Konten dari Pengguna

Transpuan dan Penerimaan: Reaksi Sosial Pondok Pesantren Al-Fatah Yogyakarta

Nadya Almira
Mahasiswa, Universitas Gadjah Mada.
18 Oktober 2021 21:10 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nadya Almira tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Perjalanan menuju Pondok Pesantren Transpuan Al-Fatah, Yogyakarta (Sumber: Pribadi).
zoom-in-whitePerbesar
Perjalanan menuju Pondok Pesantren Transpuan Al-Fatah, Yogyakarta (Sumber: Pribadi).
ADVERTISEMENT
Setiap manusia memiliki hak dasar dalam hidupnya, yaitu Hak Asasi Manusia (HAM). Namun, dewasa ini masih banyak manusia yang tidak dapat memperoleh haknya. Salah satu permasalahan ini datang dari kaum transpuan, transgender perempuan atau laki-laki yang lebih suka mempresentasikan dirinya sebagai perempuan. Permasalahan yang dialami transpuan adalah permasalahan terkait diskriminasi.
ADVERTISEMENT

Diskriminasi Transpuan

Masyarakat cenderung berpikiran negatif kepada transpuan sehingga mereka melakukan tindakan tidak bermoral sebagai sesama manusia. Contoh perilaku diskriminasinya meliputi banyak hal. Dalam hal ekonomi, yaitu tidak tersedianya lapangan kerja bagi transpuan sehingga mereka terpaksa menjadi pemulung, pengamen, dan bahkan pekerja seks untuk bertahan hidup. Dalam hal kesehatan, mereka tidak mendapatkan pelayanan kesehatan karena tidak memiliki kartu identitas dan beberapa pekerja enggan untuk memeriksa mereka.
Bahkan, mereka pun menerima diskriminasi dalam menjalankan ibadah. Pada saat mereka pergi ke tempat ibadah, tidak jarang orang enggan bersalaman. Kemudian saat melaksanakan salat, tidak jarang juga orang yang memilih untuk pergi dan tidak beribadah di dekat mereka. Bahkan, perbuatan tidak menyenangkan juga datang dari anak-anak yang sering menghina dan menertawakan mereka. Perlakuan-perlakuan tersebut membuat mereka takut untuk kembali beribadah di tempat ibadah umum.
ADVERTISEMENT
Meskipun begitu, transpuan tidak selalu identik dengan hal negatif yang dikatakan oleh masyarakat. Mereka juga makhluk yang berketuhanan. Hal ini dapat dibuktikan dengan berdirinya Pondok Pesantren Al-Fatah di Kotagede, Yogyakarta, sebagai pondok pesantren khusus transpuan. Inisiatif dalam mendirikan pondok pesantren ini berangkat dari kegelisahan para transpuan yang merasa tidak aman apabila mereka beribadah di tempat umum. Hadirnya Pondok Pesantren khusus untuk transpuan tentunya mendatangkan reaksi sosial yang beragam, terlebih dari warga sekitar pondok pesantren.
Penelitian Tim PKM-RSH "Transpuan dan Penerimaan: Reaksi Sosial Masyarakat Terhadap Pondok Pesantren Transpuan Al-Fatah Yogyakarta".
Kasus diskriminasi kepada transpuan sangat menarik dan menimbulkan rasa penasaran bagi para mahasiswa Universitas Gadjah Mada. Oleh karena itu, tim Program Kreativitas Mahasiswa-Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH) dari Universitas Gadjah Mada yang diketuai oleh Nadindra Paramadeya P dari Fakultas Psikologi dan beranggotakan Chairunnisa Azalia dari Fakultas Psikologi, Armila Shabrina H, Fatin Hilatun N, dan Nadya Almira R dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis, dan dibimbing oleh Acintya Ratna S.Psi., M.A. melakukan penelitian dengan tema diskriminasi transpuan yang berjudul "Transpuan dan Penerimaan: Reaksi Sosial Masyarakat Terhadap Pondok Pesantren Transpuan Al-Fatah, Yogyakarta". Pondok Pesantren Al-Fatah berlokasi di Jl. Pondongan, Sayangan, Jagalan, Kec. Banguntapan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
Penelitian dilangsungkan selama kurang lebih lima bulan lamanya, meliputi tahap persiapan, tahap pelaksanaan, tahap analisis data, dan tahap akhir. Subjek dari penelitian ini adalah masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar Pondok Pesantren Al-Fatah, masyarakat yang berkomunikasi langsung dengan para transpuan, dan masyarakat yang mengetahui pondok pesantren tersebut. Penelusuran data diambil melalui wawancara dengan Ketua RT dilakukan pada tanggal 14 Juni 2021 dan daring, wawancara dengan Bu RT dilakukan pada tanggal 5 Agustus 2021, dan wawancara dengan pengurus masjid serta dua warga dilakukan pada tanggal 11 Agustus 2021. Kunjungan yang dilakukan adalah berupa wawancara mengenai hal-hal yang bersangkutan dengan proses sosial dan penerimaan warga terhadap transpuan pada Pondok Pesantren Al-Fatah.
Setelah dilakukan penelitian, dapat dilihat bahwa proses penerimaan seseorang tergantung dengan sikap dan persepsi yang dimiliki oleh individu terhadap orang lain. Ada pun aspek-aspek yang terlibat di dalamnya adalah komponen pemikiran, komponen perasaan, dan komponen perilaku yang kemudian akan membentuk suatu sikap yang muncul. Komponen yang paling dominan adalah komponen pemikiran. Pada komponen pemikiran, beberapa narasumber berpikir bahwa terdapat perbedaan dalam nilai spiritualitas. Beberapa narasumber juga berpikir bahwa penampilan penghuni transpuan dilihat berbeda dan ditakuti oleh anak-anak sehingga, walaupun sedikit, tetap ada penolakan.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, pada aspek perasaan, narasumber tidak merasakan apa-apa atau biasa saja saat berinteraksi dengan penghuni dari Pondok pesantren. Namun, beberapa warga merasa dirugikan karena alasan tertentu. Oleh karena itu, muncul perasaan marah dan keberatan. Pada komponen perilaku, ada beberapa warga yang melaporkan Pondok Pesantren Al-Fatah karena melanggar aturan dan mengganggu warga sekitar. Menurut beberapa narasumber, Pondok Pesantren Al-Fatah sering kali melakukan kegiatan melebihi jam malam dan menggunakan lahan rumah warga lain sehingga memunculkan rasa marah dan keberatan.
Secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa sikap dari masyarakat ingin menolak transpuan karena merasa terganggu dengan kegiatan yang dilakukan di Pondok pesantren. Namun, tidak adanya dukungan dan wewenang membuat masyarakat harus menerima dengan terpaksa.
ADVERTISEMENT
Proses penerimaan seseorang bergantung dengan sikap dan persepsi yang dimiliki oleh individu terhadap orang lain. Dalam hal ini, penerimaan transpuan masih dalam keadaan masyarakat yang terpaksa karena tidak adanya kesepakatan yang dapat menjembatani dari pihak transpuan dan masyarakat.