Konten dari Pengguna

Kenapa Gen Z Selalu Memikirkan Mental Health?

Naila Adhia
Mahasiswa Universitas Muhamadiyah Jakarta
14 Januari 2025 15:53 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Naila Adhia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Photo by Emily Underworld on Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Photo by Emily Underworld on Unsplash
ADVERTISEMENT
Generasi Z, kelompok yang kini berusia antara 12 hingga 28 tahun, dikenal dengan kecenderungannya yang lebih terbuka dalam membicarakan masalah kesehatan mental. Meskipun hal ini menunjukkan kemajuan besar dalam membuka percakapan tentang isu-isu yang dulu dianggap tabu, ada sisi gelap yang tak bisa diabaikan. Kesehatan mental menjadi fokus utama bagi Gen Z, tetapi apakah perhatian yang besar terhadap masalah ini sebenarnya mencerminkan tanda-tanda perbaikan atau justru menunjukkan bahwa kita sedang berada dalam krisis yang lebih besar?
ADVERTISEMENT
Menurut data dari American Psychological Association (APA), generasi Z adalah kelompok usia yang paling banyak melaporkan mengalami stres dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Dalam laporan tahunan mereka, sekitar 91% Gen Z mengatakan bahwa mereka merasa cemas tentang masa depan, dengan 70% merasa stres akibat faktor ekonomi dan pekerjaan. Lebih parah lagi, laporan dari World Health Organization (WHO) pada 2023 menunjukkan bahwa 1 dari 5 remaja di seluruh dunia mengalami gangguan kesehatan mental yang signifikan, dengan angka depresi dan kecemasan yang terus meningkat.
Namun, fenomena ini tidak terjadi begitu saja. Ada sejumlah faktor yang menyebabkan generasi Z lebih sering memikirkan kesehatan mental mereka. Pertama, tekanan sosial yang datang dari media sosial memainkan peran besar. Studi yang diterbitkan di Journal of Social and Clinical Psychology pada 2021 menunjukkan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan dapat meningkatkan perasaan kecemasan, depresi, dan ketidakpuasan diri, yang sangat dominan di kalangan Gen Z. Media sosial menciptakan standar yang tidak realistis tentang penampilan fisik, kesuksesan, dan kehidupan yang sempurna, yang sering kali tidak mencerminkan kenyataan. Gen Z yang terpapar terus-menerus dengan citra ini cenderung merasa tekanan untuk memenuhi ekspektasi yang tidak dapat mereka capai, yang berujung pada masalah mental.
ADVERTISEMENT
Selain itu, permasalahan global yang melibatkan ketidakpastian politik, perubahan iklim, dan krisis ekonomi turut menambah beban psikologis bagi Gen Z. Mereka adalah generasi yang menghadapi dunia yang tidak pasti, di mana masa depan seringkali tampak suram. Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan oleh The Lancet pada 2022 menemukan bahwa 60% remaja merasa cemas terhadap masa depan dunia akibat perubahan iklim. Ketidakpastian ini menambah tingkat stres yang mereka alami, menciptakan kecemasan akan masa depan yang semakin besar.
Di sisi lain, meskipun semakin banyak Gen Z yang menyadari pentingnya kesehatan mental dan berusaha untuk mencari solusi melalui konseling atau terapi, ada kritik yang perlu diangkat mengenai ketergantungan pada profesionalisme psikologis sebagai satu-satunya jalan keluar. Mengandalkan terapi sebagai solusi utama tanpa mengatasi akar permasalahan sosial dan budaya yang lebih luas dapat memperburuk keadaan. Terlalu banyak fokus pada “penyembuhan” individual dapat menyembunyikan kebutuhan mendalam untuk perubahan struktural yang lebih besar dalam masyarakat.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, banyak dari mereka yang merasa terjebak dalam siklus kecemasan akibat tekanan akademik dan sosial. Data dari National College Health Assessment menunjukkan bahwa lebih dari 40% mahasiswa di Amerika Serikat merasa depresi hingga tingkat yang mengganggu kehidupan mereka, dan hampir 60% mengalami kecemasan yang tinggi. Pendidikan yang terus-menerus mendorong standar tinggi tanpa memberikan ruang untuk kegagalan atau ketidaksempurnaan berkontribusi besar terhadap perasaan tak berdaya di kalangan Gen Z.
Solusi yang sering diajukan adalah meningkatkan akses ke layanan kesehatan mental. Namun, di Indonesia, misalnya, meskipun layanan kesehatan mental secara online sudah mulai berkembang, banyak anak muda masih enggan mencari bantuan karena stigma yang melekat pada kesehatan mental. Bahkan di banyak daerah, akses ke layanan kesehatan mental masih sangat terbatas, baik secara geografis maupun finansial. Menurut data dari Global Burden of Disease Study pada 2019, Indonesia memiliki angka penderita gangguan mental yang sangat tinggi, namun hanya sebagian kecil yang mendapatkan perawatan yang memadai.
ADVERTISEMENT
Selain itu, peran orang tua dan pendidik juga sangat penting dalam menciptakan lingkungan yang mendukung kesehatan mental. Di banyak keluarga, topik kesehatan mental masih dianggap tabu atau diabaikan. Orang tua sering kali lebih fokus pada prestasi akademik dan pekerjaan daripada memperhatikan kesejahteraan emosional anak. Padahal, pendidikan tentang pentingnya kesehatan mental harus dimulai sejak dini, agar anak-anak tidak merasa ada yang salah jika mereka mengungkapkan perasaan mereka.
Untuk itu, peran pemerintah dalam menyediakan kebijakan yang mendukung kesehatan mental sangat penting. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) perlu lebih serius dalam mengintegrasikan pendidikan kesehatan mental ke dalam kurikulum sekolah. Mengajarkan siswa untuk mengenali tanda-tanda stres, kecemasan, atau depresi, serta memberikan akses lebih mudah ke layanan konseling di sekolah, bisa membantu menciptakan budaya yang lebih mendukung.
ADVERTISEMENT
Namun, yang lebih penting lagi adalah perubahan struktural dalam masyarakat. Stigma terhadap kesehatan mental harus dihapuskan, dan kita perlu memprioritaskan kesehatan mental setara dengan kesehatan fisik. Dalam dunia yang semakin terhubung secara digital, pendidikan mengenai penggunaan media sosial yang sehat dan bijaksana juga harus diperkenalkan untuk mengurangi dampak buruk dari tekanan sosial.
Secara keseluruhan, meskipun perhatian terhadap kesehatan mental Gen Z menunjukkan adanya kesadaran yang lebih besar, kita harus mempertanyakan apakah hanya fokus pada penyembuhan individu saja sudah cukup. Tanpa adanya perubahan budaya yang lebih luas dan kebijakan yang mendukung, kita mungkin akan terus melihat peningkatan masalah kesehatan mental di kalangan generasi ini. Apa yang diperlukan sekarang adalah pendekatan yang lebih holistik, yang tidak hanya fokus pada terapi individual, tetapi juga pada perubahan sosial yang lebih besar.
ADVERTISEMENT
Seperti yang dikatakan psikolog ternama Daniel Goleman, "Kesehatan mental bukan tentang menjadi normal, tapi tentang menjadi kuat."