Konten dari Pengguna

Transformasi Kebijakan Kelistrikan dan Energi Indonesia Menuju Karbon Netral

Nafira Alfi Zaini Amrillah
Mahasiswa - Universitas Ahmad Dahlan - Magang di Kementrian ESDM - Gerilyawan
27 Februari 2022 17:05 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nafira Alfi Zaini Amrillah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Materi Zoom Meeting Kuliah Umum Gerilya (Kamis, 24 Februari 2022)
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Materi Zoom Meeting Kuliah Umum Gerilya (Kamis, 24 Februari 2022)
ADVERTISEMENT
Saat ini transisi energi menjadi salah satu topik prioritas yang akan disusun oleh Indonesia melalui Presidensi G20 “Recovery Together – Recovery Stronger”. Salah satu undang-undang yang sedang didukung adalah tentang energi baru terbarukan demi memenuhi target realisasi Energi Baru Terbarukan (EBT) di Indonesia. Kebijakan Energi Nasional terbaru merencanakan target pasokan energi primer yang berasal dari sumber energi terbarukan mencapai 23% dari jumlah keseluruhannya pada tahun 2025 dan 31% pada tahun 2050.
ADVERTISEMENT
Pemerintah telah membuat dan merencanakan berbagai kebijakan untuk memenuhi target tersebut, karena ini merupakan upaya untuk menciptakan masa depan yang berkelanjutan. Namun, sampai sekarang pengembangan sektor energi terbarukan belum sejalan dengan pemenuhan targetnya karena porsi energi terbarukan Indonesia di tahun 2020 baru mencapai 11%.
Sumber: Materi Zoom Meeting Kuliah Umum Gerilya (Kamis, 24 Februari 2022)
Data tersebut menunjukkan bahwa Indonesia memiliki luas lahan yang sangat besar yaitu sebesar 1.811.570 Km2 dan total energi sebesar 278,9 TWh/tahun artinya jauh lebih besar dari beberapa negara misalnya Taiwan yang hanya memiliki luas lahan sebesar 35.410 namun memiliki total energi hampir sama dengan Indonesia yaitu 256,4 TWh/tahun. Oleh karena itu, Indonesia seharusnya masih dapat memanfaatkan kekosongan lahan supaya dapat digunakan untuk dipasang pembangkit listrik sehingga Indonesia berpotensi menjadi negara maju dengan menambah jumlah energi listrik nasional serta membuat penyebaran energi di setiap wilayah menjadi lebih merata.
ADVERTISEMENT
Merujuk pada total energi tersebut, renewable energy hanya berada pada angka 31,6 TWH/tahun, akan tetapi dari total jumlah tersebut energi surya hanya mengambil alih kurang dari 0,01 TWH/tahun. Jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara seperti Malaysia yang hanya memiliki total energi sebesar 162,8 TWH/tahun dan renewable energi 29,1 TWH/tahun namun energi surya sudah mengambil bagian sebesar 0,8 TWH/tahun. Ini artinya dalam segi pemanfaatan kelimpahan energi surya, maka Indonesia masih berada di bawah Malaysia.
Dalam mengelola energi listrik, mandat pemerintah diserahkan kepada Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang memiliki banyak stakeholder salah satunya adalah Kementerian ESDM sebagai kementerian yang mengatur keteknisan, namun direksi dan komisaris PLN diangkat oleh BUMN sebagai wakil dari pemegang saham. BUMN sendiri berada di bawah Menteri Perekonomian sedangkan KESDM di bawah Kementerian Investasi sehingga PLN secara tidak langsung juga dinaungi oleh dua instansi kementerian tersebut.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi subsidi yang dikeluarkan harus mendapatkan approve dari Kementerian Keuangan setelah diaudit oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Selain itu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga mempengaruhi PLN karena ada rambu-rambu seperti emisi yg harus diikuti oleh PLN. Hal tersebut menunjukkan bahwa PLN sebagai pengelola operator kelistrikan memiliki banyak stakeholder. Namun begitu, PLN tidak sendirian dalam mengelola listrik di Indonesia karena PLN beberapa anak perusahaan dan afiliasi seperti Indonesia Power, Pembangkitan Jawa Bali (PJB) dan masih banyak lagi.
Salah satu kebijakan yang terkait dengan pengelolaan energi yang populer adalah UU No.30 Tahun 2007 tentang energi yang dibuat berdasarkan asumsi-asumsi tetentu dan disertai dengan target pemerintah di masa depan. Kebijakan ini diturunkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah No.79 Tahu 2014 tentang KEN (Kebijakan Energi Nasional) yang menyatakan tentang bauran EBT. Inilah yang menjadi cikal bakal transisi energi yaitu Presidential Regulation no 22 th 2017 tentang RUEN (Rencana Umum Energi Nasional).
ADVERTISEMENT
Berbagai kebijakan tersebut akan mengarah ke penggunaan energi bersih dan energi hijau. Akan tetapi asumsi pada tahun 2017, pertumbuhan ekonomi sebesar 8%, artinya Indonesia sedang mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat bagus. Jika pertumbuhan ekonomi 8%, maka di tahun 2025 total kapasitas pembangkit terpasang adalah sebesar 135 GW dan kenyataannya di awal tahun yang terpasang masih sebesar 72 GW.
Kondisi instalasi pembangkit tersebut terjadi sebagai akibat dari economic growth Indonesia mengalami penurunan pada akhir tahun 2021 sebesar 5,8%. Hal tersebut dikarenakan berbagai situasi seperti pandemi serta krisis lokal dan global di indonesia, sehingga pada tahun 2022 Kementerian Keuangan menggunakan asumsi bahwa pertumbuhan ekonomi akan berada pada angka 5,4-6 %. Artinya terdapat selisih dari asumsi awal.
ADVERTISEMENT
Jika saat ini dipaksakan agar sesuai target yaitu sebesar 135 GW maka terjadi kelebihan atau over supply. Jadi, over supply energy terjadi karena asumsi dalam perencanaan energi nasional berbeda dengan kenyataan yang terjadi saat ini sehingga dapat menyebabkan kelangkaan energi dan listrik. Oleh karena itu dibangun berbagai infrastruktur kelistrikan pembangkit, transmisinya serta gardu induknya supaya kebutuhan tersebut tercapai.
Kebijakan-kebijakan terkait kelistrikan dan energi di Indonesia memiliki kesamaan tujuan utama yaitu membawa Indonesia menuju Karbon Netral (Net Zero Emission). Peta jalan Indonesia menuju hal tersebut masih cukup panjang, jika direkap mulai tahun 2021 sampai 2030 maka perjalanan tersebut mulai dari perencanaan dan target bauran EBT lalu mulai menghentikan impor LPG dan membuat EBT didominasi oleh Pembangkit Listrik tenaga Surya karena sifat energi ini yang sangat melimpah dan tidak terbatas.
ADVERTISEMENT
Sehingga nanti pada tahun 2060 Indonesia berhasil menghentikan operasi Pembangkit Listrik Tenaga Uap yang sumber energinya adalah bahan bakar fosil dan seluruh motor sudah berbasis energi listrik sehingga Indonesia dapat meningkatkan konsumsi listrik sebesar 5.308 kWh/kapita serta mewujudkan Net Zero Emission (Karbon Netral) melalui affordable and clean energy.