Bandung Punya Makna

Nadhifa Putri Nauramiyanti
Mahasiswi Jurnalistik Politeknik Negeri Jakarta
Konten dari Pengguna
15 Juli 2021 14:58 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nadhifa Putri Nauramiyanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: kumparan.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: kumparan.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Siapa yang tidak kenal kota Bandung, salah satu kota metropolitan terbesar di Jawa Barat. Bandung memiliki daya tarik tersendiri bagi siapa saja yang menyinggahinya. Kota modern dengan berbagai destinasi wisata menarik yang membuat pengunjungnya rindu akan kota ini.
ADVERTISEMENT
Gedung sate, kawah putih ciwidey, dan wisata lembang sudah tidak asing lagi untuk didengar. Objek wisata Bandung memang sudah beragam, mulai dari wisata kota, alam dan budaya. Tak heran jika Bandung merupakan salah satu destinasi wisata favorit di Indonesia.
Namun, lebih dari sekadar berwisata, kota ini bisa dinikmati dengan jalan-jalan ke tempat yang mempunyai suasana tenang dan asri. Ada beberapa spot menarik yang bisa dikunjungi jika hanya ingin menikmati pemandangan, mendengar suara lalu-lalang kendaraan, bahkan melihat orang berpose untuk diunggah ke sosial medianya.
Demikian juga dengan saya, saat pertama kali menginjakkan kaki di kota yang dijuluki sebagai Paris Van Java ini. Lengkung senyum di wajah tidak bisa disembunyikan lagi. Bandung, salah satu kota yang masuk daftar keinginan saya untuk dikunjungi. Apalagi bisa berfoto di spot latar belakang dinding bertuliskan dua tokoh terkenal yang sempat viral itu.
ADVERTISEMENT
Ketika itu diajak oleh Ayah untuk menemaninya bekerja. Tidak perlu menolak, karena Bandung-lah alasannya. Perjalanan yang memakan waktu sekitar tiga jam itu, rasanya tidak henti untuk melihat pemandangan asri nan sejuk dari kaca jendela mobil. Sambil mendengarkan lagu yang disambungkan melalui handphone, saya dan Ayah sangat menikmati setiap kilometer perjalanannya.
Sesampainya di kantor tempat Ayah bekerja, saya tetap menunggu Ayah di mobil karena katanya tidak akan lama. Sekitar tiga puluh menit, Ayah yang sudah masuk ke dalam mobil dan menemukanku sedang hanyut di alam mimpi. “Hei, habis ini makan dulu, ya. Anak Ayah pasti sudah lapar," ujarnya. Ya, memang hari sudah semakin gelap. Saya dan Ayah melanjutkan perjalanan untuk mengisi perut yang sudah berbunyi dari sore tadi.
ADVERTISEMENT
Setelah makan, karena kami tidak berniat untuk menginap, saya mengajak Ayah untuk sekadar berjalan-jalan menyusuri kota Bandung. Tak lupa saya meminta Ayah untuk membantu mewujudkan wish list itu. Dengan ukiran senyum wajahnya, Ayah mengajak ke salah satu tempat legendaris di Bandung.
Melewati Jalan Braga, sebuah kawasan ikonik yang berada di dekat pusat Kota Bandung. Ruas jalan yang selalu dipadati para wisatawan, baik lokal maupun luar kota. Sisi kanan dan kiri yang dipenuhi oleh barisan bangunan tua warisan Hindia Belanda memiliki nilai arsitektural yang kuat. Selain itu, deretan kafe serta toko-toko makanan hingga aksesoris menjadi daya tarik tersendiri dari jalan yang memiliki sejarah unik tersebut. “Tenang ya rasanya, nak”, ujar Ayahku sambil menyetir mobil.
ADVERTISEMENT
Inilah yang saya tunggu, Jalan Asia Afrika. Tempat di mana dinding viral itu berada. Area yang kerap menjadi favorit pengunjung kala berwisata ke Bandung, karena di sini kita bisa menikmati kemegahan kota kembang itu. Ayah memutuskan untuk memarkirkan mobilnya dan mengajak saya turun karena katanya lebih pas jika dinikmati sambil berjalan kaki.
Pertama, masuk ke kawasan alun-alun, kami disambut hamparan rumput sintetis luas. Nampak anak-anak yang bermain dan berlarian, sementara yang dewasa lebih memilih duduk-duduk santai sambil berfoto. Ayah yang sudah siap dengan kamera handphone-nya memotret saya dengan aba-aba.
Di sisi timur, tak jauh dari alun-alun, ada sebuah jembatan penyebrangan besar. Mata saya sudah membelalak ketika mendapatkan dinding viral itu. Saya segera menarik baju Ayah untuk mengunjungi tempat tersebut. Saya berdiam diri terlebih dahulu untuk melihat dan membaca kedua tulisan itu.
ADVERTISEMENT
“Bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum”
Demikian penggalan kalimat yang pertama kali saya lihat. Tulisan karya M. A. W Brouwer, seorang fenomolog, psikolog, budayawan yang sangat dikenal karena kolom-kolomnya yang tajam, sarkastik dan humoris. Setelah mencari tahu, tulisan ini bukan sekadar tulisan yang terpampang. Tulisan yang menggambarkan suasana kota Bandung. Pesonanya yang memang kerap buat orang rindu karena siapapun yang pernah mampir pasti ingin kembali lagi dan lagi.
“Dan Bandung bagiku bukan cuma masalah geografis, lebih dari itu melibatkan perasaan yang bersamaku ketika sunyi”
Tulisan kedua yang saya lihat. Kali ini karya dari seorang seniman serba bisa asal Bandung yang juga terkenal dengan novelnya "Dilan". Ya, Pidi Baiq. Sama halnya dengan tulisan pertama, karya Pidi Baiq ini juga memiliki arti yang berkesan. Bagaimana sesungguhnya kota Bandung terlalu berarti bagi mereka yang telah menjadi penghuni atau bahkan bagi semua yang singgah.
ADVERTISEMENT
Sangat mendalam. Saya merasakan hal yang sama ketika membaca kedua tulisan tersebut. Satu kalimat, banyak makna. Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, saya meminta Ayah untuk memotret dan saya langsung berpose dengan gaya berubah-ubah. “1…2…3… ganti gaya, 1… 2… 3… lagi”.
Walaupun sudah malam, benar saja, ketika itu banyak wisatawan yang ingin berfoto di dindingnya. Bahkan, ada seorang fotografer dan modelnya sedang melakukan photoshoot. Tidak heran jika rela menunggu sepi pengunjung untuk bisa berfoto.
Ah, senang rasanya salah satu wish list bisa terwujud, yaitu foto di tempat ikonik kota Bandung. Kota yang menurutku kota romantis. Entah, karena Bandung bisa membuat saya ‘jatuh cinta’. Bukan karena terciptanya kisah cinta Dilan dan Milea. Namun lebih dari itu, suasananya yang membuat saya semakin terhanyut.
ADVERTISEMENT
“Jangan rindu. Ini berat, kau tak akan kuat. Biar aku saja”. Ya, benar kata Dilan, rindu memang berat, apalagi rindu mengunjungi kota Bandung. Karena Bandung bukan soal kota, tetapi cerita.
(Nadhifa Putri Nauramiyanti/Politeknik Negeri Jakarta)