Air Mata Irjen Ferdy Sambo

Gigih Imanadi Darma
Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Bekerja di media online sepakbola Libero.id
Konten dari Pengguna
17 Juli 2022 18:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gigih Imanadi Darma tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi seorang Polisi yang menangis. Foto: Shutterstock.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi seorang Polisi yang menangis. Foto: Shutterstock.
ADVERTISEMENT
Di bawah terik matahari selama masa Pendidikan Taruna, lari-lari dengan ransel 25 kilogram di punggung, berendam di air laut, ditendang perut, ditempeleng kepala kalau berbuat salah dan lain sebagainya adalah makanan hari-hari seorang Polisi. Sangat biasa untuk ukuran seorang Polisi yang diuji kesehatan fisik dan mentalnya.
ADVERTISEMENT
Tapi kalau sudah mengalir air mata ke pipi dan sampai terasa asin di lidah, terang saja kita bisa sebut itu merupakan pertanda guncangan batin yang hebat. Siapa yang bisa tahan?
Yang tidak boleh kita lupakan, Polisi itu manusia biasa. Sekalipun yang kariernya mentereng dengan dua bintang melati di pundak.
Dan menangislah Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri, Irjen Pol Ferdy Sambo dalam pelukan Kapolda Metro Jaya, Irjen Pol Fadil Imran. Adegan haru dua Perwira Tinggi Polri itu beredar di sosial media dalam tayangan 24 detik.
Kalau kamera terus merekam, mungkin kita akan melihat isak tangis yang lebih panjang. Tapi sebagai bangsa yang gemar drama, 24 detik sudah lebih dari cukup untuk memancing kita ribut.
ADVERTISEMENT
Menalar Kronologi Kejadian
Satu Polisi tewas dan yang satu lagi hidup. Dalam pertarungan berdarah, harus ada yang berdiri sampai akhir. Pertanyaanya, apakah kita perlu prihatin dan ikut berduka atas kejadian baku antar dua anggota Polisi beda pangkat, yang riuh belakangan ini? Putuskan sajalah sendiri.
Lantas apa yang sebenarnya terjadi? Semua ini bermula dalam kejadian di rumah singgah Irjen Ferdy Sambo di Kompleks Polri, Duren Tiga, Pancoran, Jakarta Barat, pada Jumat (8/7/2022) pukul 17.00 WIB.
Saat itu, Jendral Bintang Dua itu tak ada di rumah, kemanapun dan apapun urusannya tak penting untuk kita ketahui. Di rumah megah dua lantai itu, setidak-tidaknya ada 3 orang. Istri Irjen Pol Ferdy Sambo, drg Putri Candrawati dan dua anak buahnya. Brigadir J dan Bharada E. Sisanya beberapa setan yang tak tampak.
ADVERTISEMENT
Keterangan dari pihak yang berwajib bisa saya gambarkan dalam sebuah cerita di bawah ini.
Brigadir J yang tugasnya sebagai supir pribadi masuk ke kamar, bukan ke kamarnya sendiri melainkan kamar di mana istri Irjen Pol Ferdy Sambo sedang beristirahat. Pemuda berusia 27 tahun itu melakukan pelecehan seksual dan menodongkan pistol sebagai ancaman, ke kepala istri bosnya itu.
Tak dijelaskan pelecahan seperti apa. Tapi kita bisa menebak ke arah yang mungkin sama.
Dalam kondisi yang demikian, istri Irjen Pol Ferdy Sambo berteriak minta tolong dan larilah Brigadir J, tapi tak sampai jauh-jauh karena suara istri Irjen Pol Ferdy Sambo sampai ke telinga Bharada E yang bergegas ke sumber suara dan mendapati Brigadir J di depan pintu kamar.
ADVERTISEMENT
Jarak antara keduanya sekira 10 meter, Bintara dan Tamtama itu dipisahkan tangga. Laki-laki berhadapan dengan laki-laki. Bertanyalah Brigadir E tentang duduk perkara, namun bukan mulut yang menjawab melainkan sebuah tembakan.
Kata siapa kata-kata lebih pedas dari senjata api?
Adegan berikutnya seperti di film-film buatan Amerika Serikat, bedanya bukan Polisi dengan warga sipil tapi Polisi dengan Polisi.
Brigadir J yang seorang sniper memerlukan tujuh peluru untuk merubuhkan rekannya itu, tapi Brigadir E yang konon baru berdinas belum begitu lama itu hanya berusaha mendaratkan lima peluru.
Dari jarak sedekat itu dan latar belakang karier mereka di Kepolisian, kira-kira siapakah yang masih tegak berdiri? Adalah Brigadir E yang merupakan pengawal pribadi Irjen Polisi Ferdy Sambo yang hari itu 'main tembak-tembakan' tak ikut dengan bosnya pergi keluar.
