Konten dari Pengguna

Mengenal Fenomena 'Pick Me Girl'

Nadhifa Putri Nauramiyanti
Mahasiswi Jurnalistik Politeknik Negeri Jakarta
10 Juli 2021 13:08 WIB
·
waktu baca 2 menit
clock
Diperbarui 13 Agustus 2021 14:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nadhifa Putri Nauramiyanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: freepik.com
ADVERTISEMENT
“Gue lebih suka naik gunung ketimbang ke salon kayak cewek-cewek lain”
ADVERTISEMENT
“Ih, gue sih sukanya film action daripada drakor”
“Hadeh, boro-boro dandan, gak suka. Paling pake bedak bayi aja”
Di antara kalian pernah tidak mengatakan seperti itu di depan teman-teman perempuan? Kalau pernah, kalian tidak boleh seperti itu lagi. Karena apa? Ternyata perbuatan itu merupakan usaha perempuan agar ia “dipilih” oleh laki-laki. Maksudnya? Yup, mari kita bahas bersama.
Fenomena “Pick Me Girl” terjadi ketika perempuan mencoba untuk membedakan dirinya dari perempuan lain dengan cara tidak sehat. Mereka mengejek peran feminim perempuan lain dengan tujuan agar mendapat pujian dari laki-laki. Tidak hanya itu, hal ini juga memperlihatkan bahwa perempuan berusaha untuk mendapatkan validasi dari laki-laki dan mendorong untuk menolak sisi feminim mereka. Ya, kalau kata kasarnya “ngerendahin”.
ADVERTISEMENT
Rasanya memang menyebalkan ketika ada perempuan lain yang menganggap “keren” jika tidak termasuk kategori feminim. Padahal, sebagai perempuan melakukan kegiatan feminim menjadi hal yang lumrah. Tidak salahnya jika suka ke salon, karena itu juga bagian dari merawat diri, kan? Apalagi lebih memilih menonton drakor, lho memang selera setiap orang berbeda-beda. Pun dandan juga tidak masalah kalau niatnya cantik untuk diri sendiri, bukan untuk validasi laki-laki.
Jangan salah, dulu saya termasuk dari bagian pick me girl.
Merasa paling “boyish” dan bangga kalau teman saya yang laki-laki melihat saya sebagai one of the boys. Saat itu, seakan berbeda dari perempuan yang lain. Ya, lebih tepatnya unik dan tidak pasaran. Sampai suatu ketika, pernah ada satu teman laki-laki saya bilang, “Lo tomboy, ya”. Mendengar hal itu, dengan semangat empat lima saya menjawab, “Iya, gue gak suka yang feminim gitu”. Jika diingat lagi kalau dulu saya se-menyebalkan itu, hanya bisa mengelus dada. Rasanya ingin meminta maaf kepada teman saya yang perempuan bahwa dulu tidak seharusnya berbicara hal itu.
ADVERTISEMENT
Jika bertanya, apa salah satu penyebab yang membuat saya dulu bagian dari pick me girl? Setelah mencari tahu, adanya korelasi antara pick me girl dan internalized misogyny. Harus dipahami bahwa ternyata internalized misogyny menjadi penghubung antara seksisme (pembagian gender yang kaku) dan gangguan psikologis wanita.
Jadi, faktor yang bisa menjadikan saya sebagai pick me girl karena adanya sifat internalized misogyny. Karena tumbuh di masyarakat yang “seksisme” itu, seringkali saya mengalami bahwa perempuan yang lebih mahir di bidang laki-laki (olahraga, musik) dianggap keren. Sedangkan, mereka (perempuan) yang hanya bisa melakukan hal-hal girly dianggap remeh.
Bukan, bukan tidak boleh mengikuti hal-hal yang laki-laki lakukan atau melarang untuk menjadi tomboy. Tentunya bebas untuk kalian (perempuan) menyukai hal apapun. Karena yang paling terpenting di sini justru harus lebih mendukung sesama perempuan, bukan sebaliknya. Tanpa validasi orang lain, kita tetap berharga dan tidak perlu menjatuhkan perempuan lain. Maka dari itu, setiap orang punya cara berbeda untuk mengekspresikan dirinya dan perempuan bisa keren tanpa validasi laki-laki.
ADVERTISEMENT
(Nadhifa Putri Nauramiyanti/Politeknik Negeri Jakarta)