan bahwa siswa yang kecanduan TikTok mengalami penurunan dalam kapasitas memori kerja, dan juga memiliki skor tinggi terhadap kasus kecemasan, stress, dan depresi.
ADVERTISEMENT
Dapat kita lihat, adiksi media sosial menimbulkan dampak buruk yang tidak main-main. Padahal, awal munculnya media sosial dirancang sebagai alat untuk memudahkan manusia dalam berkomunikasi dan terhubung dengan rekan dan keluarga yang jauh. Namun, semakin berkembang, teknologi ini menimbulkan dampak ke arah yang berbeda. Media sosial yang fungsi utamanya untuk berkomunikasi kini beralih peran menjadi wadah hiburan. Interaksi yang tadinya bermakna untuk menghubungkan orang-orang tersayang dari berbagai tempat dan waktu berubah menjadi racun konsumtif konten. Dan jalinan mendalam dengan orang tersayang kini berubah menjadi sekedar emoji singkat serta datar, membuat hubungan interpersonal kian renggang dan dangkal.
Teknologi harusnya hanya digunakan sebagai alat manusia dalam mencapai tujuan hidup, dan mengakses sesuatu dengan mudah dan cepat. Bukan memperdaya kita dengan menjadi pengguna platform yang aktif terperangkap berjam-jam di dalamnya, membuat manusia lupa waktu dan sekitar. Waktu berjam-jam hanya digunakan untuk menggulir layar mencari hiburan membuat hidup tidak produktif. Ilusi yang diciptakan media sosial ini menipu manusia. Seolah-olah berinteraksi dengan banyak orang, tetapi kenyataannya, pengguna cenderung terasing dari kehidupan nyata dan hanya hidup di dunia digital. Teknologi tidak lagi menjadi alat bantuan, melainkan menjadi alat yang mengontrol. Media sosial telah menggantikan pertemuan tatap muka dan komunikasi yang mengesankan menjadi datar dan impersonal. Menyedihkan.
ADVERTISEMENT
Jangan pernah lupa, teknologi hanyalah alat ciptaan manusia. Apakah akan menjadi alat yang memperdayakan atau memberdayakan itu bergantung terhadap kontrol dari penggunanya. Ingatlah bahwa kita yang memiliki kendali terhadap teknologi. Jadikanlah teknologi untuk membantu kita dalam beraktivitas atau mencapai tujuan, bukan malah mengontrol kita dan mengecoh kita.