ADVERTISEMENT
Yang barusan tuan dan puan baca bukanlah cerpen fiksi. Itu nyata. Dalam bahasa yang lebih ringkas dan kaku Anda bisa baca keterangan dari Karo Penmas Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Ahmad Ramadhan, saat ditanyai awak media di Mabes Polri, pada Senin (11/7 2022)
Kasus ini baru mencuat ke publik 3 hari setelah kejadian. Kenapa selamban itu? Apa pertimbangannya? Beragam pendapat berseliweran di sosil media, ditambah dengan banyaknya para Wartawan yang kejar setoran, berduyun-duyun meminta pendapat keluarga Brigadir J yang tewas. Dan hal-hal dramatisir memancing klik seperti biasanya.
Bukan alang kepalang, warganet Indonesia mendadak mengoptimalkan akal pemberian Tuhan dengan coba-coba berlagak jadi detektif. Sindrom Sherlock Holmes. Tapi mentok cuma di Facebook lalu di copy paste ke Grup-grup WhatsApp.
ADVERTISEMENT
Barangkali kasus ini dianggap sebagai hiburan. Bahan obrolan baru. Para netizen itu tak merasa direpotkan dan bersedia mengeluarkan persepektif tentang siapa yang salah dan hal-hal apa yang janggal dalam kasus ini?
Saya pribadi tidak mau ikut-ikutan membahas hal tersebut. Biar saya memotret bagian yang lain.
Tapi kalau Anda yang saya perkirakan warga sipil ingin tahu lebih lanjut, gunakanlah sedikit waktu dan kuota internet untuk mencari informasi tersebut secara mandiri. Boleh juga beramai-ramai.
Apakah Laki-laki Tidak Boleh Menangis?
Dari sekian ratus warganet berkomentar dalam video news flash unggahan Kumparan di YouTube yang memperlihatkan momen Irjen Pol Ferdy Sambo menangis di pelukan Irjen Pol Fadil Imran, saya terpancing oleh komentar pemilik akun anonim @Halhalyanglain.
ADVERTISEMENT
"Kapan lagi kita melihat dua laki-laki dewasa, Polisi sudah tua dan berpangkat tinggi berpelukan dengan salah satu diantaranya menangis. Ya ampun, laki-laki kok menangis."
Ini komentar dengan corak warna yang mencolok. Betapa tidak, yang lain berkomentar dengan teori rekayasa sambil mempertanyakan integritas insitusi sebesar Polri, tapi @Halhalyanglain melawan dominasi itu dengan komentarnya sendiri yang tak terbawa arus komentar warganet lainnya. Salut.
Saya cukup punya waktu sekaligus kurang kerjaan sebetulnya, lewat tulisan ini saya ingin memberi pandangan bahwa kalimat 'Laki-laki kok menangis' keluar dari pandangan tentang maskulinitas dan femininitas yang bermasalah.
Sebuah standar tingkah laku yang dibuat, tentang hal apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh laki-laki dan perempuan.
ADVERTISEMENT
Kalimat di atas timbul dari anggapan bahwa laki-laki tidak boleh menangis, karena menangis terlanjur diasosiasikan sebagai bentuk kelemahan atau kelembutan yang hanya boleh dilakukan oleh perempuan.
Dalam kasus ini, yang menangis bukan laki-laki sembarangan. Seorang Perwira Tinggi Polisi dengan pangkat mentereng. Polisi yang jamak dikenal sebagai seorang yang gagah. Maka menangis adalah sebuah paradoks ganda. Kira-kira begitu.
Saya sudah sampaikan sejak permulaan tulisan ini, bahwa Pak Polisi itu manusia biasa. Bukan robot. Punya emosi yang naik turun. Apapun motif tangisan itu yang jelas Polisi dan laki-laki manapun sah untuk menangis. Lagipula siapa yang punya otoritas untuk melarang laki-laki menangis? Perkara air mata jangan dimonopoli.
Tak perlulah saya gunakan teori-teori canggih tentang toxic masculinity yang sudah bejibun dimana-mana itu, atau riset dari Professor Ad Vingerhoets, peneliti terkemuka Tilburg University, Belanda, yang menulis panjang lebar tenang intensitas dan faktor seorang laki-laki dan perempuan menangis dan seterusnya.
ADVERTISEMENT
Lagipula ada banyak kebaikan dalam tangisan, entah itu dari segi kesehatan fisik dan psikologis. Menangis adalah sebuah ekspresi. Bahasa tubuh. Tidak perlu saya turunkan penjelasannya.
Soal tangis menangis ini, saya tak mau repot-repot lebih jauh. Cukup dengan sedikit perasaan peka dan logika umum sebagaimana makhluk bernyawa bernama manusia. Kita ini bukan cuma seonggok daging yang kebetulan diberi nafas, iya kan?
Mas (anggap saja pemilik akun email itu laki-laki) yang berkomentar saya yakin pasti pernah juga menangis. Tapi apakah ada yang peduli? Biarlah itu menjadi pertanyaan tak terjawab.
Yang jelas air mata sah dikeluarkan oleh siapa saja. Semua boleh menangis. Termasuk Irjen Pol Ferdy Sambo yang air matanya sampai sekarang masih menjadi milik rahasia.
ADVERTISEMENT
Tabik!