Konten dari Pengguna

Prospek dan Perkembangan AI di Kawasan Asia Tenggara

Nafi Dian Rama Wijaya
Mahasiswa S1 Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada
11 April 2021 11:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nafi Dian Rama Wijaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Photos by: pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Photos by: pixabay
ADVERTISEMENT
Dewasa ini globalisasi telah merambah ke seluruh dunia. Globalisasi juga telah meningkatkan koneksi antara masyarakat dengan perkembangan telekomunikasi dan juga transportasi. Tetapi pada masa sekarang ini, organisasi internasional, (pemerintah dan non-pemerintah) dan perusahaan multinasional memiliki peran penting juga.
ADVERTISEMENT
Tidak terkecuali negara-negara di Asia Tenggara. Proses globalisasi di kawasan ASEAN sendiri terjadi sedikit berbeda dibandingkan negara-negara di Afrika dan Timur Tengah meski sama-sama tergolong negara berkembang. Dengan perkembangan teknologi, muncul pula bentuk ancaman baru yaitu cyber crime.
Negara-negara ASEAN yang notabene adalah negara berkembang seringkali membuatnya tidak terlalu menghiraukan masalah ini – meskipun pada era informasi ini, keamanan siber dapat mempengaruhi keamanan tradisional serta sektor-sektor lain. Di era ini, informasi merupakan sebuah senjata dan aset terkuat yang dapat dimiliki. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir telah terjadi beberapa serangan siber pada skala internasional yang memberikan kerusakan besar.
Pertama adalah serangan Stuxnet pada tahun 2010 yang menyerang fasilitas nuklir di Iran. Stuxnet sendiri merupakan sebuah worm yang dilaporkan dikembangkan oleh AS dan Israel untuk secara khusus menargetkan Programmable Logic Controllers (PLCs) pada orises elektromekanis seperti robot perakit pada pabrik otomotif (dalam kasus iran adalah sentrifugalnya). Stuxnet dianggap sebagai cyberweapon pertama yang digunakan dalam skala sebesar ini, serta merupakan malware pertama yang diketahui dirancang dan dapat menyerang industrial control systems (ICS).
ADVERTISEMENT
Bahkan pada tahun 2014, Sony Pictures juga menjadi korban peretasan, di mana para pelaku mencuri akses ke database dan komputer para pegawai. Para pelaku juga sempat mencuri sejumlah dokumen rahasia dari studio dan menyebarkannya secara luas di internet beberapa minggu setelah kejadian. Selain merugikan perusahaan, hal ini juga membahayakan para pegawai karena membuka kemungkinan untuk penyalahgunaan data diri mereka.
Dengan serangan-serangan yang terjadi cukup membuat keraguan apakah ASEAN memiliki kesiapan untuk mengantisipasi hal serupa, terutama pada awal tahun 2020 ini. Bahkan Singapura–salah satu negara dengan kesiapan teknologi tertinggi di ASEAn, tidak terkecuali dari daftar korban serangan siber.
Terhitung sejak 1 Mei, 2015, hingga 4 Juli, 2018, sekitar 1,5 juta data pribadi milik pasien rumah sakit termasuk PM Lee Hsien Loong, dan 160.000 resep rawat jalan telah dicuri. Kelemahan ASEAN dalam penanganan cyber crime juga telah diperkuat dengan riset yang dilakukan oleh Comparitech, terutama Thailand yang ada di peringkat ke-44 dari daftar tingkat keamanan siber dan menjadi negara dengan keamanan siber paling lemah di ASEAN, bahkan pemerintah Thailand sendiri juga berkontribusi atas peringkat ini.
ADVERTISEMENT
Di ASEAN sendiri memang cukup sulit untuk mengantisipasi dan “meng-counter” serangan siber karena tingkat kedewasaan siber yang belum merata. ASEAN tidak memiliki legitimasi untuk melakukan paksaan pada negara lain agar melakukan inovasi guna meningkatkan kedewasaan siber. Lagipula sumber daya yang dimiliki masing-masing negara juga berbeda. Memandang hal ini, ASEAN merumuskan sebuah kerangka kerja “ASEAN Cybersecurity Cooperation Strategy” – yang akan menjadi fondasi dan framework regional dalam mengatasi isu-isu terkait keamanan siber.
Framework ini bertujuan untuk mengajak anggota ASEAN untuk bekerja sama dalam pengembangan kebijakan keamanan siber dalam konteks hukum domestik dan internasional, hingga pengembangan kualitas tenaga kerja. Framework ini juga memiliki tujuan lain untuk membangun seperangkat norma-norma regional dalam meregulasi tindakan dan keputusan negara anggota ASEAN dalam isu keamanan siber sehingga terdapat kesesuaian dalam menangani kejahatan siber transnasional. Namun hal ini masih sulit terealisasikan.
ADVERTISEMENT
Namun di sisi lain, sistem kecerdasan buatan atau AI (Artificial Intelligence) mulai memperlihatkan perkembangan yang cukup pesat, bahkan di Kawasan Asia Tenggara. AI merupakan istilah umum yang singkatnya dapat dikatakan membuat komputer berperilaku lebih cerdas. AI merupakan salah satu bidang studi seperti halnya robotik dan desain web.
Siri, Google Assistant, serta sistem pengenalan wajah dan sidik jari, bahkan rekomendasi video dan film dari YouTube dan Netflix, analisis finansial, serta pola iklan pada browser atau aplikasi merupakan beberapa contoh dari pengaplikasian sistem ini. AI sendiri mulai diaplikasikan pada sektor-sektor yang tersentuh komputer, mulai dari badan antariksa hingga manajemen limbah. Teknologi ini (AI) memiliki potensi untuk meningkatkan standar dari keamanan, ekonomi, sosial politik, serta pengembangan sumber daya manusia secara umum.
ADVERTISEMENT

