Konten dari Pengguna

Literasi Digital untuk Mencintai Budaya dan Tanah Air

Nahdan Faiq Hanania
Siswa di MA HK Kuningan, Penulis Cerita
26 November 2024 9:01 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nahdan Faiq Hanania tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi fenomena media sosial dan tantangan literasi digital. Sumber foto: pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi fenomena media sosial dan tantangan literasi digital. Sumber foto: pixabay.com
ADVERTISEMENT
Literasi merupakan nilai vital yang harus dimiliki oleh setiap pelajar yang duduk di bangku sekolah. Literasi digital adalah alat untuk mengenali, memahami, dan mengaktualisasikan diri dengan pelajaran-pelajaran ataupun berbagai informasi yang didapat siswa baik di sekolah maupun di luar sekolah. Saat ini di Indonesia tingkat literasi siswanya dianggap rendah sebagaimana yang disebutkan.
ADVERTISEMENT
Siswa yang memiliki tingkat literasi yang baik akan mampu menyesuaikan diri dengan berbagai informasi yang dia dapatkan dengan baik. Begitu juga sebaliknya, bila siswa tidak memiliki tingkat literasi yang memadai maka berbagai informasi yang dia dapat tidak dapat tersaring dengan baik dan malah akan membahayakan dirinya sendiri maupun orang lain di sekitarnya.
Terlebih saat ini kita berada di era digitalisasi, di mana segala informasi sangat mudah didapatkan dan disebarkan. Keadaan tersebut membuat situasi sangat sulit untuk dikontrol mana informasi yang layak dikonsumsi oleh siswa dan mana yang tidak.
Dampak negatif rendahnya literasi digital
Di antara dampak negatif dari hal tersebut adalah tentang tawuran antar pelajar, terjerat judi online, atau narkoba. Semua itu terjadi karena rendahnya tingkat literasi digital yang mengakibatkan para pengguna media sosial tidak mampu menyaring informasi yang ada.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, ramai berita tentang tawuran antar pelajar yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Mengutip dari berita dari laman www.rri.co.id/kriminalitas, dikabarkan bahwa polisi menangkap dua pelaku tawuran di kawasan Ciracas, Jakarta Timur.
Di kasus tersebut, terdapat satu orang meninggal dunia. Seperti dijelaskan di laman berita tersebut, aksi tawuran yang terjadi di bulan Juli lalu tersebut dilakukan setelah para pelaku terlebih dahulu membuat janji untuk bertemu melalui media sosial.
Tawuran antar pelajar yang telah diceritakan oleh penulis di atas atau bentuk-bentuk penyimpangan lainnya terjadi karena adanya penyimpangan dari nilai-nilai sosial yang telah diaktualisasikan sebagai bentuk kebudayaan atau norma sosial pada masyarakat di wilayah tersebut, dalam konteks kasus di atas adalah masyarakat Jakarta.
ADVERTISEMENT
Masyarakat Jakarta, sebagaimana masyarakat Indonesia pada umumnya, adalah masyarakat multikultur yang seharusnya mengedepankan budaya gotong royong, saling menghargai, dan ramah. Budaya gotong royong dan nilai-nilai luhur yang hilang tentunya disebabkan derasnya arus digitalisasi yang tidak dibarengi dengan upaya adaptasi yang sesuai sehingga terjadi lunturnya nilai-nilai budaya di masyarakat.
Masyarakat Indonesia hari ini, terutama para pemudanya menganggap bahwa nilai-nilai budaya luhur yang diwariskan turun temurun dari para nenek moyang kita sudah ketinggalan zaman atau bisa dikatakan kolot. Padahal pemuda seharusnya bangga terhadap segala bentuk warisan budaya nenek moyang kita dan melestarikannya bahkan mempromosikannya kepada dunia internasional sebagai ciri khas bangsa kita.
Aksi tawuran pelajar. Sumber: kumparan/Yanti
Akibat FoMO
Lunturnya nilai-nilai kebudayaan masyarakat di Indonesia hari ini berkaitan erat dengan kemajuan teknologi khususnya digitalisasi
ADVERTISEMENT
informasi. Para pemuda yang mengonsumsi informasi yang didapatkannya dari media sosial akan terkena dampak yang besar dari sebuah fenomena yang belakangan ini menjadi perbincangan hangat yaitu FoMO (fear of missing out).
