Konten dari Pengguna

Korupsi : Penyalahgunaan Kekuasaan yang Memperdalam Kesenjangan

Nahwa Danisha Shafira
Mahasiswa Ilmu Komunikasi S1 Universitas Brawijaya
15 Oktober 2024 9:27 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nahwa Danisha Shafira tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Korupsi dan kesenjangan sosial (ilustrasi oleh Nahwa Danisha Shafira, dibuat melalui Canva)
zoom-in-whitePerbesar
Korupsi dan kesenjangan sosial (ilustrasi oleh Nahwa Danisha Shafira, dibuat melalui Canva)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Korupsi merupakan persoalan yang telah lama mengakar di dalam sistem politik dan sosial banyak negara, termasuk di negeri yang kita cintai ini, tempat harapan dan cita-cita harusnya berpijar. Data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat bahwa sejak tahun 2004, terdapat 344 kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR dan DPRD. Angka ini menempatkan mereka di posisi ketiga dalam daftar pelanggar korupsi, setelah kalangan swasta dengan 399 kasus dan pejabat eselon I-IV yang terjerat dalam 349 kasus. Lebih ironisnya, banyak dari mereka yang terlibat dalam praktik korupsi ini adalah pemimpin DPR/DPRD. Korupsi bukan sekadar tindakan mencuri uang negara, tetapi merupakan bentuk pengkhianatan yang mendalam terhadap rakyat yang telah menaruh kepercayaan kepada para wakil rakyat. Seharusnya, wakil rakyat menjalankan amanah mereka untuk menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kekuasaan sebagai Instrumen Utama Korupsi
Lord Acton, seorang guru besar sejarah modern di Universitas Cambridge menyatakan bahwa “power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely” yang artinya “kekuasaan cenderung membawa kepada korupsi, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut”. Dari sini, dapat dipahami bahwa kekuasaan dan korupsi memiliki hubungan yang erat. Kekuasaan dapat diibaratkan sebagai “pintu masuk” yang terbuka lebar bagi tindakan korupsi itu sendiri. Orang-orang yang berkuasa sering kali memiliki akses terhadap sumber daya, informasi, dan juga kesempatan yang tidak dimiliki oleh sebagian orang yang lain. Hal ini dapat menciptakan lingkungan yang memungkinkan untuk terjadinya praktik korupsi, di mana individu dapat menggunakan posisinya untuk keuntungan pribadi.
ADVERTISEMENT
Selain itu, ketidakberdayaan sistem hukum di Indonesia terhadap orang-orang kuat, serta kurangnya akuntabilitas penegak hukum turut menjadi penyebab mengapa praktik korupsi semakin gencar terjadi di negeri ini. Penegak hukum yang memiliki kekuasaan untuk memonopoli sistematika dalam penyelesaian permasalahan hukum dapat menciptakan celah untuk korupsi. Ketika mereka mengendalikan proses hukum, ada kemungkinan bahwa mereka akan melakukan penyalahgunaan, seperti menerima suap atau memanipulasi hasil, demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Ketika individu merasa tidak ada konsekuensi dari tindakan mereka, mereka cenderung menjadi semakin berani untuk melakukan korupsi. Ini menciptakan budaya di mana korupsi menjadi hal yang umum, dan orang-orang yang berkuasa merasa seolah-olah mereka memiliki hak untuk bertindak seperti itu tanpa merasa bersalah. Dalam hal ini, kekuasaan bukan hanya berfungsi sebagai alat, tetapi juga sebagai alasan untuk melakukan tindakan korup yang merugikan masyarakat secara keseluruhan.
ADVERTISEMENT
Korupsi Berakibat Kesenjangan
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 11 tahun 2009 Pasal (1) Ayat (2), dijelaskan bahwa “Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara, yang meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial.” Namun, praktik-praktik korupsi yang dilakukan oleh para elit penguasa menunjukkan adanya pelanggaran terhadap prinsip-prinsip UU tersebut. Apakah mereka tidak memahami isi UU ini atau justru mengabaikannya demi kepentingan pribadi? Ketika dana yang seharusnya dialokasikan untuk pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur disalahgunakan, masyarakat yang paling membutuhkan justru terpinggirkan. Akibatnya, kesenjangan sosial semakin meluas dan banyak warga yang tidak mendapatkan hal mereka untuk mengakses kebutuhan-kebutuhan dasar mereka. Dengan dana publik yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat diselewengkan, maka akan banyak program sosial yang tidak dapat berjalan dengan baik. Hal ini menciptakan sebuah situasi di mana hanya sekelompok orang berkuasa yang mampu mendapatkan layanan dan fasilitas yang layak, sementara mayoritas masyarakat lainnya terpaksa berjuang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kesenjangan sosial ini tidak hanya mempengaruhi kualitas hidup, tetapi juga memperburuk hubungan sosial antar masyarakat, sehingga menciptakan ketidakstabilan yang lebih besar. Keterpurukan masyarakat akibat korupsi ini jelas semakin mendorong urgensi untuk memperbaiki sistem hukum di Indonesia agar lebih tegas dalam menanggulangi korupsi yang semakin membabi buta di negeri ini.
ADVERTISEMENT
Bagaimana Strategi Pemberantasan yang Solutif?
Diperlukan strategi pemberantasan yang komprehensif dan terintegrasi dalam mengatasi kasus-kasus korupsi. Dalam usaha ini, reformasi birokrasi menjadi salah satu aspek yang sangat krusial. Birokrasi yang transparan dan efisien sangat penting untuk mengurangi peluang terjadinya korupsi. Untuk mencapai hal ini, kita perlu memperkuat manajemen internal, meningkatkan sistem pengawasan, dan melibatkan semua pihak dalam proses tersebut, termasuk pegawai negeri dan masyarakat sipil. Selain itu, peningkatan kapasitas aparatur pemerintahan untuk menjalankan tugasnya dengan baik juga menjadi hal yang tak kalah penting. Jika birokrasi dikelola dengan baik, peluang untuk melakukan korupsi akan semakin kecil.
Namun, itu saja tidak cukup. Penegakan hukum yang tegas dan konsisten juga sangat diperlukan agar semua pelanggaran korupsi dapat ditindak dengan adil. Tidak boleh ada campur tangan politik dalam proses hukum, agar setiap pelaku korupsi, tanpa terkecuali, mendapatkan hukuman yang sesuai. Masyarakat juga harus dilibatkan dalam upaya pencegahan korupsi dengan memberikan akses informasi dan cara yang mudah untuk melaporkan kasus korupsi yang terjadi di sekitar mereka. Perlindungan bagi pelapor juga harus menjadi prioritas agar mereka merasa aman untuk berbicara tanpa takut akan pembalasan. Dengan begitu, diharapkan upaya pemberantasan korupsi akan lebih efektif dan membawa perubahan positif bagi bangsa, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dapat meningkat.
ADVERTISEMENT