Mitigasi Dampak Fragmentasi Habitat di Papua

Naila Cahdiani
Mahasiswa Manajemen Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Manajemen
Konten dari Pengguna
25 Juni 2024 8:17 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Naila Cahdiani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
sumber: Naila Cahdiani
Fenomena fragmentasi habitat telah menjadi ancaman serius bagi keanekaragaman hayati di Papua, pulau terbesar dan paling timur di Indonesia. Kegiatan pembangunan infrastruktur, perluasan area pertanian, dan eksploitasi sumber daya alam telah mengakibatkan terpecah-pecahnya habitat alami flora dan fauna endemik Papua. Dalam upaya mengatasi permasalahan ini, berbagai pihak kini bersinergi untuk mengimplementasikan strategi mitigasi yang komprehensif dan berkelanjutan.
ADVERTISEMENT

Fragmentasi Habitat: Ancaman Tersembunyi

Dr. Anastasia Rumbewas, ekolog dari Universitas Cenderawasih, menjelaskan, "Fragmentasi habitat terjadi ketika area yang sebelumnya menyatu terbagi menjadi bagian-bagian kecil yang terisolasi. Ini mengakibatkan berkurangnya konektivitas antar populasi, menurunnya keragaman genetik, dan meningkatnya kerentanan spesies terhadap kepunahan."
Data dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua menunjukkan bahwa dalam satu dekade terakhir, luas habitat utuh di Papua telah berkurang hingga 15%. "Ini angka yang mengkhawatirkan, mengingat Papua merupakan rumah bagi lebih dari 20.000 spesies tumbuhan, 602 jenis burung, dan 125 spesies mamalia yang sebagian besar endemik," ujar Ir. Yusak Mangetan, Kepala BBKSDA Papua.

Dampak Fragmentasi terhadap Biodiversitas

Salah satu spesies yang terdampak serius adalah Kangguru Pohon (Dendrolagus sp.). Dr. Freddy Pattiselanno, ahli satwa liar dari Universitas Papua, mengatakan, "Populasi Kangguru Pohon telah menurun drastis akibat terputusnya jalur pergerakan mereka. Ini bukan hanya masalah konservasi, tetapi juga kultural, mengingat hewan ini memiliki nilai penting dalam budaya masyarakat adat Papua."
ADVERTISEMENT
Tidak hanya fauna, flora pun terkena dampak. Prof. Dr. Charlie D. Heatubun, ahli botani dari Universitas Papua, menyoroti ancaman terhadap spesies pohon endemik. "Fragmentasi mengakibatkan berkurangnya penyerbukan silang, yang pada gilirannya menurunkan keragaman genetik populasi tumbuhan. Ini membuat mereka lebih rentan terhadap penyakit dan perubahan iklim," jelasnya.

Strategi Mitigasi Multidimensi

Menghadapi kompleksitas permasalahan ini, pemerintah provinsi Papua bersama berbagai pemangku kepentingan telah menyusun strategi mitigasi multidimensi. Gubernur Papua, Lukas Enembe, dalam konferensi pers baru-baru ini menegaskan, "Kami berkomitmen untuk menyeimbangkan pembangunan ekonomi dengan pelestarian lingkungan. Strategi mitigasi fragmentasi habitat menjadi prioritas dalam rencana pembangunan berkelanjutan Papua."
Beberapa inisiatif kunci yang diimplementasikan antara lain:
1. Koridor Ekologi
Pembangunan koridor ekologi menjadi langkah utama dalam menghubungkan kembali habitat yang terfragmentasi. "Kami telah mengidentifikasi 5 koridor prioritas yang menghubungkan kawasan konservasi utama di Papua," jelas Dr. Noak Kapisa, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua. Koridor ini dirancang dengan mempertimbangkan pola pergerakan satwa dan kebutuhan spesifik ekosistem lokal.
ADVERTISEMENT
2. Restorasi Habitat
Program restorasi habitat skala besar diluncurkan untuk mengembalikan fungsi ekologis area yang terdegradasi. "Target kami adalah merestorasi 100.000 hektar habitat dalam lima tahun ke depan," ujar Ir. Yan Yap Ormuseray, Kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung Mamberamo.
3. Perencanaan Tata Ruang Terintegrasi
Pemerintah provinsi menerapkan pendekatan perencanaan tata ruang yang mengintegrasikan kebutuhan konservasi dengan pembangunan infrastruktur. "Setiap proyek pembangunan kini wajib menyertakan analisis dampak terhadap konektivitas habitat," tegas Ir. Martha Pigai, Kepala Bappeda Provinsi Papua.
4. Teknologi Pemantauan Canggih
Implementasi sistem pemantauan berbasis teknologi tinggi menjadi kunci dalam mengawasi perubahan habitat. "Kami menggunakan kombinasi citra satelit, drone, dan sensor IoT untuk memantau pergerakan satwa dan perubahan tutupan lahan secara real-time," jelas Dr. Yosias Sayang, peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Papua.
ADVERTISEMENT
5. Pemberdayaan Masyarakat Adat
Pelibatan masyarakat adat dalam upaya mitigasi menjadi aspek krusial. "Kami menginisiasi program 'Penjaga Hutan Adat' yang memberdayakan masyarakat lokal untuk berpartisipasi aktif dalam pemantauan dan perlindungan habitat," ungkap Mama Yosepha Alomang, tokoh adat dan aktivis lingkungan Papua.

