Konten dari Pengguna

Kebebasan Berpendapat dalam Demokrasi kita: Masihkah Terlindungi Konstitusi?

Naila Marrom
Mahasiswi Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
13 Mei 2025 12:43 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Naila Marrom tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Photo by Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Photo by Pexels
ADVERTISEMENT
Indonesia merupakan negara yang menganut sistem demokrasi. Di Indonesia, demokrasi dijamin dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan bahwa “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Namun belakangan ini, muncul pertanyaan penting yang tidak bisa diabaikan: apakah kebebasan berpendapat sebagai salah satu pilar demokrasi masih benar-benar dilindungi?
ADVERTISEMENT
Di dalam UUD 1945 Pasal 28E ayat (3) ditegaskan bahwa setiap orang berhak menyatakan pendapat, berserikat, dan berkumpul. Kebebasan ini adalah esensi dari kehidupan demokrasi. Namun, hak untuk menyampaikan pendapat ini sering kali menghadapi sejumlah ancaman seperti pelaporan di bawah UU ITE, pembubaran forum diskusi, hingga pembungkaman suara-suara yang berbeda. Padahal dalam negara hukum yang demokratis, perbedaan pendapat seharusnya dilindungi bukan dimusuhi.
Belakangan ini publik diramaikan dengan isu mengenai kebebasan berpendapat, salah satunya yaitu pada aksi demo Indonesia gelap 2025. Aksi demonstrasi ini dilakukan untuk mengekspresikan penolakan terhadap berbagai kebijakan pemerintah yang dianggap semakin menyimpang dari prinsip demokrasi, keadilan sosial, serta kesejahteraan rakyat. Dimulai dari pemotongan anggaran pendidikan dan kesehatan sebesar Rp.306,69 triliun melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025, program makan bergizi gratis yang dinilai tidak efektif dan mengalihkan anggaran dari sektor krusial, serta rencana revisi Undang-Undang TNI, Polri, dan kejaksaan yang dianggap mengancam demokrasi dan supremasi sipil.
ADVERTISEMENT
Aksi demonstrasi itu dilaksanakan sebagai wujud kebebasan berpendapat warga negara, namun kenyataannya kerap dibubarkan dengan alasan "mengganggu ketertiban umum." Beberapa peserta aksi mengalami kekerasan fisik, terlempar gas air mata, bahkan ditangkap dan diproses hukum. Di sisi lain, mereka yang menyuarakan pendapat melalui platform media sosial juga tak luput dari ancaman UU ITE yang sering disalahgunakan.
Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pihak berwenang terhadap demonstrasi melanggar prinsip proporsionalitas dan akuntabilitas dalam penegakan hukum. Selain itu, penggunaan undang-undang yang multitafsir seperti UU ITE, untuk membungkam kritik publik, menunjukan adanya penyalahgunaan kekuasaan yang mengancam demokrasi.
Secara tekstual, konstitusi kita jelas menjamin kebebasan berpendapat. Namun, penafsiran dan implementasinya sering kali menyimpang. Sebagai negara hukum, Indonesia wajib menjamin dan melindungi hak-hak konstitusional warga negara, termasuk kebebasan berpendapat dan berkumpul. Negara seakan lupa bahwa pembatasan terhadap hak-hak dasar hanya boleh dilakukan secara ketat dan proposional, bukan atas dasar ketidaknyamanan terhadap kritik. Terlebih lagi pola pikir politik di Indonesia sering kali resistensi terhadap perbedaan pendapat. Kritik dianggap sebagai ancaman, bukan sebagai masukan. Demonstrasi dianggap sebagai kekacauan, bukan sebagai ekspresi demokratis. Padahal tanpa kritik dan perbedaan, hakikat demokrasi akan hilang.
ADVERTISEMENT
Dalam rangka memperkuat demokrasi, dibutuhkan komitmen semua pihak, termasuk pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat sipil. Demokrasi memberikan ruang bagi rakyat untuk terlibat dalam pemerintahan, sementara hukum tata negara menyediakan pedoman agar keterlibatan itu berlangsung dalam koridor hukum yang adil dan sesuai konstitusi. Tanpa hukum tata negara yang kuat, demokrasi dapat dengan mudah tergelincir ke arah tirani mayoritas atau kekacauan politik. Dengan demikian, memperkuat lembaga hukum dan meningkatkan kesadaran konstitusional menjadi tugas bersama dalam menjaga demokrasi Indonesia.