Konten dari Pengguna

Saatnya Lindungi Perempuan, Sahkan RUU PKS

nafsikhotimah
Mahasiswa Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta
12 Januari 2021 19:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari nafsikhotimah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
foto oleh Sora Shimazaki dari Pexels
zoom-in-whitePerbesar
foto oleh Sora Shimazaki dari Pexels
Dari data yang didapat dari Komisi Nasional (Komnas Nasional) Perempuan, tercatat bahwa terdapat 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2019. Terdapat 46.968 kasus kekerasan seksual yang terjadi terhadap perempuan baik dalam ranah personal maupun publik dalam rentang waktu tahun 2011-2019. Komnas Perempuan pun menyebut bahwa setidaknya dalam dua jam sekali ada tiga perempuan di Indonesia mengalami kekerasan seksual.
ADVERTISEMENT
Kasus kekerasan terhadap anak perempuan meningkat sebanyak 2.341 kasus pada tahun 2019, yang pada tahun sebelumnya (2018) terdapat 1.417 kasus. Kenaikan dari tahun sebelumnya terjadi sebanyak 65% dan yang paling banyak masuk dan ditambahkan dengan kasus kekerasan seksual sebanyak 571 kasus. Dalam data pengaduan yang langsung ke Komnas Perempuan, tercatat kenaikan yang cukup signifikan yakni pengaduan kasus cyber crime terdapat 281 kasus pada tahun 2019 (2018 tercatat 97 kasus) atau naik sebanyak 300%. Kasus siber terbanyak berbentuk ancaman dan intimidasi penyebaran foto dan video porno korban. Kekerasan seksual terhadap perempuan disabilitas dibandingkan tahun 2018 naik sebanyak 47% pada tahun 2019 dan korban terbanyak adalah disabilitas intelektual.
Selain itu, penyelesaian kasus kekerasan seksual selama ini seringkali merugikan pihak korban perempuan. Contohnya pada kasus Baiq Nuril. Baiq Nuril merupakan pegawai honorer di SMAN 7 NTB. Ia dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Agung (MA) dengan vonis hukuman enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta. Ia dianggap melanggar UU ITE karena menyebarluaskan konten elektronik yang berisi tindakan asusila. Konten elektronik tersebut berisikan rekaman percakapan telepon dari Kepala Sekolah SMAN 7 bernama Muslim, kepada Baiq Nuril yang dianggap berisikan pornografi. Padahal Baiq Nuril menyimpan rekaman tersebut karena ia telah mengalami pelecehan seksual dari kepala sekolah.
ADVERTISEMENT
Kasus yang dialami Baiq Nuril terjadi karena tidak dikenalinya kekerasan seksual yang melatarbelakangi kasus pelanggaran Pasal 7 ayat (1) juncto Pasal 45 UU ITE. Sehingga, perbuatan merekam yang dilakukan Baiq Nuril tidak dilihat sebagai upaya membela diri atas kekerasan seksual secara verbal yang dialaminya. Miris. Status korban dijungkirbalikan menjadi pelaku penyebar konten asusila.
Contoh kasus pelecahan seksual lainnya adalah kasus pelecehan seksual yang dialami oleh Agni (bukan nama sebenarnya) yang merupakan mahasiswa UGM . Ia mengalami pelecehan seksual oleh HS (pelaku pelecehan seksual) saat melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) pada bulan Juli 2017. Kasus ini berakhir dengan dengan jalan damai dengan alasan apabila penyelesaian dilakukan lewat jalur hukum untuk mendapat keadilan dianggap cukup berat untuk dijalani.
ADVERTISEMENT
Lalu terdapat kasus “Gilang Bungkus”. Gilang diduga melakukan pelecehan seksual lewat fantasi dengan kain jarik. Dia dikabarkan meminta tubuh korbannya dibungkus kain jarik dengan alasan kepentingan riset.
Gilang Aprilian Nugraha (22) tidak dijerat dengan pasal terkait pelecehan seksual. Polrestabes Surabaya menjerat pelaku fetish jarik ini dengan Pasal 27 ayat (4) juncto Pasal 45 ayat (4) dan/atau Pasal 29 juncto Pasal 45B Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan/atau pasal Pasal 335 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan.Namun, menurut ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Ficar Hadjar mengatakan bahwa kasus ini sudah jelas pelecehan seksual. Tetapi, dalam sebuah artikel di Hukumonline, dijelaskan bahwa dalam KUHP sebenarnya tidak terdapat istilah pelecehan seksual. Sementara menurut Kepala Biro Riset dan Dokumentasi Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan Rivanlee Anandar, penggunaan UU ITE dalam kasus ini menandakan isu pelecehan seksual masih dianggap sebelah mata.
ADVERTISEMENT
Dari data-data diatas dapat diartikan bahwa situasi sebenarnya, kondisi perempuan Indonesia mengalami kehidupan yang tidak aman. Payung hukum yang berpihak pada korban kekerasan seksual jelas dibutuhkan.Ini sebabnya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) harus segara disahkan. Payung hukum komprehensif ini diperlukan untuk memberi rasa aman serta menjadi jawaban kebuntuan dan hambatan para korban kekerasan seksual dalam mengakses keadilan.
Dalam RUU PKS, kekerasan seksual diklasifikasikan menjadi sembilan jenis, yaitu: (1) pelecehan seksual, (2) eksploitasi seksual, (3) pemaksaan kontrasepsi, (4) pemaksaan aborsi, (5) perkosaan, (6) pemaksaan perkawinan, (7) pemaksaan pelacuran, (8) perbudakan seksual, dan (9) penyiksaan seksual. Sedangkan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), kekerasan seksual dikategorikan sebagai tindak pidana hanya mencakup dua hal yaitu pemerkosan dan pencabulan.
ADVERTISEMENT
Dengan didefinisikannya kekerasan seksual yang lebih luas dalam RUU PKS, ini akan mampu menjangkau para pelaku yang selama ini lolos dari hukum hanya karena tindakan mereka tak memenuhi unsur legalitas sebagai tindak pidana.
Hal lain yang membuat RUU ini penting untuk didukung adalah RUU PKS tidak hanya melindungi korban kekerasan langsung, tapi juga memberikan perlindungan bagi keluarga korban dan saksi yang ingin memberikan kesaksian mereka selama proses hukum. Ini dikarenakan permasalahan utama yang sering dialami oleh keluarga korban atau saksi kunci korban kekerasan seksual adalah mereka sering mendapatkan ancaman atau bahkan kekerasan untuk membungkam kesaksian mereka. Selain itu, terdapat keberadaan unsur rehabilitasi bagi pelaku kekerasan seksual. RUU PKS tidak hanya melindungi para korban pelecehan seksual, tapi RUU ini juga memberikan rehabilitasi bagi pelaku kekerasan seksual (pasal 88 ayat (3)). Fungsi dan tujuan rehabilitasi ini adalah mencegah agar tindakan kekerasan seksual tidak terjadi lagi.
ADVERTISEMENT
Pengesahan RUU PKS sudah menjadi kebutuhan hukum. Bila RUU PKS tidak segera disahkan akan sangat memperburuk keadaan. Kekerasan seksual itu nyata dan mengancam siapapun saat ini. Mereka yang telah menjadi korban belum mendapatkan keadilan selaku korban. Pemerintah/negara bertanggung jawab untuk menciptakan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan seksual. Sebab kekerasan seksual merupakan kejahatan terhadap martabat manusia dan pelanggaran hak asasi manusia yang harus dihapus.Sekali lagi, RUU PKS harus disahkan demi perlindungan dan keberlangsungan hidup yang aman, damai dan sejahtera untuk kita semua.