Konten dari Pengguna

Scapegoat Child dalam Keluarga: Kenapa Ada Anak yang Selalu Jadi Kambing Hitam?

Nahwa Husna Salikah
Mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
22 November 2024 18:42 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nahwa Husna Salikah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Scapegoat child (sumber: https://pixabay.com/id/photos/anak-intimidasi-menunjuk-gangguan-5989554/)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Scapegoat child (sumber: https://pixabay.com/id/photos/anak-intimidasi-menunjuk-gangguan-5989554/)
ADVERTISEMENT
Apakah kamu pernah selalu disalahkan atas segala hal oleh anggota keluargamu terutama orang tuamu, bahkan ketika itu bukan salahmu sama sekali? Kamu merasa segala hal yang kamu lakukan selalu salah di mata keluargamu? Atau mungkin kamu merasa menjadi “samsak berjalan” oleh keluargamu, tempat segala amarah dan emosi negatif dilampiaskan? Apabila jawabannya iya, besar kemungkinan kamu pernah atau sedang menjadi scapegoat child, atau lebih sederhananya, anak yang dijadikan kambing hitam.
ADVERTISEMENT
Sieburg (1985, dalam Pillari, 1991, hlm.2) menyatakan bahwa dalam sebuah keluarga, ada anggota yang sering disalahkan atas masalah yang terjadi, meskipun sebenarnya dia tidak sepenuhnya bersalah. Orang yang dijadikan kambing hitam ini, meskipun tidak adil, biasanya menerima peran itu dan merasa bertanggung jawab atas masalah yang ada.
Fenomenan scapegoate child sering terjadi disadari atau tanpa disadari oleh anggota keluarga. Scapegoate child atau anak yang dijadikan kambing hitam biasanya diperlakukan tidak adil, disalahkan atas segala masalah di dalam keluarga, dan dianggap sebagai anak yang bermasalah dan berbeda dari anak yang lain. Tidak jarang perkataan seperti, “Kamu selalu saja membuat masalah!”, “Kenapa kamu selalu begitu, tidak pernah bisa berperilaku dengan baik?”, atau “Kalau saja kamu seperti kakakmu, kita tidak akan punya masalah seperti ini!” keluar dari lisan anggota keluarga saat scapegoate child melakukan segala tindakan yang menurut mereka salah.
ADVERTISEMENT
Didalam artikel ini, kita akan membahas beberapa faktor kenapa ada anak yang menjadi kambing hitam di dalam keluarga menurut Lori L. Ellison:
1. Hubungan keluarga yang tidak sehat
Ilustrasi hubungan keluarga tidak sehat (sumber: https://www.freepik.com/free-vector/hand-drawn-child-custody-illustration_65655618)
Hubungan keluarga yang tidak sehat ditandai saat hubungan keluarga penuh dengan konflik, tidak saling percaya, atau adanya kekerasan emosial. Dari hubungan keluarga yang tidak sehat ini, anak dapat menjadi kambing hitam atau scapegoat child sebagai pengalihan dari konflik ataupun rasa tidak saling percaya antara anggota keluarga. Secara umum, seperti yang dinyatakan oleh Lori L. Ellison (2017), keluarga sering kali, meskipun tanpa niat jahat, akan menargetkan satu anggota keluarga sebagai pusat atau penyebab semua masalah yang ada. Akibatnya, perhatian keluarga akan dialihkan dari konflik utama. Konflik yang memunculkan tindakan scapegoating ini bisa bermacam-macam, seperti alkoholisme, penyakit kronis, atau ketidakpuasan dalam pernikahan.
ADVERTISEMENT
2. Upaya mempertahakan keseimbangan dalam keluarga
Ilustrasi keluarga tidak harmonis (sumber: https://www.freepik.com/free-vector/gradient-child-custody illustration_66243094)
Faktor lainnya dari adanya scapegoat child adalah sebagai upaya mempertahankan keseimbangan dalam keluarga atau Homeostatis.
Menurut Lori L. Ellison, Salah satu faktor yang mempengaruhi mengapa seseorang menjadi scapegoat dalam keluarga adalah konsep homeostasis. Homeostasis berarti kecenderungan keluarga untuk mempertahankan keadaan seperti semula, meskipun perubahan bisa memperbaiki hubungan di dalamnya. Scapegoat memudahkan hal ini karena keluarga bisa tetap menyalahkan seseorang daripada mengubah cara berinteraksi yang salah antara anggota keluarga.
3. Adanya Triangulasi
Ilustrasi scapegoat child (sumber: https://www.freepik.com/free-vector/flat-design-blame-illustration_23673258
Menurut Lori L. Ellison, Triangulasi adalah ketika hubungan dalam keluarga mengalami konflik, sering kali salah satu anggota keluarga berusaha menarik orang ketiga untuk meredakan ketegangan tersebut. Dalam hal ini, scapegoat child sering sekali menjadi “orang ketiga” yang terseret di dalam konflik dua orang tersebut. Lambat laun, fokus dari konflik bergeser menjadi kesalahan yang seolah-olah dilakukan oleh scapegoat child. Contohnya seperti ketika orang tua bertengkar karena masalah keuangan, fokus masalah dapat bergeser ketika salah satu dari orang tua tersebut mengungkit permintaan scapegoat child untuk dibelikan mainan.
ADVERTISEMENT
Dampak Menjadi Scapegoat Child
Menjadi scapegoat child dan terjebak dalam peran yang tidak adil dalam keluarga layaknya memikul beban seumur hidup. berat, menyiksa, dan tentunya merugikan diri sendiri. Sudah pasti, hal ini akan sangat berdampak besar terhadap kondisi emosional dan psikologis scapegoat child.
Peran sebagai kambing hitam dalam keluarga sangatlah berat. Berbeda dengan pahlawan keluarga yang mendapatkan rasa dihargai dari pencapaian mereka, scapegoats kehilangan rasa hormat diri. Mereka menyadari kekurangan dalam keluarga dan hidup mereka, yang membuat mereka merasa marah pada diri sendiri dan orang-orang di sekitar mereka.(Lori L. Ellison 2017)