Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Penyandang Disabilitas di Indonesia dan Berbagai Permasalahan yang Dihadapinya
21 November 2023 12:14 WIB
Tulisan dari Naila Dzakiya Rahmayani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![Sumber Foto: https://pixabay.com/](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01hfp94020chvdvhz3pa827z1j.jpg)
ADVERTISEMENT
Bagi sebagian orang yang belum begitu memahami arti dari disabilitas yang sebenarnya, pasti akan menganggap bahwa para penyandang disabilitas adalah orang yang “tidak normal”. Namun pada kenyataanya, mereka hanya memiliki kekurangan dan hambatan dalam beraktivitas maupun berinteraksi secara efektif dengan masyarakat lain atau bahkan di lingkungan sekitarnya. Menurut Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia, di tahun 2023 terdapat 22,97 juta jiwa atau sekitar 8,5% dari jumlah penduduk Indonesia merupakan penyandang disabilitas.
ADVERTISEMENT
Negara memiliki tanggung jawab untuk memberikan pelayanan kepada masyarakatnya terutama untuk penyandang disabilitas yang memerlukan pelayanan khusus dalam berbagai aktivitasnya. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, bagi penyandang disabilitas tentunya tetap memiliki perlindungan hukum walaupun pada kenyataannya seringkali terlihat penyandang disabilitas yang sulit untuk memperoleh akses atau kesempatan yang sama seperti orang non disabilitas. Berbagai hambatan yang dihadapi dapat berupa sarana dan prasarana, penerimaan masyarakat, hingga kebijakan yang dibuat oleh pemerintah (Affandi, 2022).
Saya pernah melihat suatu kejadian di dalam sebuah bus, dimana saat itu terdapat seorang penumpang disabilitas yang belum mendapatkan kursi untuk duduk. Orang-orang yang berada di dalam bus tersebut hanya melihatnya saja dan tidak ada yang memberikan tempat duduk untuknya, sekali pun orang yang menduduki kursi prioritas yang seharusnya diperuntukkan kepada para penyandang disabilitas seperti dirinya juga tidak peka untuk memberikan kursi kepadanya. Sampai pada akhirnya, ada orang yang berbaik hati memberikan tempat duduknya untuk orang tersebut.
ADVERTISEMENT
Dari kejadian tersebut, dapat kita lihat bahwa kesadaran masyarakat akan adanya penyandang disabilitas masih sangat kurang. Masyarakat masih memandang dan memiliki stereotype negatif kepada penyandang disabilitas. Fasilitas yang memang disediakan untuk mereka malah diambil haknya oleh orang non disabilitas. Semua orang memang lelah saat menaiki transportasi umum karena terkadang tidak mendapatkan kursi penumpang bahkan hingga berdesak-desakan, namun para penyandang disabilitas lebih membutuhkan hal tersebut karena kekurangan yang mereka miliki.
Setelah membahas soal kesadaran dan penerimaan masyarakat akan adanya penyandang disabilitas, saya akan membahas mengenai aksesibilitas penyandang disabilitas. Fasilitas publik harus bersifat aksesibel bagi penyandang disabiliitas. Definisi aksesibel berdasarkan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 468/KPTS Tahun 1998 merupakan suatu kondisi dimana suatu bangunan, fasilitas, atau bagian darinya yang memenuhi persyaratan aksesibilitas. Kondisi aksesibel tersebut mengacu pada banyaknya sarana dan prasarana yang ramah untuk penyandang disabilitas seperti toilet, pintu, lift dan lain-lain (Jefri, 2016).
ADVERTISEMENT
Aksesibilitas bagi penyandang disabilitas di Indonesia memang beberapa sudah memenuhi persyaratannya. Namun jika dibandingkan dengan negara lain, Indonesia belum sepenuhnya menyediakan berbagai sarana dan prasarana yang memadai bagi penyandang disabilitas. Bahkan, alat bantu pengarah jalan (guiding block) yang sering kita temui di jalan saja yang dikhususkan bagi penyandang tunanetra rusak begitu saja akibat ulah beberapa oknum, dan hal tersebut terkadang tidak secepatnya diperbaiki. Beberapa fasilitas pun hanya diperlihatkan sebagai formalitas saja tanpa dipikirkan kegunaannya.