Tantangan dan Prospek Ke Depan

Meskipun berbagai inisiatif telah diluncurkan, implementasi di lapangan masih menghadapi beragam tantangan. Konflik kepentingan antara konservasi dan pembangunan ekonomi menjadi isu utama. Dr. Benny Usilo, pengamat kebijakan publik dari Universitas Sains dan Teknologi Jayapura, mengingatkan, "Diperlukan komitmen politik yang kuat dan koordinasi lintas sektoral untuk menyeimbangkan kepentingan ekonomi dan ekologi."
Keterbatasan anggaran juga menjadi kendala. "Biaya untuk membangun infrastruktur ramah lingkungan seperti jembatan kanopi atau terowongan fauna sangatlah besar. Kami sedang mengeksplorasi skema pendanaan inovatif, termasuk kemitraan publik-privat dan dana karbon," jelas Drs. Samuel Rangkuti, Kepala Biro Keuangan Pemprov Papua.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, prospek ke depan cukup menjanjikan. Keberhasilan beberapa proyek percontohan telah menunjukkan dampak positif. Dr. Margaretha Pangau, ahli ekologi dari Wildlife Conservation Society Indonesia Program, melaporkan, "Di area uji coba koridor ekologi Cycloop-Mamberamo, kami mencatat peningkatan 30% dalam pergerakan satwa antar fragmen hutan dalam dua tahun terakhir."
Inovasi teknologi juga membuka peluang baru. "Kami sedang mengembangkan 'smart collar' berbasis AI yang dapat membantu memetakan pola pergerakan satwa dengan lebih akurat, sehingga desain koridor ekologi bisa lebih efektif," ungkap Ir. Petrus Krey, peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Papua.
Upaya mitigasi dampak fragmentasi habitat di Papua merupakan tantangan kompleks yang membutuhkan pendekatan holistik dan kolaboratif. Keberhasilan inisiatif ini tidak hanya krusial bagi pelestarian keanekaragaman hayati Papua yang unik, tetapi juga menjadi model bagi upaya konservasi di wilayah lain di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana disampaikan oleh Prof. Dr. Jatna Supriatna, ahli konservasi terkemuka dari Universitas Indonesia, "Papua adalah laboratorium hidup bagi studi biodiversitas dan konservasi. Keberhasilan mitigasi fragmentasi habitat di sini akan memberikan pelajaran berharga bagi upaya serupa di seluruh dunia."
Dengan sinergi antara kebijakan yang tepat, inovasi teknologi, dan partisipasi aktif masyarakat, harapan untuk memulihkan dan melestarikan keajaiban alam Papua tetap hidup. Namun, waktu adalah faktor kritis. Tindakan nyata dan komitmen berkelanjutan dari semua pihak diperlukan untuk memastikan bahwa kekayaan hayati Papua tidak hanya menjadi kenangan bagi generasi mendatang.