Lalu apakah AI memiliki kapabilitas untuk menutupi kelemahan dari keamanan siber secara umum?

Sejatinya AI memiliki kapasitas untuk berpikir jauh lebih baik (cepat dan efisien) dibandingkan dengan manusia terlepas dari adanya norma kemanusiaan. Dalam kinerja sendiri, AI mampu menyediakan perlindungan pada sistem selama 24/7 jika dibutuhkan. Hal ini seharusnya dapat mengantisipasi terjadinya serangan siber karena AI dapat menghalangi para pelaku untuk melakukannya dalam metode konvensional.
Dengan hal ini, cara paling tepat untuk melakukan penyerangan adalah dengan menyerang komputer induk secara “langsung”, sehingga tidak bisa dilakukan secara remotely. Hal ini sangat berguna untuk mempersempit investigasi forensik karena serangan hanya terjadi pada komputer induk. Bahkan serangan DDoS juga dapat dihentikan dengan kemampuan AI untuk melakukan backup dan mematikan server secara otomatis.
ADVERTISEMENT
Bahkan dalam kasus Stuxnet dan Sony, AI dapat digunakan dalam pemeliharaan firewall dan memonitor lalu lintas jaringan. Namun dengan tidak adanya norma manusia, hal ini akan menimbulkan kecemasan, terutama pada sektor seperti fasilitas nuklir. Sedangkan dalam kasus pencurian data, AI dapat meningkatkan efisiensi keamanan dengan signifikan tanpa memberikan beban berlebih. Pencurian data yang disimpan pada server “cloud” dan lokal dapat dihindari dengan melakukan enkripsi data atau kodefikasi. Namun beberapa enkripsi yang konvensional tidak terlalu sulit dipecahkan, di sinilah para penyedia layanan harus menerapkan enkripsi yang aman. Hal ini sama seperti yang telah digunakan oleh Whatsapp, dan penyedia layanan lain walaupun memiliki jenis enkripsi yang berbeda.
Meski menjanjikan berbagai benefit, AI sendiri akan sulit untuk diterima karena masih menimbulkan kekhawatiran seperti akan merebut peran manusia, serta sebagian besar negara ASEAN yang belum memiliki kesiapan. AI sendiri akan menimbulkan meningkatnya permintaan atas tenaga ahli. Hal ini akan memaksa masyarakat untuk meningkatkan kualitasnya agar dapat menyesuaikan diri dengan era.
ADVERTISEMENT
Secara singkat, dalam rangka memanfaatkan teknologi ini, perlu dilakukan riset dan pengembangan sejak dini, termasuk infrastruktur serta pembiayaan riset dengan alokasi merata. Untuk jangka panjang, AI juga menawarkan pemangkasan biaya operasional. Meskipun ASEAN mengalami ketertinggalan dengan negara-negara barat, ASEAN memiliki potensi untuk menyaingi mereka asalkan alokasi dari sumber daya dapat disusun lebih baik untuk riset dan pengembangan AI.