Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.0
6 Ramadhan 1446 HKamis, 06 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Efisiensi Anggaran 2025 dan Gelombang PHK: Ke Mana Arah Kebijakan Pemerintah?
6 Maret 2025 13:34 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Naia Sophianti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Kebijakan pemerintah terkait Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2025 menuai pro dan kontra. Kebijakan ini bertujuan untuk mengoptimalkan alokasi belanja negara, tetapi di sisi lain, memberikan dampak signifikan terhadap sektor industri, khususnya tekstil dan manufaktur.
ADVERTISEMENT
Salah satu perusahaan yang terkena imbas kebijakan ini adalah PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), raksasa tekstil asal Sukoharjo, Jawa Tengah. Perusahaan ini baru saja melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 10 ribu karyawan sebagai langkah efisiensi. Gelombang PHK massal ini menambah panjang daftar tenaga kerja yang kehilangan mata pencaharian di tengah ketidakpastian ekonomi.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai nasib ribuan pekerja yang terkena PHK. Apakah ada jaminan dari pemerintah bagi mereka yang kehilangan pekerjaan? Ataukah ini hanya awal dari gelombang pemutusan kerja yang lebih besar di sektor lainnya?
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran terbuka (TPT) per Agustus 2024 tercatat sebesar 4,91 persen. Dari total 152,11 juta angkatan kerja, angka ini menunjukkan bahwa jutaan orang masih belum memiliki pekerjaan tetap. Dengan adanya kebijakan efisiensi anggaran yang berimbas pada industri besar seperti tekstil, angka pengangguran ini berpotensi meningkat dalam waktu dekat.
ADVERTISEMENT
Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan." Namun, realitas di lapangan menunjukkan adanya jurang antara idealisme konstitusi dan kebijakan ekonomi yang diterapkan.
Tak hanya itu, ketimpangan semakin terasa ketika di satu sisi banyak pekerja kehilangan mata pencaharian, tetapi di sisi lain, kasus korupsi terus bermunculan. Beberapa kasus besar bahkan melibatkan pejabat tinggi negara dengan angka kerugian yang mencapai triliunan rupiah. Hal ini semakin menyulut kekecewaan masyarakat terhadap kinerja pemerintah dan wakil rakyat yang seharusnya mengemban amanah dengan baik.
Situasi ini memicu gelombang protes dari berbagai elemen masyarakat. Baik secara langsung melalui demonstrasi di berbagai daerah maupun di ranah digital dengan tagar #IndonesiaGelap dan #KaburAjaDulu yang ramai di media sosial.
ADVERTISEMENT
Masyarakat menuntut langkah konkret dari pemerintah, bukan hanya sekadar janji-janji politis. Mereka ingin melihat tindakan nyata dalam menyelamatkan industri dalam negeri, melindungi tenaga kerja, serta memastikan bahwa efisiensi anggaran tidak berujung pada penderitaan rakyat kecil.
Dalam sistem demokrasi yang dianut Indonesia, Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar." Pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat seharusnya bekerja demi kesejahteraan rakyatnya. Namun, banyak yang mempertanyakan apakah prinsip ini masih benar-benar diterapkan.
Kini, semua mata tertuju pada langkah pemerintah selanjutnya. Apakah kebijakan ini akan dikaji ulang? Apakah ada solusi bagi tenaga kerja yang terdampak? Ataukah Indonesia akan menghadapi gelombang ketidakstabilan ekonomi yang lebih besar?
ADVERTISEMENT
Rakyat menunggu. Akankah pemerintah tanggap, atau justru gagap?