Resensi Novel Yuni, Alih Wahana Film Jadi Novel

Nafa Shahamah IN
Merupakan Mahasiswi Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta. Kini berada di semester tiga prodi Tadris Bahasa Indonesia. Selain suka baca, gadis ini juga suka menonton film khususnya anime.
Konten dari Pengguna
7 Desember 2022 17:12 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nafa Shahamah IN tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Judul : Yuni
Penulis : Ade Ubaidil
Cetakan : Pertama, 2022
ADVERTISEMENT
Harga : Rp 63.000
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
ISBN : 978-602-06-5862-9
Novel Yuni. Sumber : Dokumentasi Pribadi Penulis.
Blurb
Apa yang terjadi bila perempuan menolak lamaran hingga dua kali? Dipercaya ia tidak akan menikah selamanya. Begitulah yang dialami Yuni, remaja SMA yang begitu menggemari warna ungu.
Yuni menampik lamaran-lamaran itu demi sebuah cita-cita untuk melanjutkan pendidikan. Tak hanya soal lamaran, ia pula harus menghadapi cibiran tetangga dan stigma sosial bahwa perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi untuk menjadi istri dan ibu.
Yuni beruntung memiliki teman-teman Cilagenk yang menyenangkan, Suci pemilik salon, Ibu Guru Lis yang diam-diam mendukung, juga keluarga dan Bu Ndek yang memberi kekuatan untuk tetap teguh menggenggam impian.
Novel Yuni merupakan bentuk adaptasi atau alih wahana dari film dengan judul yang sama, yakni Yuni. Melalui skenario film karya Kamila Andini, Ade selaku penulis menceritakan ulang film ini dengan bahasa yang menarik.
ADVERTISEMENT
Dengan dialog bahasa Jawa Serang (Jaseng) yang tetap dipertahankan, membuat novel ini semakin membumi. Meskipun begitu, cerita Yuni tetap mengangkat isu yang mewakili seluruh perempuan di Indonesia.
Kisah Yuni
Menceritakan keseharian seorang gadis SMA bernama Yuni yang amat gemar dengan warna ungu. Pergolakan muncul dalam benaknya ketika penyuka warna ungu ini dianggap memiliki ‘penyakit ungu’. Anggapan sang guru yang tidak berdasar hingga membuat Yuni terheran-heran. Kenapa hanya dia yang dipermasalahkan? Salahkah dia memilih warna ungu? Mengapa?
Permasalahan kedua muncul ketika berita hamil di luar nikah merebak di negeri. Masyarakat pun mulai beranggapan jika menikah menjadi solusi. Gerakan Indonesia Bersih Pacaran mulai digaungkan. Anak muda, khususnya perempuan dituntut untuk segera menikah daripada pacaran. Orang-orang beranggapan wanita tidak ada gunanya berpendidikan tinggi, nanti akhirnya juga akan nikah dan diam di rumah.
ADVERTISEMENT
Keberadaan agama seperti sebuah momok bagi perempuan untuk bergerak. Tokoh utama, Yuni juga merasakannya. Sebagai vokalis band, dia harus mundur karena suara wanita dianggap aurat. Yuni bahkan dilarang untuk sekadar melakukan hobi, apalagi melanjutkan mimpi.
Secelumik kisah Tika yang sudah menikah setelah lulus menjadi sebuah pandangan biasa di lingkungan dalam novel ini. Menikah dengan pasangan yang terpaut jauh dengannya, tapi Tika tak kuasa menolak. Rezeki, kata orang. Akhirnya Tika harus menjalankan hidup sebagai istri dan ibu ketika keadaan yang terpaksa. Apa yang bisa dilakukan remaja setelah lulus SMA?
Yuni yang memiliki ambisi untuk melanjutkan pendidikan pun harus terpaksa memupuskan harapan. Sudah pupus ambisi, Yuni dihadapkan dengan lamaran di depan mata. Padahal, dia masih duduk di bangku SMA. Yuni pun dengan tegas menolak lamaran yang datang padanya. Namun, masalah belum selesai.
ADVERTISEMENT
Orang-orang di sekitarnya mulai membicarakan perihal lamaran yang dia tolak. Jika tidak menerima lamaran ketiga, dipercaya tidak akan menikah selamanya. Yuni sudah menolak dua kali. Dia sudah tidak memiliki alasan untuk mengelak. Lagi, dia akhirnya tenggelam dalam stigma masyarakat yang tidak berdasar.
Isu Menarik yang Diangkat dalam Cerita
Awalnya, yang membuat saya tertarik adalah melalui sampul buku yang bernuansa ungu. Potret gadis yang tak lain Yuni di film aslinya dengan coretan-coretan yang mengelilinginya. Kebanyakan berisi stigma, dogma, dan opini yang ditunjukkan kepada perempuan.
Seperti isu utama cerita ini, budaya patriarki yang masih kental di kehidupan masyarakat kini. Posisi perempuan yang terkekang bahkan di bawah satu tingkat dengan pria. Hal ini digambarkan jelas dengan tokoh-tokoh pendukung serta dialog antar tokoh. Seolah akhir dari seorang perempuan hanya duduk diam di rumah.
ADVERTISEMENT
Yuni mewakili nasib sebagian besar perempuan. Dia memiliki ambisi, cita-cita, dan kemampuan, tetapi kalah oleh kata masyarakat. Seperti tidak ada gunanya seorang perempuan memiliki mimpi. Menolak sebuah lamaran saja sebuah aib. Menikah masih disalahartikan sebagai solusi dari segala masalah.
Menariknya lagi, cerita ini tetap bisa dinikmati bahkan tanpa tokoh antagonis. Mengingat isu yang disuguhkan sangat mewakili pihak perempuan, cerita ini terasa mengalir dan berakhir begitu saja. Dengan sisipan puisi dari Sapardi Djoko Damono, menambah kesan sastra dalam novel Yuni ini.
Sedikit disayangkan, novel Yuni ini ditulis dengan narasi yang tergesa-gesa. Pembawaan suasana berjalan begitu cepat mungkin dikarenakan diambil dari skenario film yang merupakan chapter-chapter pendek. Apalagi, novel ini terbit setelah filmnya dirilis.
ADVERTISEMENT
Banyak adegan yang tidak ditulis atau bahkan dihilangkan dari film. Seperti adegan Rika dan Yuni yang bertemu di warung Bu Kokom. Setidaknya ada delapan bagian penambahan di dalam novel yang tidak dijumpai pada filmnya.
Meskipun begitu, novel Yuni tetap bisa dinikmati dengan atau tanpa menonton filmnya. Apalagi, alih wahana dari film ke novel bukan hal umum dilakukan.
Penulis,
Nafa Shahamah I.N.