Minimnya implementasi undang-undang dan peraturan terkait aksesibilitas bagi penyandang disabilitas menciptakan hambatan bagi mereka untuk bisa menikmati berbagai layanan publik yangsudah disediakan. Hal ini mencakup hambatan arsitektural, hambatan informasi dan komunikasi, dan hambatan internal diri penyandang disabilitas sendiri serta kurangnya dukungan dari masyarakat bagi pengembangan diri dan potensi para penyandang disabilitas, yang secara menyeluruh telah memperburuk akses para penyandang disabilitas ke layanan publik (Tarsidi, 2011).
ADVERTISEMENT
Saya tidak akan menyebutkan secara spesifik dimana tempat yang memiliki kekurangan dalam aksesibilitas tersebut dan saya juga tidak akan menyebutkan secara spesifik siapa saja masyarakat yang mempunyai kesadaran yang kurang akan kehadiran penyandang disabilitas. Hal ini dikarenakan setiap tempat memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing dalam aksesibilitasnya, dan setiap manusia memiliki tingkat kepeduliannya masing-masing. Namun ada baiknya, sebagai manusia haruslah kita memiliki kesadaran akan hadirnya penyandang disabilitas di antara kita, dan menyadari betapa pentingnya fasilitas publik yang ramah bagi mereka.
Pada 1980, dilakukan sebuah perubahan yakni dari Barrier-Free Design menjadi Universal Design. Perubahan ini merupakan perubahan pola pikir yang memperlihatkan keberagaman kemampuan dan usia. Perubahan ini sangat diperlukan karena terjadi fenomena psikologis pada masyarakat yang menimbulkan sikap ketidakpedulian terhadap sesama. Barrier-free design hanya memfasilitasi orang-orang yang membutuhkan pendampingan atau perawatan khususnya pada warga senior yang lemah, sedangkan universal design akan memberikan pelayanan yang baik bagi semua orang seperti warga senior yang aktif, orang dewasa, hingga anak-anak (Kurniawan et al., 2014).
ADVERTISEMENT
Dalam peraturan, penyandang disabilitas masih dianggap sebagai pihak yang harus dilindungi dan dijaga saja, bukan sebagai pihak yang memiliki hak untuk berpartisipasi dan berkonstribusi secara utuh dalam masyarakat. Namun implikasi antara pendekatan dengan pandangan ini tidak efektif untuk membantu penyandang disabilitas dalam mengurangi atau bahkan menghilangkan hambatan untuk berpartisipasi dalam bidang sosial maupun ekonomi (Adioetomo dalam Affandi, 2022).
Seperti yang kita lihat, di sekitar kita masih banyak penyandang disabilitas yang tidak memiliki kebebasan dalam memilih apa yang akan menjadi pekerjaan mereka. Masih banyak bidang pekerjaan yang tidak memperbolehkan penyandang disabilitas untuk berpartisipasi dalam pekerjaan tersebut. Alasannya mungkin karena pekerjaan tersebut memiliki konsekuensi yang besar bagi mereka atau mungkin saja untuk mempekerjakan penyandang disabilitas masih belum memungkinkan karena beberapa hal tertentu.
Dari uraian yang saya sampaikan di atas, masih banyak hal yang perlu diperbaiki oleh bangsa kita dalam penerimaan masyarakat, sarana dan prasarana, serta berbagai kebijakan pemerintah bagi penyandang disabilitas. Sebagai manusia yang sama-sama hidup di negara ini, hendaknya kita hidup berdampingan dengan siapa pun itu orangnya, tidak memandang suku, agama, ras, bahasa, dan point utamanya adalah tidak memandang rendah para penyandang disabilitas.
ADVERTISEMENT
Daftar Rujukan
Affandi, F. (2022). Analisis Yuridis Tanggung Jawab Negara terhadap Penyandang Disabilitas yang Terlantar. Jurnal Intelektualita: Keislaman, Sosial Dan Sains, 11(2), 323–335. https://doi.org/10.19109/intelektualita.v11i2.11454
Jefri, T. (2016). Aksesibilitas Sarana dan Prasarana bagi Penyandang Tunadaksa di Universitas Brawijaya. Ijds, 3(1), 16–25. https://doi.org/10.21776/ub.ijds.2016.01
Kurniawan, H., Ikaputra, & Forestyana, S. (2014). Perancangan Aksesibilitas Untuk Fasilitas Publik (1st ed.). GADJAH MADA UNIVERSITY PRESS.
Tarsidi, D. (2011). Kendala Umum yang dihadapi Penyandang Disabilitas dalam Mengakses Layanan Publik. JASSI Anakku, 10(2), 201–205. https://doi.org/10.17509/jassi.v11i2.3991