FoMO atau dalam bahasa Indonesianya adalah takut ketinggalan adalah fenomena di mana seseorang merasa cemas atau takut kehilangan pengalaman berharga yang sedang dialami oleh orang lain terutama yang terlihat di media sosial atau dalam konteks ini trend. Seseorang yang takut ketinggalan zaman akan memaksakan dirinya untuk terus mengikuti trend terbaru agar sesuai dengan lingkungannya atau dalam banyak kasus adalah teman-temannya di media sosial.
Penyebab fenomena FoMO ini dapat kita lihat dari lensa sosiologis yaitu teori konformitas yang didefinisikan oleh Cialdini & Goldstein dalam Mulyadi, S., dkk (2016:1). Para penulis menyebutkan bahwa konformitas adalah suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang untuk mengubah perilakunya agar sesuai dengan respon orang lain. Hubungan teori konformitas dengan FoMO terletak pada poin bahwa seseorang itu melakukan suatu tindakan dikarenakan penilaian orang lain terhadap tindakannya.
ADVERTISEMENT
Seseorang menjadi FoMO umumnya disebabkan karena dirinya takut dilihat sebagai orang yang tidak gaul atau ketinggalan zaman oleh orang di sekitarnya sehingga orang tersebut mengusahakan dengan berbagai cara agar terus bisa untuk mengikuti trend terkini. Dengan begitu, seseorang dirinya sudah merasa bahwa ia sudah menjadi bagian dari masyarakat seutuhnya karena telah sesuai dengan pandangan orang-orang di sekitarnya.
Para pemuda yang terpaku untuk terus mengikuti trend perlahan akan mulai meninggalkan nilai-nilai kebudayaan yang telah diwariskan turun temurun oleh nenek moyang kita, karena arus globalisasi yang dibawa oleh media sosial dalam bentuk trend akan dikonsumsi oleh para pemuda secara mentah-mentah sehingga terjadilah degradasi nilai-nilai kebudayaan bangsa.
Pentingnya literasi digital
Untuk menghadapi permasalahan-permasalahan sosial pemuda tersebut, maka diperlukan peningkatan literasi digital kepada para pemuda di Indonesia agar mereka dapat mengenali dan memahami berbagai budaya asing yang masuk ke Indonesia supaya mereka bisa menyesuaikannya dengan budaya asli Indonesia agar identitas bangsa tetap terjaga dan terpelihara dengan baik.
ADVERTISEMENT
Literasi digital yang baik tidak hanya berdampak pada terjaganya budaya bangsa, tapi juga sebagai alat pemersatu bangsa, juga bisa sebagai alat agar para pemuda bisa menghargai bahkan meningkatkan budaya bangsa sesuai dengan cara mereka sendiri. Para pemuda juga dapat menunjukkan bahwa mereka juga bisa memberi andil dalam mempertahankan atau bahkan menyebarluaskan nilai-nilai luhur dari budaya bangsa Indonesia kepada seluruh dunia.
Untuk mulai mulai menciptakan lingkungan dengan literasi digital yang baik bagi para pemuda maka kita harus memulai dari unit kelompok masyarakat terkecil yaitu keluarga. Keluarga sebagai lembaga sosialisasi primer harus bisa memberikan pemahaman yang baik pada identitas budaya bangsa seseorang, didukung juga dengan pendidikan literasi digital yang baik, agar sejak dini seseorang sudah mempunyai pedoman dalam berbagai aktivitas digital yang dilakukannya.
ADVERTISEMENT
Pendidikan literasi digital tentu tidak berhenti hanya pada tahap keluarga tetapi harus berlanjut ke tahap berikutnya yaitu lembaga pendidikan, atau kita akan menyederhanakannya menjadi sekolah. Sekolah mempunyai peran yang sangat signifikan pada perkembangan literasi digital seseorang. Sekolah harus mampu mengarahkan kepada para siswanya untuk melek terhadap pentingnya literasi digital agar para siswa tidak serta merta mengikuti segala hal yang menjadi trend di media sosial.
Literasi digital yang rendah adalah hal yang sangat merugikan, baik untuk diri sendiri maupun untuk masyarakat secara luas. Maka pendidikan literasi digital yang baik sangat penting dan sangat dibutuhkan untuk mempertahankan dan menyebarluaskan nilai-nilai luhur budaya bangsa kepada seluruh masyarakat dunia. FoMO yang berkaitan erat dengan gaya hidup pamer, riya atau flexing adalah harus dilawan dengan meningkatkan kemampuan literasi.
ADVERTISEMENT
Aksi tawuran pelajar yang dimulai dari aktivitas perang di media sosial adalah contoh buruk yang dapat merusak nilai luhur budaya bangsa dan sesungguhnya adalah bentuk ketidakcintaan kita, sebagai pemuda, terhadap tanah air.